Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Thursday, August 21, 2014

Sprinkling in Silence 7 (Percikan dalam Kesunyian 7) : The Waiting of the Banyuwangi Bus (Penantian Bus Banyuwangi)

PENANTIAN BUS BANYUWANGI

Saat itu tepat jam 14.00 waktu kota Pasuruan tampak di telepon genggamku. Seorang lelaki muda yang memboncengku menurunkan aku di pusat kota Pasuruan. Turun dari boncengan kucari tempat bernaung diri, di sebelah sana agak ke utara berdiri tegak rimbun daunnya, entah apa nama pohon itu, ku tak tahu namanya. Aku berdiri di tepi jalan raya tepat di depan agak menyamping ke kiri pertokoan mungil. Kutengok kiri-kanan kulihat banyak orang duduk menanti kedatangan bus. Di sini tempat menanti kedatangan bus Banyuwangi. Bus yang sedianya mengantar para pencari nafkah ke kota Surabaya.
Sesaat kemudian bus melaju kencang dari arah selatan menuju tempat orang-orang duduk menantinya. Tertulis di kaca depan bus itu “Malang”. Maksud tulisan ini adalah bus melaju kencang menuju kota Malang. Orang-orang berlari berebut memasuki bus. Aku hanya bengong memperhatikan mereka. Kursi penantian yang ada di depan pertokoan mungil rapi itu melompong karena ditinggal orang-orang yang sekian jam mendudukinya. Sesaat kemudian kuarahkan pandangan mata kepada setiap nyawa yang berjubel-jubel dalam bus. Mereka asyik berdiri berdesakan di dalam bus menuju Malang. Ahhh.., capek juga berdiri di bawah pohon ini dengan mencangklong tas penuh beban berat. Kulangkahkan kaki menuju kursi penantian yang melompong itu, senyumku tersebar sambil menikmati duduk santai sesekali tengok-tengok ke arah selatan barangkali ada bus dari Banyuwangi menuju Surabaya.
Rasanya hampir sejam aku menunggunya, padahal pekerjaan menunggu untuk keperluan mendesak mungkin boleh dikata semenit sama dengan setahun. Hmmm..., kucoba menikmati penantian bus Banyuwangi. Penantian demi penantian kulalui dari menit ke menit. Kulihat sekali lagi telepon genggamku, barangkali ada pesan yang terkirim. Sesekali pula kuperhatikan penanda waktu menit dan detik “byar pet byar pet” tampil di layar monitor telepon genggam.
Tiba-tiba seorang lelaki dan perempuan dari dua arah berbeda berboncengan datang dan selanjutnya turun dari sepeda motornya. Mereka berjalan menuju tempat duduk di dekatku. Sepertinya mereka diantar keluarganya. Mereka hendak kembali ke kota Surabaya mengadu nasib setelah seminggu berlebaran di kampung halamannya. Beberapa kardus tampak berat mereka tenteng sesekali harapan masa depannya dipancarkan dari langkah-langkahnya, bicaranya penuh harap akan esok cerah di hari tuanya, dan tatapan tajam mata-mata mereka akan limpahan rejeki yang akan diraih di kota impian.
Di dekatnya aku diam membisu, hanya bisa mendengarkan pembicarannya. Mereka asyik mengobrol sebagai pengisi waktu senggang. Tak berapa lama kemudian “thooooooot thoooot thooott...” klakson bus terdengar dari kejauhan.

Tampak dari arah selatan bus melaju kencang dan mendekati kursi penantian. Ee...e..ehhmm..., tertulis di kaca depannya “Mojokerto”, itu pertanda bus menuju Mojokerto. Ramai juga penumpang di dalamnya. Penuh sesak berjubelan juga di dalamnya. Bahkan jauh lebih padat orangnya, jubel-jubelan di sana makin mengkhawatirkan ketimbang bus jurusan Malang yang baru saja lewat. Beberapa orang di dekatku berlari menuju bus itu, lalu memasukinya. Tak menggubris orang dalam jubel-jubelan, yang penting terbawa bus hingga ke tujuan. Mereka pikir dalam situasi demikian tiada pilihan lain kecuali harus legawa menerima demikian walau menurut aturan kepolisian ini benar-benar sangat riskan sekali bagi pengikutnya. Keselamatan yang jauh lebih berharga, keselamatan yang didamba oleh setiap pengikut bus sulit menjadi pertimbangan dalam keadaan demikian.

“Belum ada ya bus jurusan Surabaya?” tanya orang di sebelahku. Aku pun menjawab,”Ya,Pak. Belum ada. Aku juga mau ke Surabaya.”
“Oo, itu bus datang, Pak!” kata mereka seraya telunjuk jarinya menunjuk ke arah bus itu. Benar juga, bus yang datang kini mendekatiku. Di kaca depannya tertulis Banyuwangi-Surabaya, ini artinya bus dari Banyuwangi menuju terminal Purabaya.
Seorang kernet memanggilku sambil melambaikan tangan kirinya sebagai isyarat mengajak daku segera masuk ke dalam bus jurusan Terminal Purabaya. Penantian bus Banyuwangi harus segera berakhir demi cita-cita di hari pagi yang setia terbit menyinari alam dengan segala isi.
Aku segera beranjak bangkit dari dudukku. Orang di dekatku juga menuju dalam bus.
Ya ampuuuun..., begitu pintu masuk bagian ekor bus kulalui terlihat berjubel orang di dalamnya. Aku pun mencoba menenangkan pikiran, kucoba menikmati suasana jubel-jubelan itu sambil menghirup karbondioksida dan pengap karena kelebihan muatan penumpang.
Rasa optimis masih menancap kuat di pikiran. Dalam pikiran tergambar,”Yaaa paling-paling nanti di sekitar Jambangan pasti ada orang turun. Kutahan dulu sambil menunggu penumpang yang turun di sana. “
Tepat di sekitar Jambangan ealaaa kok tidak ada penumpang yang turun padahal kondisi berjubel. Terlintas antara ya dan tidak. Tidak mungkin aku ikut-ikut berjubel begini karena aku masih membawa laptop (notebook) di tas dan beberapa buku dalam kondisi berdiri terus, sementara keletihan menggelayut di punggungku. Tidak mungkin aku menaruh tas di bagasi kalau tumpuk-menumpuk barang bawaan penumpang tak terapikan karena laptop tidak boleh ditumpuki beban berat. Tidak mungkin pula ku letakkan tas berisi laptop dan beberapa buku di bawah atau di bagian belakang bus karena tumpukan barang berserakan.
Mungkin panik dan berpikir serius bercampur suasana pengap dengan berjubel-jubel orang belum lagi kepikiran bagaimana seandainya ada kebakaran bus atau tabrakan, gimana cara kita mengamankan diri yaa. Berbagai kemungkinan buruk tergambar di pikiran. Mungkin terlalu ketakukan itu tiba-tiba mendadak pingin kencing, terpaksa aku minta si kernet untuk diturunkan.
“Kenapa turun?” tanya si kernet.
“Mau pipis (kencing),Mas?” jawabku.
Agak jauh dari prapatan Jambangan aku pun turun. Kucari ponten umum atau toilet umum di sekitar kota itu tidak ada. Tidak menyerah, kususuri jalan mencari ponten umum. Ternyata, tidak ada juga.
Seketika itu pula rasa ingin kencing hilang. Terasa aneh bin ajaib, kencing yang sudah tak tertahankan tiba-tiba menghilang tak terasa. Rupanya rasa panik dan rasa ingin kencing hanya tipuan. Aku pun balik lagi ke tempat pemberhentian bus. Kulalui jalan itu, asa menggebu untuk segera sampai terminal Purabaya.
Kali ini aku cukup menunggu di tepi jalan saja, bila bus datang cukuplah tanganku melambai-lambai agar bus berhenti. Kulihat jalan ini cuma satu jurusan menuju Terminal Purabaya. Bus yang melaju di depanku pasti bus menuju Surabaya. Tak seberapa lama, bus pun tampak melaju dengan kecepatan tinggi dari selatan, tanganku melambai-lambai, bus berhenti agak jauh dari sisiku. Dengan langkah sedikit gontai kucoba mempercepat jalanku, sementara kernet pun berteriak-teriak memintaku cepat-cepat menuju bus.
Hmmm..., tampak sekali kurang bersahabat si kernet ini.
Kutenangkan pikiran dan kulembutkan hati agar tidak terpancing emosi. Betapa kagetnya batin ini, tampak berjubel-jubel orang berdiri memandangiku sambil memegangi barang bawaannya dan pegangan bus yang mirip jemuran bergelantung di atap bus. Kali ini sial juga, tak kutemui satu pun tempat duduk kosong.  Hawa panas, bising suara bus, omelan dan obrolan penumpang dalam gerombolan jubel-jubelan menyelimuti seisi bus. Keadaan ini terpaksa dilaluinya. Tiada pilihan lain dalam perjalanan hidup ini, inilah jejak hidup yang harus disusuri dan dimiliki walau pahit dan sulit saatnya menghampiri.
“Mas, kok penuh terus yaa bisnya? Ada Apa, Mas?” tanyaku pada si kernet.
”Ya, Mas ini kan arus balik dari Banyuwangi ke Surabaya. Sepanjang jalan Lumajang, Probolinggo, Pasuruan, banyak yang naik bus menuju Surabaya.  Mereka semua ini menuju Surabaya, Mas. Mereka sudah membayar sampai Terminal Purabaya. Walau menunggu bus berikutnya, ya seperti ini jubel-jubelan terus, panas pengap, dan lelah, Mas.”demikian penjelasan si kernet.  
“Ya Allaah..., Allaahu Robbiyy..., Aku ikhlas menerima semua ini. Tubuhku lelah, Bawaanku berat, laptop yang bermerek masih baru kubeli dengan harga mahal menurut ukuran orang seprofesiku tidak mungkin ku biarkan sendirian bertindih-tindihan dengan barang bawaan orang- orang di bus ini.” pintaku pada Sang Maha Penguasa Jagat Raya.
“Ya allaah..., aku mohon kekuatan tubuhku, aku rela berdiri asalkan engkau ringankan bebanku dan engkau beri kekuatan tubuhku. Aku tidak akan mengeluh kepada siapapun lagi, aku tidak akan mengeluh padamu lagi ya Allah. Berilah kekuatan yaa allaaah...”gumamku dalam batin.
Kucoba tanganku menggapai-nggapai pegangan yang bergelantungan di atap bus. Goncangan di dalam bus makin terasa, tubuhku oleng ke kiri oleng ke kanan terkadang maju mundur maju maju maju mundur mundur mundur maju mundur, mundur maju.  Makin erat tanganku menggenggam batangan besi itu. Memang itu untuk pegangan penumpang manakala bus kelebihan muatan dan goncangan hebat terjadi padanya.

“Mas, taruhlah tasnya di bagian belakang bus biar gak berat, biar gak kecapekan, ini masih jauh dari Surabaya.“ pinta si kernet tadi.
“Ini isinya laptop, Mas.”jawabku.
“ Oalaa.., laptop ta mas. Kalau gitu, jangan ditaruh di punggung belakangmu, Mas. Cangklonglah di posisi depan perutmu.” saran si kernet yang mulai ramah pembicaraannya padaku.
“Ya, mas. Terima kasih.” jawabku.
Ternyata si kernet tadi tahu bahwa laptop tidak boleh ditindihi barang berat. Bahkan ia pun menyuruhku tidak menaruh di punggungku, aku mengerti pikirannya. Dalam kondisi yang berjubel-jubel ini dikhawatirkan laptopku bisa dicederai orang. Bisa saja hal yang tidak dimaui bakal terjadi diluar kontrol diri. Bisa saja kelebihan penumpang ini menimbulkan hal-hal yang tak pernah terbayangkan selama ini. Aku pun mengikuti saran si kernet tadi. Yang penting si kernet tidak marah-marah padaku karena kulihat si kernet tampak sering marah-marah pada penumpang.
Kupandangi sekelilingku, suasana sumuk menghadirkan cucuran keringat pada setiap dahi yang berambisi mengais rejeki di kota metropolis.
Wajah-wajah bersih sumringah berubah menjadi sungai keringat yang mengalir deras.
“Surabaya...,Surabaya..., Surabaya....!!!!” teriak si kernet kepada calon penumpang yang dilihat berjajar di pinggir jalan. Sebagian di antara mereka ada yang nekat masuk, ada yang ogah-ogahan naik bus lantaran sudah penuh sesak. Bahkan ada yang cuek karena pilih-pilih bus.
Segenap kekuatan kukerahkan untuk berdiri agar sampai Terminal Purabaya.
Kulihat bus melintasi daerah Raci.
Beberapa menit kemudian tidak sampai sejam, akhirnya bus memasuki kawasan Bangil.
“Bangil...,Bangil.., Bangil....!!!” teriak si kernet pada penumpang. Ternyata gak ada yang mau turun juga.
Justru segelintir orang berdiri di sepanjang jalan Raya Bangil nekat juga masuk bus karena memang sudah lama menunggu bus menuju Surabaya.
Makin kaku kakiku berdiri tegak mematung. Raungan bus terdengar di tengah desak-desakan orang.

Kulihat di depanku agak jauh di sana sang ibu menggendong si kecil usia 1 tahunan. Ia mencoba bercengkarama dengan si kecilnya dengan harapan si kecilnya kerasan (betah) di dalam bus yang penuh sesak penumpang. Sementara itu si kecil berusia 3 tahunan di sampingnya memanggil-manggil adiknya yang masih usia 1 tahunan. Tangan-tangannya meraih-raih adiknya, sesekali gagal karena tempatnya terpisah oleh penumpang lainnya. Dicobanya lagi, di raihnya jari-jemarinya seraya menyebut-nyebut namanya. Namanya tak terdengar oleh telingaku. Suara bising bus dan bisik-bisik orang di sekelilingku melenyapkan panggilan si kecil pada adiknya.
“Kejapanan.., Kejapanan..,Kejapanan..!!!!!!”suara dari bibir kernet mengagetkan. Memang tempat berdiriku di pintu bus bagian belakang dan di situ pula si kernet berdiri sambil melihat keluar untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

Tak tahulah aku, tiba-tiba bus bergoyang-goyang. Goyangannya sanggup mengocok seluruh isi penumpang, bahkan goyang-goyang itu menggemparkan para penumpang, entahlah apa penyebabnya.
Diantara yang tertidur lelap terbangun dalam goyangan, mereka berusaha mengimbangi goyangan itu.
Ketika itu pula halus lembut sentuhan tangan dari belakang menempel di bahu kananku, kutoleh ke belakang. Kulihat lelaki besar gendut berusia 55 tahunan yang sejak semula kulihat duduk asyik tertidur yang menduduki kursi di paling belakang bangun dari duduknya.
“Duduk sini, Mas.” ucap lelaki ini sambil memegang tangan kananku.
“Ya, terima kasih, Pak.” jawabku. Semua penumpang di sekelilingku terperangah melihat ulah lelaki ini. Dari seluruh penumpang di sekelilingku dan sekelilingnya cuma aku yang diharap. Ia menginginkan aku agar menduduki tempatnya. Lelaki setengah tua ini mulai berdiri di depanku.
“Permisi, saya mau duduk.” pintaku pada orang yang duduk di kiri-kanan tempat duduk yang kosong tadi.
Aku pun segera menduduki tempatnya. Lelaki itu berdiri di depanku pada tempat posisiku semula berdiri. Kini aku nikmati kursi sambil menghela napas setelah berdiri cukup lama.
“Siapa ya orang ini. Kok memintaku untuk duduk di kursinya. Aku tidak mengenalnya. Ini bukan daerahku. Aku tampak asing di matanya. Begitu pula dia pun memang asing di mataku. Mengapa harus aku yang disuruh duduk, bukan orang lain yang di dekatku?” gumam batinku.
Kuperhatikan betul wajahnya. Aku tidak mengenalnya. Ia memang berdiri, mungkin mau turun di Kejapanan.
Sedari tadi si kernet teriak-teriak terus. Si kernet menyebut-nyebut kota Kejapanan, maksudnya para penumpang yang mau turun Kejapanan segera mempersiapkan diri dan tidak kelupaan barang bawaannya.
Sekarang kulihat bus memasuki Kejapanan. Kuperhatikan lelaki ini mungkin turun di Kejapanan.  Louwhh kok gak turun. Kulihat ke sebelah kanan sudah tampak bangunan masjid Al Jihad Kejapanan. Biasanya di tempat ini juga banyak orang turun. Mungkin agak ke sana dikit orang ini mau turun.
Ternyata bus melaju makin kencang. Ia, aku, dan bus makin jauh meninggalkan masjid Al Jihad Kejapanan, bahkan Kota Kejapanan pun makin tak tampak.
Kulihat Lelaki yang menyuruhku duduk sudah tidak melihatku, ia asyik melihat ke depan sambil berdiri di depanku. Kaos hitam dengan topi merah melekat kuat di tubuhnya. Tak ketinggalan juga celana hitam dan sepatu hitam ia kenakan juga.
Kupikir mungkin ia mau turun di penghujung Porong.
Pada saat di Porong, kulihat tak ada tanda-tanda mau turun. Bus tetap melaju kencang mau memasuki jalan tol Waru. Apakah wangsit datang dari Yang MahaKuasa saat ia lelap dalam tidurnya tadi? Benarkah wangsit itu membisik jiwanya saat kedamaian menghias tidurnya sepanjang perjalanan menuju Surabaya?
Aahhh.., pikiranku dipenuhi sejuta tanya. Namun tak satupun jawaban kutemui jua. Yang jelas tergambar hingga kini hanyalah siapa sebenarnya gerangan?
Anehnya, aku tidak langsung menyapanya dan menanyai kepergiannya. Pikiranku sepertinya ditutup oleh kekuatan gaib yang tidak menginginkan banyak kata padanya. Bibirku terasa terbungkam, diam seribu bahasa padanya.
Dengan seksama kuperhatikan lagi.
Tampak dari polahnya lelaki berusia 55 tahunan ini sepertinya hidup dalam kesunyian, ia sedang mengejar hakekat kehidupan. Gerak-geriknya menggambarkan bahwa kini Ia ditinggal pergi anak dan istrinya. Kasihnya sudah lama pergi. Ia hidup mencari nafkah sendiri.
Keterasingan hidup baginya dari kehidupan yang umum dilalui orang menjadi jalan istimewa buatnya. Ia hadir di bumi bukan karena berlama-lama dalam pergolakan dunia, bukan pula ingin merasakan tragedi dunia, bukan pula menceburkan dirinya dalam komedi dunia yang tak pernah habis-habisnya, bahkan bukan pula bersolek diri dalam gemerlap dunia. Ia memilih jalan yang berbeda dari para penghuni dunia kebanyakan, namun getar sunyi berbalut tulusnya kasih semerbak mengharumkan lintasan langkah kakinya.
Anganku, lamunanku di kursi paling belakang makin membubung tinggi ke langit.
Sesekali lamunan itu kucoba kubuang jauh sambil melihat rimbunnya pohon-pohon di kiri kanan di tepian jalan tol menuju pintu tol Waru.

“Medaeng..., Medaeng...,Medaeng...!!!!!” teriak si kernet.
Segerombol wanita tua dan lelaki tua di dalam bus bagian depan bersiap-siap turun. Beberapa orang di dekatku mulai mengambili barang-barangnya untuk persiapan turun. Kini bus yang kutumpangi memasuki kawasan Medaeng. Tepat di tikungan depan kulihat tembok bertuliskan “PELOPOR”, ini pertanda tempat pemberhentian bus untuk menurunkan penumpang sudah dekat.  Di Tikungan ini bus berbelok ke kiri, sebuah belokan satu-satunya jalan menuju Terminal Purabaya.

Kembali pandanganku tertuju pada lelaki itu.
Aku tidak sempat bertanya padanya. Kupikir ia akan turun di Terminal Purabaya, ternyata secepat itu pula lelaki yang sekian lama dalam penantian bus Banyuwangi melompat dari bus untuk meninggalkan bus dan aku. Ia tak menoleh sedikitpun padaku. Pas di Medaeng tempat menurunkan penumpang, lelaki tak kukenali yang menyuruh aku menduduki kursinya ikut turun bersama orang-orang.
Aku tetap memandanginya dari dalam bus. Aku belum sempat mengenal dari mana datangnya. Ia memang mengerti keadaanku yang sudah semakin lelah, letih, lesu, dan berat menenteng tas. Ia tahu alangkah kakunya kakiku untuk berdiri di tempat yang sumpek nan panas. Aku ingat betul bahwa Kejapanan saksi bisu akan kebaikannya. Aku hanya mampu berucap semoga kebaikan menyertai perjalanannya. Semoga pula ada jalan di kehidupan masa depannya.

Kenangan Kisah Pendek dalam sebuah kumpulan PERCIKAN DALAM KESUNYIAN
Serial KISAH SUNYI
Kamis, 7 Agustus 2014
Sepanjang perjalanan Pasuruan Kota- Kejapanan-Terminal Purabaya (Bungurasih)



All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)