Thursday, August 21, 2014
Sprinkling in Silence 7 (Percikan dalam Kesunyian 7) : The Waiting of the Banyuwangi Bus (Penantian Bus Banyuwangi)
8/21/2014 04:27:00 PM
Kisah Sunyi
PENANTIAN
BUS BANYUWANGI
Saat itu tepat jam 14.00 waktu
kota Pasuruan tampak di telepon genggamku. Seorang lelaki muda yang
memboncengku menurunkan aku di pusat kota Pasuruan. Turun dari boncengan kucari
tempat bernaung diri, di sebelah sana agak ke utara berdiri tegak rimbun
daunnya, entah apa nama pohon itu, ku tak tahu namanya. Aku berdiri di tepi
jalan raya tepat di depan agak menyamping ke kiri pertokoan mungil. Kutengok
kiri-kanan kulihat banyak orang duduk menanti kedatangan bus. Di sini tempat
menanti kedatangan bus Banyuwangi. Bus yang sedianya mengantar para pencari
nafkah ke kota Surabaya.
Sesaat kemudian bus melaju
kencang dari arah selatan menuju tempat orang-orang duduk menantinya. Tertulis
di kaca depan bus itu “Malang”. Maksud tulisan ini adalah bus melaju kencang
menuju kota Malang. Orang-orang berlari berebut memasuki bus. Aku hanya bengong
memperhatikan mereka. Kursi penantian yang ada di depan pertokoan mungil rapi
itu melompong karena ditinggal orang-orang yang sekian jam mendudukinya. Sesaat
kemudian kuarahkan pandangan mata kepada setiap nyawa yang berjubel-jubel dalam
bus. Mereka asyik berdiri berdesakan di dalam bus menuju Malang. Ahhh.., capek
juga berdiri di bawah pohon ini dengan mencangklong tas penuh beban berat. Kulangkahkan
kaki menuju kursi penantian yang melompong itu, senyumku tersebar sambil
menikmati duduk santai sesekali tengok-tengok ke arah selatan barangkali ada
bus dari Banyuwangi menuju Surabaya.
Rasanya hampir sejam aku
menunggunya, padahal pekerjaan menunggu untuk keperluan mendesak mungkin boleh
dikata semenit sama dengan setahun. Hmmm..., kucoba menikmati penantian bus
Banyuwangi. Penantian demi penantian kulalui dari menit ke menit. Kulihat
sekali lagi telepon genggamku, barangkali ada pesan yang terkirim. Sesekali
pula kuperhatikan penanda waktu menit dan detik “byar pet byar pet” tampil di
layar monitor telepon genggam.
Tiba-tiba seorang lelaki dan
perempuan dari dua arah berbeda berboncengan datang dan selanjutnya turun dari
sepeda motornya. Mereka berjalan menuju tempat duduk di dekatku. Sepertinya mereka
diantar keluarganya. Mereka hendak kembali ke kota Surabaya mengadu nasib
setelah seminggu berlebaran di kampung halamannya. Beberapa kardus tampak berat
mereka tenteng sesekali harapan masa depannya dipancarkan dari
langkah-langkahnya, bicaranya penuh harap akan esok cerah di hari tuanya, dan
tatapan tajam mata-mata mereka akan limpahan rejeki yang akan diraih di kota
impian.
Di dekatnya aku diam membisu,
hanya bisa mendengarkan pembicarannya. Mereka asyik mengobrol sebagai pengisi
waktu senggang. Tak berapa lama kemudian “thooooooot thoooot thooott...”
klakson bus terdengar dari kejauhan.
Tampak dari arah selatan bus
melaju kencang dan mendekati kursi penantian. Ee...e..ehhmm..., tertulis di
kaca depannya “Mojokerto”, itu pertanda bus menuju Mojokerto. Ramai juga
penumpang di dalamnya. Penuh sesak berjubelan juga di dalamnya. Bahkan jauh
lebih padat orangnya, jubel-jubelan di sana makin mengkhawatirkan ketimbang bus
jurusan Malang yang baru saja lewat. Beberapa orang di dekatku berlari menuju
bus itu, lalu memasukinya. Tak menggubris orang dalam jubel-jubelan, yang
penting terbawa bus hingga ke tujuan. Mereka pikir dalam situasi demikian tiada
pilihan lain kecuali harus legawa menerima demikian walau menurut aturan
kepolisian ini benar-benar sangat riskan sekali bagi pengikutnya. Keselamatan
yang jauh lebih berharga, keselamatan yang didamba oleh setiap pengikut bus
sulit menjadi pertimbangan dalam keadaan demikian.
“Belum ada ya bus jurusan
Surabaya?” tanya orang di sebelahku. Aku pun menjawab,”Ya,Pak. Belum ada. Aku
juga mau ke Surabaya.”
“Oo, itu bus datang, Pak!” kata
mereka seraya telunjuk jarinya menunjuk ke arah bus itu. Benar juga, bus yang
datang kini mendekatiku. Di kaca depannya tertulis Banyuwangi-Surabaya, ini
artinya bus dari Banyuwangi menuju terminal Purabaya.
Seorang kernet memanggilku
sambil melambaikan tangan kirinya sebagai isyarat mengajak daku segera masuk ke
dalam bus jurusan Terminal Purabaya. Penantian bus Banyuwangi harus segera
berakhir demi cita-cita di hari pagi yang setia terbit menyinari alam dengan
segala isi.
Aku segera beranjak bangkit
dari dudukku. Orang di dekatku juga menuju dalam bus.
Ya ampuuuun..., begitu pintu
masuk bagian ekor bus kulalui terlihat berjubel orang di dalamnya. Aku pun
mencoba menenangkan pikiran, kucoba menikmati suasana jubel-jubelan itu sambil
menghirup karbondioksida dan pengap karena kelebihan muatan penumpang.
Rasa optimis masih menancap
kuat di pikiran. Dalam pikiran tergambar,”Yaaa paling-paling nanti di sekitar
Jambangan pasti ada orang turun. Kutahan dulu sambil menunggu penumpang yang
turun di sana. “
Tepat di sekitar Jambangan ealaaa
kok tidak ada penumpang yang turun padahal kondisi berjubel. Terlintas antara
ya dan tidak. Tidak mungkin aku ikut-ikut berjubel begini karena aku masih
membawa laptop (notebook) di tas dan beberapa buku dalam kondisi berdiri terus,
sementara keletihan menggelayut di punggungku. Tidak mungkin aku menaruh tas di
bagasi kalau tumpuk-menumpuk barang bawaan penumpang tak terapikan karena
laptop tidak boleh ditumpuki beban berat. Tidak mungkin pula ku letakkan tas
berisi laptop dan beberapa buku di bawah atau di bagian belakang bus karena
tumpukan barang berserakan.
Mungkin panik dan berpikir
serius bercampur suasana pengap dengan berjubel-jubel orang belum lagi
kepikiran bagaimana seandainya ada kebakaran bus atau tabrakan, gimana cara
kita mengamankan diri yaa. Berbagai kemungkinan buruk tergambar di pikiran. Mungkin
terlalu ketakukan itu tiba-tiba mendadak pingin kencing, terpaksa aku minta si kernet
untuk diturunkan.
“Kenapa turun?” tanya si kernet.
“Mau pipis (kencing),Mas?”
jawabku.
Agak jauh dari prapatan
Jambangan aku pun turun. Kucari ponten umum atau toilet umum di sekitar kota
itu tidak ada. Tidak menyerah, kususuri jalan mencari ponten umum. Ternyata,
tidak ada juga.
Seketika itu pula rasa ingin
kencing hilang. Terasa aneh bin ajaib, kencing yang sudah tak tertahankan
tiba-tiba menghilang tak terasa. Rupanya rasa panik dan rasa ingin kencing
hanya tipuan. Aku pun balik lagi ke tempat pemberhentian bus. Kulalui jalan
itu, asa menggebu untuk segera sampai terminal Purabaya.
Kali ini aku cukup menunggu di
tepi jalan saja, bila bus datang cukuplah tanganku melambai-lambai agar bus
berhenti. Kulihat jalan ini cuma satu jurusan menuju Terminal Purabaya. Bus
yang melaju di depanku pasti bus menuju Surabaya. Tak seberapa lama, bus pun
tampak melaju dengan kecepatan tinggi dari selatan, tanganku melambai-lambai,
bus berhenti agak jauh dari sisiku. Dengan langkah sedikit gontai kucoba
mempercepat jalanku, sementara kernet pun berteriak-teriak memintaku
cepat-cepat menuju bus.
Hmmm..., tampak sekali kurang
bersahabat si kernet ini.
Kutenangkan pikiran dan
kulembutkan hati agar tidak terpancing emosi. Betapa kagetnya batin ini, tampak
berjubel-jubel orang berdiri memandangiku sambil memegangi barang bawaannya dan
pegangan bus yang mirip jemuran bergelantung di atap bus. Kali ini sial juga,
tak kutemui satu pun tempat duduk kosong. Hawa panas, bising suara bus, omelan dan obrolan
penumpang dalam gerombolan jubel-jubelan menyelimuti seisi bus. Keadaan ini terpaksa
dilaluinya. Tiada pilihan lain dalam perjalanan hidup ini, inilah jejak hidup
yang harus disusuri dan dimiliki walau pahit dan sulit saatnya menghampiri.
“Mas, kok penuh terus yaa
bisnya? Ada Apa, Mas?” tanyaku pada si kernet.
”Ya, Mas ini kan arus balik
dari Banyuwangi ke Surabaya. Sepanjang jalan Lumajang, Probolinggo, Pasuruan,
banyak yang naik bus menuju Surabaya.
Mereka semua ini menuju Surabaya, Mas. Mereka sudah membayar sampai
Terminal Purabaya. Walau menunggu bus berikutnya, ya seperti ini jubel-jubelan
terus, panas pengap, dan lelah, Mas.”demikian penjelasan si kernet.
“Ya Allaah..., Allaahu
Robbiyy..., Aku ikhlas menerima semua ini. Tubuhku lelah, Bawaanku berat,
laptop yang bermerek masih baru kubeli dengan harga mahal menurut ukuran orang
seprofesiku tidak mungkin ku biarkan sendirian bertindih-tindihan dengan barang
bawaan orang- orang di bus ini.” pintaku pada Sang Maha Penguasa Jagat Raya.
“Ya allaah..., aku mohon
kekuatan tubuhku, aku rela berdiri asalkan engkau ringankan bebanku dan engkau
beri kekuatan tubuhku. Aku tidak akan mengeluh kepada siapapun lagi, aku tidak
akan mengeluh padamu lagi ya Allah. Berilah kekuatan yaa allaaah...”gumamku
dalam batin.
Kucoba tanganku
menggapai-nggapai pegangan yang bergelantungan di atap bus. Goncangan di dalam
bus makin terasa, tubuhku oleng ke kiri oleng ke kanan terkadang maju mundur
maju maju maju mundur mundur mundur maju mundur, mundur maju. Makin erat tanganku menggenggam batangan besi
itu. Memang itu untuk pegangan penumpang manakala bus kelebihan muatan dan
goncangan hebat terjadi padanya.
“Mas, taruhlah tasnya di bagian
belakang bus biar gak berat, biar gak kecapekan, ini masih jauh dari Surabaya.“
pinta si kernet tadi.
“Ini isinya laptop, Mas.”jawabku.
“ Oalaa.., laptop ta mas. Kalau
gitu, jangan ditaruh di punggung belakangmu, Mas. Cangklonglah di posisi depan
perutmu.” saran si kernet yang mulai ramah pembicaraannya padaku.
“Ya, mas. Terima kasih.” jawabku.
Ternyata si kernet tadi tahu
bahwa laptop tidak boleh ditindihi barang berat. Bahkan ia pun menyuruhku tidak
menaruh di punggungku, aku mengerti pikirannya. Dalam kondisi yang
berjubel-jubel ini dikhawatirkan laptopku bisa dicederai orang. Bisa saja hal
yang tidak dimaui bakal terjadi diluar kontrol diri. Bisa saja kelebihan penumpang
ini menimbulkan hal-hal yang tak pernah terbayangkan selama ini. Aku pun
mengikuti saran si kernet tadi. Yang penting si kernet tidak marah-marah padaku
karena kulihat si kernet tampak sering marah-marah pada penumpang.
Kupandangi sekelilingku,
suasana sumuk menghadirkan cucuran keringat pada setiap dahi yang berambisi mengais
rejeki di kota metropolis.
Wajah-wajah bersih sumringah
berubah menjadi sungai keringat yang mengalir deras.
“Surabaya...,Surabaya..., Surabaya....!!!!”
teriak si kernet kepada calon penumpang yang dilihat berjajar di pinggir jalan.
Sebagian di antara mereka ada yang nekat masuk, ada yang ogah-ogahan naik bus
lantaran sudah penuh sesak. Bahkan ada yang cuek karena pilih-pilih bus.
Segenap kekuatan kukerahkan
untuk berdiri agar sampai Terminal Purabaya.
Kulihat bus melintasi daerah
Raci.
Beberapa menit kemudian tidak
sampai sejam, akhirnya bus memasuki kawasan Bangil.
“Bangil...,Bangil.., Bangil....!!!”
teriak si kernet pada penumpang. Ternyata gak ada yang mau turun juga.
Justru segelintir orang berdiri
di sepanjang jalan Raya Bangil nekat juga masuk bus karena memang sudah lama
menunggu bus menuju Surabaya.
Makin kaku kakiku berdiri tegak
mematung. Raungan bus terdengar di tengah desak-desakan orang.
Kulihat di depanku agak jauh di
sana sang ibu menggendong si kecil usia 1 tahunan. Ia mencoba bercengkarama
dengan si kecilnya dengan harapan si kecilnya kerasan (betah) di dalam bus yang
penuh sesak penumpang. Sementara itu si kecil berusia 3 tahunan di sampingnya
memanggil-manggil adiknya yang masih usia 1 tahunan. Tangan-tangannya
meraih-raih adiknya, sesekali gagal karena tempatnya terpisah oleh penumpang
lainnya. Dicobanya lagi, di raihnya jari-jemarinya seraya menyebut-nyebut
namanya. Namanya tak terdengar oleh telingaku. Suara bising bus dan bisik-bisik
orang di sekelilingku melenyapkan panggilan si kecil pada adiknya.
“Kejapanan..,
Kejapanan..,Kejapanan..!!!!!!”suara dari bibir kernet mengagetkan. Memang
tempat berdiriku di pintu bus bagian belakang dan di situ pula si kernet
berdiri sambil melihat keluar untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
Tak tahulah aku, tiba-tiba bus
bergoyang-goyang. Goyangannya sanggup mengocok seluruh isi penumpang, bahkan
goyang-goyang itu menggemparkan para penumpang, entahlah apa penyebabnya.
Diantara yang tertidur lelap
terbangun dalam goyangan, mereka berusaha mengimbangi goyangan itu.
Ketika itu pula halus lembut
sentuhan tangan dari belakang menempel di bahu kananku, kutoleh ke belakang.
Kulihat lelaki besar gendut berusia 55 tahunan yang sejak semula kulihat duduk
asyik tertidur yang menduduki kursi di paling belakang bangun dari duduknya.
“Duduk sini, Mas.” ucap lelaki
ini sambil memegang tangan kananku.
“Ya, terima kasih, Pak.” jawabku.
Semua penumpang di sekelilingku terperangah melihat ulah lelaki ini. Dari
seluruh penumpang di sekelilingku dan sekelilingnya cuma aku yang diharap. Ia
menginginkan aku agar menduduki tempatnya. Lelaki setengah tua ini mulai
berdiri di depanku.
“Permisi, saya mau duduk.” pintaku
pada orang yang duduk di kiri-kanan tempat duduk yang kosong tadi.
Aku pun segera menduduki
tempatnya. Lelaki itu berdiri di depanku pada tempat posisiku semula berdiri.
Kini aku nikmati kursi sambil menghela napas setelah berdiri cukup lama.
“Siapa ya orang ini. Kok
memintaku untuk duduk di kursinya. Aku tidak mengenalnya. Ini bukan daerahku.
Aku tampak asing di matanya. Begitu pula dia pun memang asing di mataku.
Mengapa harus aku yang disuruh duduk, bukan orang lain yang di dekatku?” gumam
batinku.
Kuperhatikan betul wajahnya. Aku
tidak mengenalnya. Ia memang berdiri, mungkin mau turun di Kejapanan.
Sedari tadi si kernet
teriak-teriak terus. Si kernet menyebut-nyebut kota Kejapanan, maksudnya para
penumpang yang mau turun Kejapanan segera mempersiapkan diri dan tidak kelupaan
barang bawaannya.
Sekarang kulihat bus memasuki Kejapanan.
Kuperhatikan lelaki ini mungkin turun di Kejapanan. Louwhh kok gak turun. Kulihat ke sebelah kanan
sudah tampak bangunan masjid Al Jihad Kejapanan. Biasanya di tempat ini juga
banyak orang turun. Mungkin agak ke sana dikit orang ini mau turun.
Ternyata bus melaju makin kencang.
Ia, aku, dan bus makin jauh meninggalkan masjid Al Jihad Kejapanan, bahkan Kota
Kejapanan pun makin tak tampak.
Kulihat Lelaki yang menyuruhku
duduk sudah tidak melihatku, ia asyik melihat ke depan sambil berdiri di
depanku. Kaos hitam dengan topi merah melekat kuat di tubuhnya. Tak ketinggalan
juga celana hitam dan sepatu hitam ia kenakan juga.
Kupikir mungkin ia mau turun di
penghujung Porong.
Pada saat di Porong, kulihat
tak ada tanda-tanda mau turun. Bus tetap melaju kencang mau memasuki jalan tol Waru.
Apakah wangsit datang dari Yang MahaKuasa saat ia lelap dalam tidurnya tadi?
Benarkah wangsit itu membisik jiwanya saat kedamaian menghias tidurnya
sepanjang perjalanan menuju Surabaya?
Aahhh.., pikiranku dipenuhi
sejuta tanya. Namun tak satupun jawaban kutemui jua. Yang jelas tergambar
hingga kini hanyalah siapa sebenarnya gerangan?
Anehnya, aku tidak langsung
menyapanya dan menanyai kepergiannya. Pikiranku sepertinya ditutup oleh
kekuatan gaib yang tidak menginginkan banyak kata padanya. Bibirku terasa
terbungkam, diam seribu bahasa padanya.
Dengan seksama kuperhatikan
lagi.
Tampak dari polahnya lelaki
berusia 55 tahunan ini sepertinya hidup dalam kesunyian, ia sedang mengejar
hakekat kehidupan. Gerak-geriknya menggambarkan bahwa kini Ia ditinggal pergi anak
dan istrinya. Kasihnya sudah lama pergi. Ia hidup mencari nafkah sendiri.
Keterasingan hidup baginya dari
kehidupan yang umum dilalui orang menjadi jalan istimewa buatnya. Ia hadir di
bumi bukan karena berlama-lama dalam pergolakan dunia, bukan pula ingin merasakan
tragedi dunia, bukan pula menceburkan dirinya dalam komedi dunia yang tak
pernah habis-habisnya, bahkan bukan pula bersolek diri dalam gemerlap dunia. Ia
memilih jalan yang berbeda dari para penghuni dunia kebanyakan, namun getar
sunyi berbalut tulusnya kasih semerbak mengharumkan lintasan langkah kakinya.
Anganku, lamunanku di kursi
paling belakang makin membubung tinggi ke langit.
Sesekali lamunan itu kucoba
kubuang jauh sambil melihat rimbunnya pohon-pohon di kiri kanan di tepian jalan
tol menuju pintu tol Waru.
“Medaeng...,
Medaeng...,Medaeng...!!!!!” teriak si kernet.
Segerombol wanita tua dan
lelaki tua di dalam bus bagian depan bersiap-siap turun. Beberapa orang di
dekatku mulai mengambili barang-barangnya untuk persiapan turun. Kini bus yang
kutumpangi memasuki kawasan Medaeng. Tepat di tikungan depan kulihat tembok
bertuliskan “PELOPOR”, ini pertanda tempat pemberhentian bus untuk menurunkan
penumpang sudah dekat. Di Tikungan ini
bus berbelok ke kiri, sebuah belokan satu-satunya jalan menuju Terminal
Purabaya.
Kembali pandanganku tertuju
pada lelaki itu.
Aku tidak sempat bertanya
padanya. Kupikir ia akan turun di Terminal Purabaya, ternyata secepat itu pula
lelaki yang sekian lama dalam penantian bus Banyuwangi melompat dari bus untuk
meninggalkan bus dan aku. Ia tak menoleh sedikitpun padaku. Pas di Medaeng
tempat menurunkan penumpang, lelaki tak kukenali yang menyuruh aku menduduki
kursinya ikut turun bersama orang-orang.
Aku tetap memandanginya dari
dalam bus. Aku belum sempat mengenal dari mana datangnya. Ia memang mengerti
keadaanku yang sudah semakin lelah, letih, lesu, dan berat menenteng tas. Ia
tahu alangkah kakunya kakiku untuk berdiri di tempat yang sumpek nan panas. Aku
ingat betul bahwa Kejapanan saksi bisu akan kebaikannya. Aku hanya mampu
berucap semoga kebaikan menyertai perjalanannya. Semoga pula ada jalan di
kehidupan masa depannya.
Kenangan
Kisah Pendek dalam sebuah kumpulan PERCIKAN DALAM KESUNYIAN
Serial KISAH SUNYI
Kamis,
7 Agustus 2014
Sepanjang
perjalanan Pasuruan Kota- Kejapanan-Terminal Purabaya (Bungurasih)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)