Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Thursday, March 16, 2017

Sprinkling in Silence 20 (Percikan dalam Kesunyian 20) : Destruction of Old City (Runtuhnya Kota Tua)

DESTRUCTION OF OLD CITY
Written by Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
11 March 2017

RUNTUHNYA KOTA TUA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd
11 Maret 2017

“Ya. Sudah…,!!! “ teriak seorang anak yang mengomandoi semua temannya yang sudah ngumpet di tempat yang tersembunyi. Ada yang naik pohon, ada yang di bawah kurungan ayam, ada pula yang di kandang kambing, ada yang di rimbunan taman bunga, ada yang menyusup di bawah tumpukan jerami, bahkan ada yang sembunyi di bibir selokan dekat sampah sapi pak tua.
Pokoknya sore itu seru deh. Celotehan dan teriakan anak-anak seusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama menjadi hening seketika.
Seorang bocah laki-laki yang ditinggal sembunyi temannya menjadi sibuk sendirian dan mencari-cari temannya ke segala arah dan ke semua tempat.  Anak yang pertama kali ditemukan pertanda menjadi korban kekalahan dalam petak umpet malam itu.
Keanehan muncul malam itu. Boyidin, si bocah laki-laki yang usia sekolah menengah pertama tidak bergabung dalam permainan itu. Ia mulai sebel dan jenuh dengan permainan malam itu.
“Boyidin…, nggak mainan ta…., sana loh ngumpul sama teman-temanmu!!! Dari siang tadi tidur melulu, nggak bosan ta….” bentak ibunya setengah kesal.
Boyidin tak menyahut sedikitpun, justru ia malah membengkokkan punggungnya di tempat tidurnya. Wajahnya bersungut-sungut, tampak mbesengut dipalingkan dari pandangan sang ibunya..
“Biarkan Bu. Dia nggak mau mainan kok dipaksa. Biar tidur begitu aja.” jawab bapaknya sambil memegang cerutu yang mengepulkan asap. Ditemani secangkir kopi ia bersandar di kursi yang menempel di dinding. Tangan kiri di atas meja panjang sambil memegang cawan kopi, sedangkan tangan kanan mengapit cerutu dalam posisi lebih tinggi dari kepala.
Bu Tutrina makin bingung, perasaan makin sedih, rasanya serba salah. ia termenung sambil menerawang ucapannya kemarin. Ia telah berjanji membelikan sepatu Boyidin namun janji itu belum terpenuhi. Ia belum mampu membelikan sepatu Boyidin karena belum ada uang. Beberapa minggu terakhir Boyidin mengeluhkan perihal sepatunya yang rusak. Ia merasa malu dengan temannya karena sepatu untuk sekolah tiap hari sudah jebol. Mungkin ini yang dipikirkan bu Tutrina.

Malam itu pun Boyidin sudah tidak mau makan hingga ia tertidur lelap di ranjang tidur.
Keesokan harinya Boyidin bangun lebih awal.
“Ibu…., dimana lentera tua yang pernah kita nyalakan?” tanya Boyidin kepada ibunya.
 “Lhowh…., kok malah nanya lentera segala. Sudah lama ia tergeletak di kamar belakang tak terawat. Aku lempar ke sana sejak dulu. Kan sudah ada lampu baru. Buat apa lentera itu?” jawab ibunya.
Aku ingin nyambangi kandang kambing di malam hari tapi tidak ada lenteranya. Lentera itu berguna buatku, Bu. Cobalah lihat sendiri. Tadi malam bulan bersinar terang, cahayanya tidak bisa menembus ke kandang kambing kita. Kandangnya gelap. Kalau sudah begini, apa gunanya cahaya purnama semalaman.” sewot Boyidin.
“Beberapa hari terakhir ini aku kesulitan, aku sedih melihat kambing-kambing yang berisik dengan anak-anak mainan di bawah sinar bulan purnama, sementara kambing-kambing yang berharga dalam hidupku juga bermanfaat bagi semua anak mainan menjadi resah karena ulah anak mainan. Dalam kegelapan kambing gelisah mendengar lompatan dan hentakan kaki-kaki anak-anak bermain di sekitarnya. Ia butuh lentera sebagaimana kita butuh penerangan. Kambing-kambingku tidak butuh cahaya purnama malam itu, begitu pula aku,” jawab sang anaknya sambil menarik sarungnya lalu disampirkan ke kayu samping rumah..
Ibu Tutrina terperanjat kaget mendengar jawaban Boyidin. Ia anggap Boyidin marah karena Sepatunya yang jebol, ternyata anggapannya itu salah.
Hati seorang ibu mana sih yang nggak sedih melihat kelakuan Boyidin semalam yang cemberut, ngambek, nggak mau makan, dan tidur melulu di ranjang tidur. Kini mencairlah sudah perasaan bu Tutrina setelah sehari semalam beku karena ulah Boyidin.
Kali ini permintaan Boyidin segera dituruti.
Bu Tutrina bergegas menuju kamar belakang yang dijadikan tempat menyimpan barang-barang yang tak terpakai namun barang itu masih layak pakai. Teriring rasa bahagia, sang ibu ini tergesa-gesa menuju tempat lentera. yang sudah tahunan mangkrak.
Bu Tutrina membersihkan batang lentera lalu dituangkan minyak itu ke tabung lentera. Sumbunya diganti kapas yang memanjang.
Korek api pun diambil lalu disulutkan api ke ujung kapas memanjang hingga terbakar sedikit. Kini lentera menyala terang walau pagi itu raja siang menyapa dunia. Senyum mulai muncul dari bibir Boyidin. Ibu Tutrina mematikan lagi lentera itu saat raja siang terbit di ufuk timur bersama syahdunya kicau burung pagi bersahutan dengan kambing-kambing.
“Nak….., matikan ya lentera ini bila malam-malam telah bersinar cahaya purnama. Ini untuk kandang kambing-kambingmu dan kamar kita. Yang di luar juga ada bulan purnama.” pinta ibunya sambil menasehati anaknya yang sedang memasuki usia remaja.
“Ibu…., bulan purnama di atas sana telah menipu kita. Berharap banyak padanya, tapi kenyataannya ia hilang tak berkesan. Ia telah munafik pada kita. Kemarin muncul sekarang menghilang. Besok muncul lagi, lusa menghilang, besok lusa muncul lagi, besok lusanya hilang juga. Sampai kapan ia begini. Masak harus terus-terusan begini.” jawab Boyidin dengan kesal melihat kelakuan bulan purnama..
Ia pun mulai berucap lebih jauh,
“Apa tidak sebaiknya kita menghidupkan lentera, lentara yang jauh lebih berharga. Ia bisa kita perbuat kapan saja dan untuk apa saja? Tuh, Bu, lentera sudah lama tergeletak di lantai kamar belakang dekat kandang kambing sampai-sampai sarang laba-laba dan kumbang berkait-kaitan. Saatnya lentera ini dirawat sekarang juga.
Ibu, lentera ini bisa kita bawa kemana-mana, tetapi si bulan purnama tidak bisa dibawa kemanapun, malahan ia tak berdaya menghadapi saat-saat kesulitan kita.
Acapkali ia menghilang saat kita membutuhkannya. .”
Bu Tutrina sejenak mengerutkan dahinya. Ia merenungkan semua kata-kata anaknya.
“Anakku…., sejak kapan kau tahu ini…!!!? Bukankah bulan purnama telah lama ada sebelum kamu lahir?” tanya sang ibu dengan raut muka kecewa dan tak percaya ucapan anaknya.
“Bu…., yang terpenting bukan siapa yang lebih dulu ada, tetapi apa yang diperbuatnya sudah bermanfaat setiap saat ataukah tidak. Walau bulan purnama telah ada sebelum aku lahir ke dunia, bahkan ia ada sebelum lentera ini dibuat, kenyataannya lentera tua ini lebih bermanfaat bagi manusia dari pada cahaya purnama.” jawab Boyidin.
Sang ibu mulai terdiam dan berpikir. Mulutnya terkunci rapat. Boyidin menjadi penasaran dengan diamnya sang ibu. Wajah sang ibu masih menunjukkan rasa tak percaya.
“Kenapa Ibu masih saja seperti orang-orang di sana yang selalu mengagung-agungkan cahaya bulan purnama. Lihat tuh ia menghilang kala pagi orang mulai bekerja di sawah. Ia mengebumikan dirinya saat abah Dullah kerja dan mengawasi kantornya. Ia hanya mendengkur saat Mak Fillah ke pasar membuka dagangan sayurnya. Lalu apa hebatnya cahaya purnama? Lagian apa yang ia tampilkan selama ini hanyalah semu belaka. Ia tak punya energi sendiri untuk memancarkan cahaya di malam hari. Ahhh…., bisanya cuma nebeng doank. Kalau udah begini, lalu siapa yang bisa menjamin bahwa ia sanggup menghantarkan kejayaan dunia.”
Sang ibu yang semula yakin dengan kebenaran angan pikirannya dan percaya diri memberikan wejangan pada anak tersayangnya kini makin diam seribu bahasa. Ia membolak-balik apa yang semula diyakini kebenarannya.
“Ibu…., dunia tak pernah mengalami kejayaan oleh terangnya cahaya purnama.
Justru lihatlah kota tua yang selama ini diperebutkan baginda raja semakin tak karuan hanya karena terangnya cahaya purnama. Mereka enak-enakkan duduk dengan minum-minumannya di bawah putihnya bulan purnama lalu tertawa hingga melupakan rakyat yang melarat. Semua itu mereka lakukan hingga larut malam. Belum lagi maling-maling kondhang berembug untuk menjalankan aksi liciknya. Ketahuilah Ibu…., mereka semua lakukan di bawah terangnya cahaya purnama.”
Bu Tutrina termangu sambil mengusap pipinya dengan bajunya. Linangan air mata tak kuasa dibendung.
“Lihatlah Ibu…….,
Mak Fillah yang setiap hari rajin buka dagangan sayurnya di pasar tradisional lalu pulang, malamnya ia bersujud memohon agar laris dagangannya.
Begitu pula si Bondet tiap malam berzikir memohon kapan ia bisa lepas dari jeratan derita nistanya. Bahkan si Poniyem yang banting tulang peras keringat berlari dan berlari dari kemiskinan dengan napas terengah-engah ia memanggul jamu ke setiap sudut-sudut kampung. Belum lagi kang Darko yang miskin itu, barusan dari sawahnya yang kering tandus, ia sibuk pada sepertiga malamnya dengan puja-puji doanya agar kelak anaknya jadi cerdas, berilmu, beriman, dan menjadi pemimpin kerajaan dunia. Mereka semua lakukan ini bukan di bawah terangnya cahaya purnama, tapi dari lentera yang ia nyalakan di sudut ruangan tiap malam.”
Sang Ibu memeluk erat tubuh Boyidin.
“Kamu benar anakku. Ibu telah lupa akan pesan sang guru dari para penghuni istana raja pendahulu kita. Aku ingat kembali semua ini, duhai anakku. Kini ibu tidak akan pernah tertipu lagi oleh terangnya cahaya purnama yang penuh kepalsuan. Ia tak seindah yang kubayangkan. Tubuhnya yang tandus dan gersang, sinar matahari yang ia pantulkan telah berhasil mengubah paradigma manusia hingga semuanya terjerak dalam pencitraannnya. Walau bulan itu hadir dengan terangnya cahaya purnama, ibu gak bakalan percaya lagi dengan penampakannya. Selama ini ibu melintasi jalan-jalan fatamorgana.
Boyidin ikut meneteskan air matanya sambil berkata dengan terbata-bata.
“Ibu….., Lihatlah di atas sana, sebuah singgasana angkasa.
Bulan purnama itu tersenyum di saat kemarau begitu panjang.
Sementara di sekelilingnya berarak-arak mendung hitam sesekali menutupinya. Bila ia tertutup awan, lalu dimana kita melangkah kita tak tahu arah dan tujuan, yang ada hanya gulita malam. Bulan purnama tak kuasa berbuat apapun.
Sebaliknya saksikan pula, duhai ibu…..,
Saat-saat musim berganti hujan, bulan purnama tiada lagi bercahaya, ia mati bagai benda mati yang terkubur oleh gundukan tanah hitam.
Kita pun tidak bisa melangkah meraih impian karena segalanya gelap, lalu dimana cahaya bulan purnama yang dibangga-banggakan oleh setiap orang?”
Boyidin terlepas dari dekapan bundanya. Ia mengambil lentera yang baru saja terjatuh dari tangan sang ibu saat mendekap Boyidin.
“Lihatlah lentera di tanganku, Ibu.
Setiap saat bisa kugenggam. Setiap saat bisa kunyalakan.
Cahayanya bisa mengalahkan terangnya cahaya purnama di atas sana.
Bila saat kemarau tiba dan mendung sesekali menutupi cahayanya, saat itu pula aku bisa menyalakan lentera ini.
Bila hujan tiba aku pun bisa berjalan kemana saja, dibawah payung nan kemilau rintik hujan tak sanggup menyentuh tubuh lalu lentera pun menjadi hidup bila kusulut. Sementara bulan purnama di atas sana tak punya cahaya hanya karena hujan.
Ibu….., inilah lentera buat kehidupan kita. Jangan sia-siakan….. Jangan menghidup-hidupkan harapan pada sebuah kepalsuan bulan purnama biarpun ia di atas sana lebih tinggi tempatnya dari kita. Aku yakin dan pasti cahaya lentera ini bisa menembus kegelapan malam hingga esok pagi menjelang.”

Bersambung…….

S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
ngumpet
nyambangi
nebeng
ngambek
sewot
=============================
RUNTUHNYA KOTA TUA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

RUNTUHNYA KOTA TUA
Diambil dari kisah kehidupan rakyat desa.
Lokasi Peristiwa:
Ditulis di Surabaya, Sabtu, 11 Maret 2017
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dipublikasikan pertama kali pada hari Kamis 16 Maret 2017 jam 11.08 malam

Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006

Penulis adalah seorang pengajar, penyair, dan cerpenis.

Friday, March 10, 2017

Sprinkling in Silence 19 (Percikan dalam Kesunyian 19) : Love without Light (Cinta tanpa Cahaya)

LOVE WITHOUT LIGHT
Written by Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
CINTA TANPA CAHAYA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
“Bunga dalam salju tetap hidup meskipun dalam beku” begitulah kiranya Monayyah mengungkapkan rasa cintanya di musim salju pada lelaki yang baru saja dikenalnya.
Tiada keraguan sedikit pun pada dirinya. Lentera cinta yang konon kabarnya menjadi penerang sekaligus penghangat cinta, kali ini padam karena gumpalan salju pada ranah persinggahan sementara. Walau begitu siapa sangka Monayyah mulai kesengsem dengan tampilan luar wajah Johnadi, lelaki yang kini hidup sementara di musim dingin setelah menghabiskan saat-saat terindahnya di musim semi.
Monayyah bukanlah sosok baru di panggung percintaan, ia pemain lama, yang malang melintang di rimba cinta. Tentu tidak asing baginya untuk merenangi samudera cintanya. Tapi kali ini bukan hanya lentera yang padam, semua cahaya di ufuk timur mulai gelap ditelan salju keabadian. Ia hanya hidup dengan dinginnya salju cinta yang acap kali membekukan segala apa yang ada di sekelilingnya.

Sungguh anggun nan jelita wajah Monayyah. Kesemuanya nampak serupa bunga-bunga yang tertutupi salju menumpuk berserakan. Ia berharap salju terbakar dalam kehangatan cinta yang pernah dibuainya. Dicarilah celah-celah cahaya dari setiap lorong-lorong kehidupan. Namun apalah daya cahaya itu telah sirna dan tak ditemukan, rekahan cahaya di ufuk timur tetap tak kunjung muncul, awan menggelayut menutup tanpa batas waktu, bunga dalam salju tetap hidup dalam beku.
Tidak hanya itu kerinduan akan kapan bunga-bunga menjadi berseri kala tiba cahaya memenuhi dunia, itu hanyalah isapan jempol, yang jelas realitas membuktikan kebenaran salju telah melenyapkan cahaya, bahkan langit pun tertutup awan hingga keceriaan yang terbit setiap pagi di ufuk sana hanya jeruji kebekuan dan kehampaan.

Tak seorang pun mengira Monayyah telah melupakan sejarah kehidupannya. Sinar-sinar kehidupan yang pernah ia bangun dengan sekuat tenaga dari jiwanya kini telah lenyap oleh ambisi nafsu keserakahan. Ia masih menunggu kapan datangnya lentera cinta, cahaya keabadian, dan cahaya jiwa dari seputih cintanya yang telah hilang. Saatnya cahaya lenyap, saatnya salju membekukan alam kehidupan.
Kini ia rasakan dunia tak lagi dipenuhi bunga-bunga berseri.
“Hay…., lagi ngapa di Indonesia?”
Berdebar-debar perasaan Monayyah membaca pesan melalui messenger. Ia pun mencari tempat berteduh, nyaman, dan aman dari tatapan orang di sekelilingnya.
Ditulislah pesan balasan lewat messenger,”Lagi aktifitas masak.” Mata Monayyah jelalatan lirik kiri lirik kanan khawatir ada orang yang mengetahuinya. Kemudian dipencet tombol kirim pesan messenger.  Telepon genggam segera dimatikan lalu dimasukkan ke baju dengan ekstra hati-hati.
Besoknya Johnadi mengirim foto-foto cakep dan penuh gaya masa kini sambil meminta foto Monayyah. Pikiran dan perasaan Monayyah makin was-was dengan suami dan anaknya. Maklum pesan messenger kali ini masuk pada saat Monayyah melepas lelah usai kerja seharian, sementara di kanan kirinya anak-anaknya mendengar dering pesan messenger masuk. Anak-anaknya tidak komentar karena mereka pikir itu hanyalah informasi dari tempat kerja bundanya.
Hari demi hari Monayyah diliputi kecemasan. Demi menghibur diri dan mencari isi hati kekasih yang baru dilirik, ia pun mengirim messenger ke lelaki pujaan yang tinggal di Kota musim dingin.
“Pertama bertemu denganmu di kelas Bahasa asing.
Rasanya masih biasa saja.
Hari kedua saya merasakan ada dorongan dalam hatiku untuk menatapmu.
Hari ketiga aku semakin takut karena rasa ini membuat aku gelisah.
Malam terakhir di pertemuan kelas Bahasa asing di negara bersalju ini  aku semakin sedih. Karena aku berfikir tidak akan ketemu kamu lagi, aku menangis sepanjang malam.memohon pada tuhan untuk menghilangkan rasa ini.
Tidak ada rasa senang saat dalam perjalanan pulang ke Indonesia.
Sampai di rumah pun aku merasakan hampa, kosong.
Sampai akhirnya kamu sms bahwa saat itu kamu sedang berada di bandara Amerika.
Selanjutnya kita mengutarakan perasaan kita satu sama lain, kita saling mencintai.
Hari demi hari cinta kita semakin dalam.
Kita saling bercerita kegiatan kita sehari-hari.
Setiap menit, setiap jam kita saling memberi kabar tentang kegiatan yang kita lakukan. Saat sholat, saat makan, saat di jalan, bahkan mau tidur pun semuanya kita ceritakan satu sama lain.
Bahkan kita saling berkirim foto untuk menghilangkan rasa rindu.
Kita berdua berfikir bagaimana caranya agar kita bertemu lagi.
Hari ke hari kita semakin dekat walau jarak memisahkan kita, walau kita berada di musim berbeda.
Semua apa yang kita pikirkan juga sama.
Begitulah isi messenger yang mengabadikan cinta mereka berdua. Messenger telah menghantarkan pesan-pesan singkat antara Monayyah dan Johnadi. Messenger telah merajut ikatan cinta mereka berdua walau keduanya telah berumah tangga.


...................................
.............................................
(BERSAMBUNG................)
Nantikan selengkapnya kisah Cinta Tanpa Cahaya pada pada sambungan berikutnya.........................

=============================
CINTA TANPA CAHAYA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

CINTA TANPA CAHAYA
Diambil dari kisah kehidupan rakyat kota
Lokasi Peristiwa sepanjang perjalanan kehidupan antar negara.
Ditulis di Surabaya, Kamis 10 Nopember 2016
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dipublikasikan pertama kali pada hari Jumat 10 Maret 2017

Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis adalah seorang pengajar, penyair, dan cerpenis.


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)