WRITING EVERYTHING AMONG THE SEA FOAM.
KUTULISKAN DI ANTARA BUIH LAUTAN
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Ditulis pada hari Selasa, 23 Juni 2015 sampai
Rabu 24 juni 2015 di lautan.
SERIAL 1: RAMADHAN DI TENGAH LAUTAN
Rombongan kami satu
mobil tiba di halaman ruang penantian pelabuhan. Kulihat handphone menunjukkan
tepat pukul 07.30 waktu daerah gresik. Aku memasuki ruang penantian pelabuhan.
Ruang yang berukuran biasa dibandingkan gedung-gedung mewah yang tak jauh
darinya. Halaman dan lantai ruangan tampak bersih. Tak seberapa banyak orang di
ruang ini. Deretan kursi paling kanan masih kosong mlompong. Kupilih tempat duduk
yang agak dekat pintu. Dari tempat duduk ini cukup jelas pandangan pada kapal
Express Bahari E8 yang bersandar di bibir pantai. Kami terlalu pagi dan terlalu
rajin menanti kapan kapal segera berangkat.
Tidak banyak penjual
makanan dan minuman di pelabuhan sini. Memang ini Ramadhan, kulihat banyak
orang berpuasa, Suasana Ramadhan menyelimuti kota gresik, kota yang banyak
bertebaran para santri di setiap sudut kota. Mungkin saja karena Ramadhan,
tidak banyak penjual makanan minuman di siang hari.
“Sini aja pak
Ikhsan…” ajak pak Midjan.
“Ya, pak …” kataku.
Sesekali aku coba tengak-tengok ke sekeliling ruang penantian. Ini memang
pelabuhan Gresik, lumayan asing bagiku. Penasaran, ingin tahu apa saja
aktivitas orang di luar ruang tunggu di pelabuhan. Pingin juga jalan-jalan
keliling namun aku nggak berani jauh-jauh dari rombongan.
Rombongan kami
terdiri atas lima orang. Ada Bapak Midjan (yang semester ini memegang mata
kuliah Persamaan Differensial), ada Bu Nur Fauziyah (yang sedang menempuh
program doctoral di S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya,
selaku ketua riset Lesson Study di Pulau Terpencil), ada bu Sri Suryanti (yang
semester ini memegang mata kuliah Struktur Aljabar Teori Ring), ada saya
sendiri (Pak Ikhsan, yang semester ini memegang mata kuliah Matematika Diskrit
Kombinatorik). Juga ada Mas Amin, seorang Jornalis (wartawan) kenamaan di Jawa
Timur. Segala keperluan riset LESSON STUDY DI PULAU TERPENCIL sudah kami
persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan beberapa bulan sebelumnya semuanya
sudah siap berangkat dari Universitas Muhammadiyah Gresik menuju pulau Bawean.
Hanya saja kepergian kami sempat tertunda dari hari ke hari. Jadwal yang sudah
ditetapkan juga molor hanya karena gelombang lautan lumayan besar, tidak ada kapal angkutan penumpang yang
berangkat ke sana.
Baru kemudian di
minggu pertama Ramadhan 1436 H (2015) persiapan itu menjadi kenyataan. Benar-benar
kepergian kami ke pulau Bawean tampak menyenangkan. Kepergian ini bersamaan
dengan penghujung akhir semester genap. Sekarang kami berada di ruang
penantian, menikmati kursi ruang penantian, menunggu jam keberangkatan kapal.
Kami semua duduk
manis, sementara mas Amin dengan serius mencari tempat parkir mobil yang kami
tumpangi, tak hanya itu mas Amin pun membantu bu Nur Fauziyah membeli tiket. Di
sela penantian kuisi waktu senggang dengan obrolan ringan yang sesekali bertautan
dengan nasehat-nasehat kehidupan. Bu Suryanti yang duduk di sebelah kiri Bapak
Midjan menggabungkan diri pada obrolan kami. Cukup menoleh ke kanan kearah
wajah Bapak Midjan ketika obrolan kami menarik. Cukup menoleh ke kiri kearah
wajah Bu Nur Fauziyah untuk ngobrol sesaat dengannya. Bu Nur Fauziyah duduk
pada posisi paling kiri dari deretan kursi menyamping yang kami tempati, Beliau
sesekali ngobrol sama bu Suryanti, sesekali membalas SMS yang masuk, sesekali menerima
telpon..
Obrolan ringan kami
berlanjut bahkan diselingi kisah pengalaman hidup masa dahulu kala. Pengalaman
hidup yang harus dirasa pada setiap manusia meski di jalan yang berbeda. Bu
Suryanti, Bapak Midjan, dan Pak Ikhsan bergantian mengisahkan masa lalunya
walau singkat-singkat saja.
Kehidupan tak kan
pernah diraih begitu mudah, semua harus diperjuangkan dengan susah payah, butuh
pengorbanan untuk menggapai tujuan.
Obrolan kami
berlanjut hingga pada topik matematika. Bapak Midjan menyajikan bahan diskusi
tentang turunan dan integral. Turunan yang berbeda dari biasanya. Tepat diskusi
mengenai turunan berakhir, terdengar suara panggilan kepada seluruh penumpang
kapal lewat speaker. Suara speaker mengingatkan kita bersama agar segera memasuki
kapal.
Saat para penumpang
memasuki kapal, kuarahkan tatapan mata ke segala arah. Ingin tahu tentang
keadaan pelabuhan makin tak bisa kutahan. Aku melihat ke sana kemari. Tak hanya
itu, kuarahkan tatapan mata ke segala tepi pelabuhan saat kutinggalkan ruang
penantian.
(Dari kanan ke kiri:
Ibu Dosen Nur Fauziyah, Ibu Dosen Sri Suryanti, Bapak Dosen Midjan, dan paling
kiri Bapak Dosen Ikhsan)
Menjelang memasuki
geladak kapal, kami sempatkan foto bersama. Satu-demi satu gambar kami
terabadikan, inilah momen sepanjang sejarah yang tak pernah terlupakan. Kenyataan
tak kan pernah terulang kesekian kalinya walau esok lain hari masih ada
kesempatan. Kami yakin ada kesempatan di lain waktu, tapi beda kan suasananya. Suasana
masa depan jelas beda dengan sekarang di sekitar dermaga. Kebersamaan kami makin
berkait erat dari napas ramadhan.
Kulihat lagi
handphone jadulku, hmm….. kok masih pukul 08.48 ya…,Di luar sana dekat dermaga
terik matahari makin menyengat kulit wajah. Kami senang. Wajah-wajah dalam
kepanasan terik matahari pagi harus terabadikan. Wajah-wajah dalam kehausan di
saat panas siang hari di musim Ramadhan.
Kehausan yang siap
mengantarkan kami manakala kendala yang ada di pulau terpencil sana. Kehausan sungguh
menempa kami semakin haus ilmu dan haus ingin riset di pulau terpencil sana.
Aku yakin mereka yang di pulau terpencil sana menunggu kehadiran rombongan
kami. Mereka berharap ada perjumpaan untuk mencurahkan segala kendala di sana.
Di kampus kami setia
menjadi pelayan mahasiswa, pembimbing mahasiswa, dan pendidik mahasiswa. Kali
ini kepergian kami menjadi pelayan masyarakat pendidikan di pulau terpencil. Pengalaman
dan ilmu pengetahuan yang sekian lama kami kembangkan harus terbagi untuknya.
“Masuk mas…!” pinta
seorang penjaga pintu kapal yang berdiri tegak di ujung geladak kapal bibir
pantai..
Aku langkahkan kaki
kanan, ada rasa gemetar di sini. Aku berikan energy kaki agar bisa meraih atas
kapal.
Inilah kapal yang
sanggup mengantarkan kami menuju pulau terpencil nun jauh di sana. Pulau yang
konon banyak disebut orang sebagai pulau mungil di daerah terpencil untuk saat
ini.
Aku sendiri tak
pernah mendatangi ke pulau ini. Seindah apa pulau ini belum sempat tergambar di
benak. Berharap agar aku cepat menginjak pulau ini, sesekali kucoba meraih
gambaran adanya pulau ini di pikiran walau kadang tiada kepastian tentang
panoramanya, maklum belum pernah ke sini. Bisanya hanya mengira-ngira.
“Nguuurrrr…..hurugh
hurugh….” kapal mengeluarkan raungan mesin. Ia ingin cepat meluncur ke tengah
lautan.
Pak Midjan, Bu Nur
Fauziyah, Bu Sri Suryanti memasuki ruang pertama. Aku nggak tahu dimana mas
Amin berada. Sejak tadi kulihat memainkan perekam dan kamera digitalnya untuk meliput
berita segala keadaan sekitar kapal.
Aku mengikuti beliau
semua di belakangnya.
“Ayo ke sini” ajak
bu Nur Fauziyah.
Kami memasuki ruang
kedua. Ruangan yang luas, tempat duduk agar longgar dan rapi. Kursi emput
bercat orange berjajar. Di depan sana layar monitor lebar terpasang.
Gambar-gambar qosidah berselang-seling, artisnya menyanyikan lagu Qosidah
Modern Nasida Ria Semarang. Tampilan musik dari layar memantul dari setiap
dinding kaca kapal. Beriringan musik pelan-pelan menghiasi seisi ruangan kapal.
Ruangan full AC. Terasa dingin, kontras saat kami di luar kapal.
“Di sini saja, Pak
Ikhsan, dekat pak Midjan” pinta bu Nur Fauziyah.
“Ya, Bu Nur.”
Jawabku.
Aku menduduki kursi
dekat pak Midjan.
Kulihat ke luar
lewat dinding kaca kapal. Yaah…, hanya lewat dinding kaca, kelihatan Kapal
melaju cepat. Matahari meninggi. Air lautan bergelombang ringan. Terlihat jelas
gurat-gurat arus aliran bekas lintasan kapal. Sangat cepat laju kapal
sampai-sampai buih lautan meninggi sekitar kapal. Walau sinar matahari menembus
tajam air lautan, permukaan lautan masih berlapis kabut tipis-tipis.
Kapal Express Bahari
E8 tetap melaju cepat. Lajulah laju kapal menuju tengah lautan. Kutinggalkan
pelabuhan gresik, Saatnya menuju pulau terpencil sana. Pulau yang harus kuhuni
sesaat untuk kembali ke kehidupan yang sebelumnya.
“Kulihat Pak Midjan
di samping kiriku. Beliau duduk manis, tenang, sesekali rasa kantuknya dibuai
oleh lagu-lagu Qosidah Modern Nasida Ria Semarang dengan tempo pelan.
Lagu Nasida Ria
Semarang berjudul tahun 2000 dinyanyikan penyanyi lokal, lagu yang ngetop di
pelosok desa seluruh Indonesia sekitar tahun 1987-an. Suaranya agak cerik-cerik
(berok-berok), goyangnya terlalu cepat dan kebanyakan, walau berbusana muslimah
modern tapi terlalu mencolok buatnya, jauh beda dengan penampilan penyanyi Nasida
Ria Semarang yang hanya berbusana muslimah sederhana, rapi, sopan dan beradab
yang tampak khas keindonesiaannya..
Jauh, semakin jauh,
kutinggalkan daratan gresik. Kini aku berada di tengah lautan tak berombak
besar. Aku melalui kehidupan di tengah lautan sini.. Kehidupan yang baru adanya
karena tiada pernah kujamah sebelumnya. Pada tengah lautan pada sebuah kapal
kuterjaga, kuingat andai air lautan berombak besar apa jadinya? Ah, tidak
masalah. Bayangan semu itu hilang dari pikiran ketika sesekali terbayang betapa
hebatnya nenek moyangku orang pelaut, hanya dengan layar lebar mereka arungi
samudera dari satu pulau ke pulau, mereka singgahi dari satu daratan ke daratan
lainnya. Kapal yang kupakai ini jauh lebih kuat dan canggih dari mereka.
50 menit kapal
berlalu dari dermaga. Tepat pukul 09.50 kapal bergoyang-goyang, terasa memantul
naik turun dari permukaan lautan. Kutatap
di luar sana, hanya limpahan air tiada deburan ombak besar tapi kursi terasa
bergoyang, seperti kursi goyang.
“Aduh, gimana
ini…!!! Ada apa ya! Kok goyang-goyang. Kulihat Bapak Midjan di samping kiriku
tenang-tenang aja. Apa beliau nggak tahu ya.” guman batinku. Kulihat Bu Nur
Fauziyah dan Bu Suryanti bersimpuh memeluk perutnya, wajahnya tertunduk. Makin
penasaran campur ketar-ketir. Aku nggak berani bertanya padanya karena sudah
sejak awal aku banyak bertanya padanya, Aku khawatir pertanyaanku mengganggu
ketenangannya setengah tidur. Tadi kulihat beliau asyik memainkan handphone-nya.
“Ah, bangun lagi
beliau. Terasa kuat goyangan kapal hingga Bapak Midjan terbangunkan.”
Meski terbangunkan, Beliau
tenang menikmati goyangan kapal pada kursi empuknya sembari membolak-balik
handphone-nya. Tombol handphone ditekan-tekan. Apa yang dilakukannya sudah tak
bisa kulihat. Terdiam Aku tiba-tiba, kuhentikan tarian jari jemari di atas
keyboard laptopku, laptop yang sanggup menulis kisah ini. Ya……, Kutuliskan
kisah ini di tengah lautan dalam ayunan kapal. Kutuliskan segalanya pada sebuah
kapal di antara buih-buih lautan. Kuuntai kisah-kisah perjalanan Ramadhan agar
sahabatku di luar sana nun jauh di negeri seberang bisa membacanya, bahkan bisa
mengambil manfaat perjalanan.
Cuma sekedar tulisan
dari perjalanan panjang. Tulisan kisah sederhana yang bisa kutuangkan dalam
blog dan facebook. Mungkin temanku facebook yang di Mesir, Saudi Arabia, Turki,
Yordania, Pakistan, Dubai, dan negara arab lainnya tertarik membaca kisah
nyata. Atau mungkin temanku facebook di Rusia, Amerika, Inggris, Australia,
Brasil, Jerman, Prancis, India, dan lainnya tertarik menikmati coretan-coretan
kisah perjalanan. Ini sekedar selingan hiburan buatnya. Selama ini lewat
facebook aku bisa senyum, like, dan mengucapkan “Syukron katsiiron” bila suka
comments-nya teman arab. “Obrigado” bila suka comments-nya teman Brazil,
“Danke” bila suka comments-nya teman Jerman, dan “Thanks so much” bila suka
comments-nya teman-teman dari Inggris, Amerika, dan negara lainnya.
“Gimana, Bapak
Midjan. Apa ada sinyalnya di tengah lautan?” tanyaku.
“Nggak ada.”
Jawabnya.
Kucoba kulihat
handphone di saku. Memang benar, sinyal nggak tampak satupun. Kuamati luar
sana. Kupandang ke segala arah. Tidak ada nelayan satu pun. Tidak ada tanda
daratan yang akan kusinggah.
Dari dalam kapal kuamati
lagi luar sana, tak kulihat apapun, cuma lautan membentang luas. Kapal tampak
kaku kencang menyeberangi lautan luas. Lautan yang didalamnya berisik tarik-tarikan
molekul air berbuih. Ombak kejar-kejaran, mereka saling menyapu di antara riak
gelombang. Kapal mengapung-apung di lautan seolah ikan raksasa mengejar mangsa.
Kupandangi riak
gelombang, kupandang terus air lautan dari balik kaca kapal. Aku sadar bahwa
aku hanyalah manusia biasa yang tak punya kuasa. Hanya Tuhan sang Mahasuci
sanggup mengapung-apungkan kapal. Dengan gorokan serok dan garing kutelan ludah
untuk mengusir haus. Ini Ramadhan. Rasanya ingin sekali minum air lautan. Aku
nggak boleh makan minum di siang hari.
Memandang lagi
keluar, tak kutemukan nelayan di lautan ini, hanya raungan mesin kapal membelah
lautan.
Tengah lautan sudah
kuarungi dengan kapal. Sekarang kulihat gundukan hitam dari kejauhan, gundukan
yang menggunung tinggi, mungkin ini pulau Bawean.
Aku yakin ini Pulau
Tujuan. Benarlah pikiranku.
Sirine berbunyi. Sang
nahkoda mengumumkan bahwa beberapa saat lagi kapal segera berlabuh. Rombongan
kami bersiap-siap turun. Kuperiksa barang-barang biar nggak ketinggalan. Yakin
benar barang bawaan nggak ketinggalan, selanjutnya kuletakkan barang-barang di
kursiku. Beranjak dari dudukku, kupergi menuju pintu haluan kapal. Kupegang
gagang pintu. Terbukalah pintunya.
“Pak Ikhsan, silahkan lihat di sini. Lihatlah
keluar.” suruh mas Amin.
“Ya, mas” sahutku
seraya bergegas menuju pagar haluan.
“Jangan ke
tepi-tepi, Pak! Hati-hati, Pak!” teriak petugas kapal.
“Ya. Pak!” jawabku.
Kudekati pagar
haluan kapal. Ku lepas pandang hingga tanpa batas, Cuma limpahan air lautan
bergelombang ringan. Buih lautan di sirip kapal tumpang tindih mengejar laju
kapal. Ingin aku memanggil Tuhan dengan teriakan keras, teriakan yang
menggetarkan pintu-pintu langit, untuk selanjutnya terbukalah semua pintu
kebesarannya hingga teriakan sampai hadapan Tuhan Sang Maha Penguasa Lautan.
“Mas, permisi” pintaku.
“Ya, Pak.” jawab sang
lelaki. Lelaki berkulit putih mulus, bertubuh gendhut, dan berhidung mancung.”
Suaranya agak kaku
dalam melafalkan Bahasa Indonesia. Rupanya ini orang asing. Pasti bukan orang
Jawa atau bukan orang Bawean atau bahkan bukan orang Indonesia. Logatnya
bener-bener asing. “Kutatap tajam. Ya,…, Memang, tampak sekali wajah orang
asing yang ada di dekatku”.
“Permisi, Pak.”
Kucoba mengusirnya dari tempatnya berdiri di pojok pagar haluan.
“Ya. Ya. Ya…”
jawabnya.
“Darimana, Pak?” tanyaku.
“Dari Mekkah (Saudi
Arabia)” jawab lelaki ini.
Tak mau kehilangan
kesempatan untuk banyak ngobrol, kucoba bicara dengan Bahasa Arab. Kebetulan
aku menguasai dasar-dasar percakapan Bahasa Arab dan lumayan banyak kosa kata
sehari-hari dalam bepergian.
“Masmukal kariim?
(Siapa namamu)?” tanyaku dalam Bahasa Arab.
“Ismiy Fahme
Bawazer” jawabnya.
Cihuei…., tambah teman
baru deh, teman ngobrol di haluan kapal sebelum kapal melabuhkan dirinya.
“Ma ‘unwaanuka? (Di
mana alamatnya). Aina taskunu al aan? (Di mana tempat tinggalmu
sekarang)?”tanyaku lagi dalam Bahasa Arab.
“’Unwaaniy fi
Makkah, Saudi Arabia. (Alamatku di Makkah, Saudi Arabia)” jawabnya.
“Maadzaa takhorojta?
(Lulusan apa)?” tanyaku dalam Bahasa Arab.
“Takharrajtu min
jaami’ah ummul qurra Makkah almukarramah (Aku lulus dari Universitas Ummul Qurra,
Makkah, Saudi Arabia)” jawabnya.
“Wa anta? (Dan
Lulusanmu apa?” tanya lelaki arab.
“Takharrajtu min
jaami’ah hukuumiyyah suuraabaayaa (aku lulus dari Universitas Negeri Surabaya)”
jawabku.
“Fi ayyi kulliyah?
(Kuliah Fakultas Apa?)” tanyaku lagi.
“Fi kulliyah kiimiiyaa’
(Program Kimia)” jawab lelaki arab.
“Wa anta? (dan
Programmu apa)?” tanya lelaki arab.
“Fi kulliyati
arriyaadhiyaat wal ‘uluuum (Fakultas Matematika dan IPA)” jawabku.
“Kam yawman fiy
Bawean? (berapa hari di Bawean?)” tanyaku lelaki arab.
“Yauman Waahidan
faqoth (sehari saja).” jawabnya.
“Wa ant?” Tanya
lelaki Arab.
“Ana fiy Bawean fiy
yawmaini (saya di Bawean dua hari)?” jawabku.
“Hal anta satarji’u
ilaa makkatilmukarromah? (Apakah anda akan kembali lagi ke Makkah, Saudi
Arabia)?” tanyaku.
“Laa, ilaa Jaakartaa
tsumma ilaa makkatilmukarromah? (Tidak, ke Jakarta dulu baru kemudian ke
Makkah, Saudi Arabia)?” jawabnya.
Percakapan kami
tidak hanya itu semakin lama, panjang, dan melebar dengan Bahasa Arab dan kami
puas berlama-lama di haluan kapal. Aku bersandar di dinding kapal, beliau
bersandar di pagar kapal. Saat itu pula Beliau menyerahkan kartu identitasnya
ke saya. Di kartu kecil ini tertulis nama perusahaan dengan jabatannya, nomor
telepon Kantor Saudi Arabia, nomor handphone Saudi Arabia, nomor handphone
Jakarta, dan alamat websitenya.
Kutekan nomor
teleponnya sesuai yang tertulis di kartunya. Kucoba telpon padanya ternyata
nyambung juga.
Lalu aku minta
padanya agar memotret diriku yang bersandar pada dinding luar haluan kapal. Tak
lupa pula aku minta padanya agar mengirim hasil jepretannya ke emailku. Senang
sekali, kawan. Di kapal ini kutemukan sahabat baru walau sebentar lagi harus
berpisah.
“Pak Ikhsan, ayo
turun, waktunya turun.” pinta mas Amin. Kulihat para penumpang dalam antrean
geladak turun dari kapal ke tanah Bawean. Pembicaraan kami berdua dengan lelaki
setengah tua dari Jazirah Arab terpaksa kupotong.
“Syukron katsiiron.
ma’assalaamah” ucapku pada lelaki arab.
“’Afwan. Allaahu
yusallimuk” jawab lelaki arab sambil berjabatan tangan.
Hari itu pukul 12.30
Selasa 24 June 2015:
Aku harus kembali ke
kursi duduk. Semua barang bawaan kuambil lalu aku bergegas menuju geladak
kapal.
Pelan-pelan
kulangkahkan kaki dengan tas yang penuh baju gantian dan beberapa peralatan
riset lainnya.
SERIAL 2: RAMADHAN DI PULAU TERPENCIL
Benar-benar
kutinggalkan kapal ini. “Selamat tinggal, Duhai Kapal. Aku harus melakukan
riset bersama rombongan ke daratan Bawean.”
“Daaaa….., selamat
tinggal sebentar ya.”
Tengah hari itu
sungguh panas luar biasa. Aku berjalan dari dermaga. Kupercepat langkahku dalam
kepanasan dan kehausan yang berkepanjangan.
Aku ingin berteduh, dimana
ku harus berteduh? Namun tiada tempat berteduh di sini. Jalan yang kulalui ini
bukanlah jalan biasa, jalan yang menyerupai jalan darat tapi terbentang kuat memanjang
di atas lautan menghubung ke bibir pantai Sangka Pura (Bawean), ia mirip jalan
tol padahal sesungguhnya jembatan berbeton kuat yang menuju daratan Sangka
Pura, Bawean
Jembatan itu sengaja
dibuat berkelok menyerupai huruf L. Ia
terbuat dari beton cor begitu kuat dalam susunannya.
“Mas belok kanan
mas” ungkap dua petugas pelabuhan yang membukakan pintu keluar dari dermaga.
Kulihat kiri kanan tak kutemukan tempat berteduh, beberapa pohon cukup rindang
sudah diteduhi banyak orang.
“Panas, dhonk. Ya
hauslah, kawan, wonk panas gini diiringi puasa sambil jalan menenteng bawaan
berat.”
Mas Amin terlihat
sibuk mencari carteran, Tapi, aku nggak usah risau. Mas Amin sudah pengalaman
di pulau ini karena beliau sering meliput berita di tanah Bawean untuk
disiarkan di televisi swasta. Tidak hanya itu Mas Amin hafal betul carteran
mana yang cocok buat kami semua.
“Hmmm…..panas benar
lho”, jangan kira cuaca segar, cuaca panas nggak mau tahu haus dan lelahnya
kami di tengah puasa Ramadhan 1436H (2015 M).
“Ayo masuk…!!!” ajak
bu Yanti dan mas Amin.
“Euih…, enak benar
kan, saat tajamnya panas membakar kulit wajah tiba-tiba mobil carteran sudah
nongkrong di depan agak jauh di sana.”
Cepat-cepat kunaiki
mobil ini. Mobil yang kusam, lumayan jadul, namun cukup cepat lajunya.
Dari pintu keluar
dermaga Bawean kami mengambil jalan belok kiri. Jalan yang berliku dan panjang
dilalui mobil. Sopirnya pendek gendhut berkulit hitam tampak sederhana, entah
ku tak tahu namanya. Ia sungguh ramah. Rupanya mas Amin sudah akrab padanya.
Bagai tamu raja ia menyambut kedatangan kami. Yeaahh…, enak juga rasanya naik
mobilnya.
Sopirnya luwes dan
fleksibel, ia sungguh mahir mengendarai mobil. Bayangkan jalan yang aspalnya
agak benjol-benjol, lagi pula meliuk-liuk, bahkan naik turun gunung ternyata
nyaman saja rasanya.
Kuperhatikan kiri
jalan tampak tanaman pisang tumbuh, kulihat sebelah kanan jalan jajaran pohon
kelapa dan salak melambaikan daunnya, mereka menyambut kedatangan kami.
“Bapak Midjan, kok
pohonnya udah tua tapi tampak segar, beda banget dengan berita yang kudengar ya.
Beda sekali dengan pohon-pohon di Gresik yang kulewati. Di sini masih segar
semua. Apa memang subur tanahnya?” tanyaku pada Bapak Midjan.
“ini areal pertanian
yang subur” lihat tuh ini musim kemarau panjang tapi jajaran pohon tampak kuat
segar.”
“Pasti ini tanah
subur”
“Sungguh jauh beda
dengan beberapa areal pertanian di beberapa kawasan Lamongan dan Gresik. Dua
kawasan ini acapkali kering kerontang ketika musim kemarau mulai berlangsung, Justru
ini malah tampak segar.” ungkapku pada Bapak Midjan.
Bapak Midjan pun
menjawab sambil guyonan.
Mobil yang kutumpangi
melaju tak terkira.
“Amboi indah sekali
penghijauan di sini. Kiri kanan jalan sungguh rimbun pohon di hutan. Masih ada
pulau di negeri ini yang sungguh menarik penghijauannya.” Begitulah ujung masuk
Kecamatan Sangka Pura, Bawean.
(Maaf, Kawan. Sampai sini dulu ya kisahnya bersambung…..)
Nantikan Kisah Selanjutnya dalam Serial-Serial Berikutnya.
Buat Sahabat Setia yang terlahir di luar negeri dan tinggal di luar negeri, kuucapkan terima kasih atas kunjungannya ke blog ini dan waktu luangnya untuk membaca cerita pendek aktual ini.
Terima Kasih Banyak kepada Blogger dan Timnya yang Mewadahi Cerpen Aktual ini, Semoga Blogger Tetap Jaya di Dunia Internet.
SERIAL 3;
Mengisahkan tentang kehidupan rombongan di Bawean.
SERIAL 4:
Mengisahkan Lesson Study Tahapan Plan