Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Saturday, June 27, 2015

Sprinkling in Silence 11 (Percikan dalam Kesunyian 11) : Writing Everything among the Sea Foam (Kutuliskan di antara Buih Lautan)

WRITING EVERYTHING AMONG THE SEA FOAM.
KUTULISKAN DI ANTARA BUIH LAUTAN
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Ditulis pada hari Selasa, 23 Juni 2015 sampai Rabu 24 juni 2015 di lautan.
Dipublikasikan di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.com pada hari Sabtu, 27 Juni 2015.


SERIAL 1: RAMADHAN DI TENGAH LAUTAN
Rombongan kami satu mobil tiba di halaman ruang penantian pelabuhan. Kulihat handphone menunjukkan tepat pukul 07.30 waktu daerah gresik. Aku memasuki ruang penantian pelabuhan. Ruang yang berukuran biasa dibandingkan gedung-gedung mewah yang tak jauh darinya. Halaman dan lantai ruangan tampak bersih. Tak seberapa banyak orang di ruang ini. Deretan kursi paling kanan masih kosong mlompong. Kupilih tempat duduk yang agak dekat pintu. Dari tempat duduk ini cukup jelas pandangan pada kapal Express Bahari E8 yang bersandar di bibir pantai. Kami terlalu pagi dan terlalu rajin menanti kapan kapal segera berangkat.
Tidak banyak penjual makanan dan minuman di pelabuhan sini. Memang ini Ramadhan, kulihat banyak orang berpuasa, Suasana Ramadhan menyelimuti kota gresik, kota yang banyak bertebaran para santri di setiap sudut kota. Mungkin saja karena Ramadhan, tidak banyak penjual makanan minuman di siang hari.
“Sini aja pak Ikhsan…” ajak pak Midjan.
“Ya, pak …” kataku. Sesekali aku coba tengak-tengok ke sekeliling ruang penantian. Ini memang pelabuhan Gresik, lumayan asing bagiku. Penasaran, ingin tahu apa saja aktivitas orang di luar ruang tunggu di pelabuhan. Pingin juga jalan-jalan keliling namun aku nggak berani jauh-jauh dari rombongan.
Rombongan kami terdiri atas lima orang. Ada Bapak Midjan (yang semester ini memegang mata kuliah Persamaan Differensial), ada Bu Nur Fauziyah (yang sedang menempuh program doctoral di S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya, selaku ketua riset Lesson Study di Pulau Terpencil), ada bu Sri Suryanti (yang semester ini memegang mata kuliah Struktur Aljabar Teori Ring), ada saya sendiri (Pak Ikhsan, yang semester ini memegang mata kuliah Matematika Diskrit Kombinatorik). Juga ada Mas Amin, seorang Jornalis (wartawan) kenamaan di Jawa Timur. Segala keperluan riset LESSON STUDY DI PULAU TERPENCIL sudah kami persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan beberapa bulan sebelumnya semuanya sudah siap berangkat dari Universitas Muhammadiyah Gresik menuju pulau Bawean. Hanya saja kepergian kami sempat tertunda dari hari ke hari. Jadwal yang sudah ditetapkan juga molor hanya karena gelombang lautan lumayan besar,  tidak ada kapal angkutan penumpang yang berangkat ke sana.
Baru kemudian di minggu pertama Ramadhan 1436 H (2015) persiapan itu menjadi kenyataan. Benar-benar kepergian kami ke pulau Bawean tampak menyenangkan. Kepergian ini bersamaan dengan penghujung akhir semester genap. Sekarang kami berada di ruang penantian, menikmati kursi ruang penantian, menunggu jam keberangkatan kapal.
Kami semua duduk manis, sementara mas Amin dengan serius mencari tempat parkir mobil yang kami tumpangi, tak hanya itu mas Amin pun membantu bu Nur Fauziyah membeli tiket. Di sela penantian kuisi waktu senggang dengan obrolan ringan yang sesekali bertautan dengan nasehat-nasehat kehidupan. Bu Suryanti yang duduk di sebelah kiri Bapak Midjan menggabungkan diri pada obrolan kami. Cukup menoleh ke kanan kearah wajah Bapak Midjan ketika obrolan kami menarik. Cukup menoleh ke kiri kearah wajah Bu Nur Fauziyah untuk ngobrol sesaat dengannya. Bu Nur Fauziyah duduk pada posisi paling kiri dari deretan kursi menyamping yang kami tempati, Beliau sesekali ngobrol sama bu Suryanti, sesekali membalas SMS yang masuk, sesekali menerima telpon..
Obrolan ringan kami berlanjut bahkan diselingi kisah pengalaman hidup masa dahulu kala. Pengalaman hidup yang harus dirasa pada setiap manusia meski di jalan yang berbeda. Bu Suryanti, Bapak Midjan, dan Pak Ikhsan bergantian mengisahkan masa lalunya walau singkat-singkat saja.
Kehidupan tak kan pernah diraih begitu mudah, semua harus diperjuangkan dengan susah payah, butuh pengorbanan untuk menggapai tujuan.
Obrolan kami berlanjut hingga pada topik matematika. Bapak Midjan menyajikan bahan diskusi tentang turunan dan integral. Turunan yang berbeda dari biasanya. Tepat diskusi mengenai turunan berakhir, terdengar suara panggilan kepada seluruh penumpang kapal lewat speaker. Suara speaker mengingatkan kita bersama agar segera memasuki kapal.
Saat para penumpang memasuki kapal, kuarahkan tatapan mata ke segala arah. Ingin tahu tentang keadaan pelabuhan makin tak bisa kutahan. Aku melihat ke sana kemari. Tak hanya itu, kuarahkan tatapan mata ke segala tepi pelabuhan saat kutinggalkan ruang penantian.


(Dari kanan ke kiri: Ibu Dosen Nur Fauziyah, Ibu Dosen Sri Suryanti, Bapak Dosen Midjan, dan paling kiri Bapak Dosen Ikhsan)

Menjelang memasuki geladak kapal, kami sempatkan foto bersama. Satu-demi satu gambar kami terabadikan, inilah momen sepanjang sejarah yang tak pernah terlupakan. Kenyataan tak kan pernah terulang kesekian kalinya walau esok lain hari masih ada kesempatan. Kami yakin ada kesempatan di lain waktu, tapi beda kan suasananya. Suasana masa depan jelas beda dengan sekarang di sekitar dermaga. Kebersamaan kami makin berkait erat dari napas ramadhan.

Kulihat lagi handphone jadulku, hmm….. kok masih pukul 08.48 ya…,Di luar sana dekat dermaga terik matahari makin menyengat kulit wajah. Kami senang. Wajah-wajah dalam kepanasan terik matahari pagi harus terabadikan. Wajah-wajah dalam kehausan di saat panas siang hari di musim Ramadhan.
Kehausan yang siap mengantarkan kami manakala kendala yang ada di pulau terpencil sana. Kehausan sungguh menempa kami semakin haus ilmu dan haus ingin riset di pulau terpencil sana. Aku yakin mereka yang di pulau terpencil sana menunggu kehadiran rombongan kami. Mereka berharap ada perjumpaan untuk mencurahkan segala kendala di sana.
Di kampus kami setia menjadi pelayan mahasiswa, pembimbing mahasiswa, dan pendidik mahasiswa. Kali ini kepergian kami menjadi pelayan masyarakat pendidikan di pulau terpencil. Pengalaman dan ilmu pengetahuan yang sekian lama kami kembangkan harus terbagi untuknya.
“Masuk mas…!” pinta seorang penjaga pintu kapal yang berdiri tegak di ujung geladak kapal bibir pantai..
Aku langkahkan kaki kanan, ada rasa gemetar di sini. Aku berikan energy kaki agar bisa meraih atas kapal.
Inilah kapal yang sanggup mengantarkan kami menuju pulau terpencil nun jauh di sana. Pulau yang konon banyak disebut orang sebagai pulau mungil di daerah terpencil untuk saat ini.
Aku sendiri tak pernah mendatangi ke pulau ini. Seindah apa pulau ini belum sempat tergambar di benak. Berharap agar aku cepat menginjak pulau ini, sesekali kucoba meraih gambaran adanya pulau ini di pikiran walau kadang tiada kepastian tentang panoramanya, maklum belum pernah ke sini. Bisanya hanya mengira-ngira.
“Nguuurrrr…..hurugh hurugh….” kapal mengeluarkan raungan mesin. Ia ingin cepat meluncur ke tengah lautan.
Pak Midjan, Bu Nur Fauziyah, Bu Sri Suryanti memasuki ruang pertama. Aku nggak tahu dimana mas Amin berada. Sejak tadi kulihat memainkan perekam dan kamera digitalnya untuk meliput berita segala keadaan sekitar kapal.
Aku mengikuti beliau semua di belakangnya.
“Ayo ke sini” ajak bu Nur Fauziyah.
Kami memasuki ruang kedua. Ruangan yang luas, tempat duduk agar longgar dan rapi. Kursi emput bercat orange berjajar. Di depan sana layar monitor lebar terpasang. Gambar-gambar qosidah berselang-seling, artisnya menyanyikan lagu Qosidah Modern Nasida Ria Semarang. Tampilan musik dari layar memantul dari setiap dinding kaca kapal. Beriringan musik pelan-pelan menghiasi seisi ruangan kapal. Ruangan full AC. Terasa dingin, kontras saat kami di luar kapal.
“Di sini saja, Pak Ikhsan, dekat pak Midjan” pinta bu Nur Fauziyah.
“Ya, Bu Nur.” Jawabku.
Aku menduduki kursi dekat pak Midjan.
Kulihat ke luar lewat dinding kaca kapal. Yaah…, hanya lewat dinding kaca, kelihatan Kapal melaju cepat. Matahari meninggi. Air lautan bergelombang ringan. Terlihat jelas gurat-gurat arus aliran bekas lintasan kapal. Sangat cepat laju kapal sampai-sampai buih lautan meninggi sekitar kapal. Walau sinar matahari menembus tajam air lautan, permukaan lautan masih berlapis kabut tipis-tipis.
Kapal Express Bahari E8 tetap melaju cepat. Lajulah laju kapal menuju tengah lautan. Kutinggalkan pelabuhan gresik, Saatnya menuju pulau terpencil sana. Pulau yang harus kuhuni sesaat untuk kembali ke kehidupan yang sebelumnya.
“Kulihat Pak Midjan di samping kiriku. Beliau duduk manis, tenang, sesekali rasa kantuknya dibuai oleh lagu-lagu Qosidah Modern Nasida Ria Semarang dengan tempo pelan.
Lagu Nasida Ria Semarang berjudul tahun 2000 dinyanyikan penyanyi lokal, lagu yang ngetop di pelosok desa seluruh Indonesia sekitar tahun 1987-an. Suaranya agak cerik-cerik (berok-berok), goyangnya terlalu cepat dan kebanyakan, walau berbusana muslimah modern tapi terlalu mencolok buatnya, jauh beda dengan penampilan penyanyi Nasida Ria Semarang yang hanya berbusana muslimah sederhana, rapi, sopan dan beradab yang tampak khas keindonesiaannya..
Jauh, semakin jauh, kutinggalkan daratan gresik. Kini aku berada di tengah lautan tak berombak besar. Aku melalui kehidupan di tengah lautan sini.. Kehidupan yang baru adanya karena tiada pernah kujamah sebelumnya. Pada tengah lautan pada sebuah kapal kuterjaga, kuingat andai air lautan berombak besar apa jadinya? Ah, tidak masalah. Bayangan semu itu hilang dari pikiran ketika sesekali terbayang betapa hebatnya nenek moyangku orang pelaut, hanya dengan layar lebar mereka arungi samudera dari satu pulau ke pulau, mereka singgahi dari satu daratan ke daratan lainnya. Kapal yang kupakai ini jauh lebih kuat dan canggih dari mereka.
50 menit kapal berlalu dari dermaga. Tepat pukul 09.50 kapal bergoyang-goyang, terasa memantul naik turun dari permukaan lautan.  Kutatap di luar sana, hanya limpahan air tiada deburan ombak besar tapi kursi terasa bergoyang, seperti kursi goyang.
“Aduh, gimana ini…!!! Ada apa ya! Kok goyang-goyang. Kulihat Bapak Midjan di samping kiriku tenang-tenang aja. Apa beliau nggak tahu ya.” guman batinku. Kulihat Bu Nur Fauziyah dan Bu Suryanti bersimpuh memeluk perutnya, wajahnya tertunduk. Makin penasaran campur ketar-ketir. Aku nggak berani bertanya padanya karena sudah sejak awal aku banyak bertanya padanya, Aku khawatir pertanyaanku mengganggu ketenangannya setengah tidur. Tadi kulihat beliau asyik memainkan handphone-nya.
“Ah, bangun lagi beliau. Terasa kuat goyangan kapal hingga Bapak Midjan terbangunkan.”
Meski terbangunkan, Beliau tenang menikmati goyangan kapal pada kursi empuknya sembari membolak-balik handphone-nya. Tombol handphone ditekan-tekan. Apa yang dilakukannya sudah tak bisa kulihat. Terdiam Aku tiba-tiba, kuhentikan tarian jari jemari di atas keyboard laptopku, laptop yang sanggup menulis kisah ini. Ya……, Kutuliskan kisah ini di tengah lautan dalam ayunan kapal. Kutuliskan segalanya pada sebuah kapal di antara buih-buih lautan. Kuuntai kisah-kisah perjalanan Ramadhan agar sahabatku di luar sana nun jauh di negeri seberang bisa membacanya, bahkan bisa mengambil manfaat perjalanan.
Cuma sekedar tulisan dari perjalanan panjang. Tulisan kisah sederhana yang bisa kutuangkan dalam blog dan facebook. Mungkin temanku facebook yang di Mesir, Saudi Arabia, Turki, Yordania, Pakistan, Dubai, dan negara arab lainnya tertarik membaca kisah nyata. Atau mungkin temanku facebook di Rusia, Amerika, Inggris, Australia, Brasil, Jerman, Prancis, India, dan lainnya tertarik menikmati coretan-coretan kisah perjalanan. Ini sekedar selingan hiburan buatnya. Selama ini lewat facebook aku bisa senyum, like, dan mengucapkan “Syukron katsiiron” bila suka comments-nya teman arab. “Obrigado” bila suka comments-nya teman Brazil, “Danke” bila suka comments-nya teman Jerman, dan “Thanks so much” bila suka comments-nya teman-teman dari Inggris, Amerika, dan negara lainnya.

“Gimana, Bapak Midjan. Apa ada sinyalnya di tengah lautan?” tanyaku.
“Nggak ada.” Jawabnya.
Kucoba kulihat handphone di saku. Memang benar, sinyal nggak tampak satupun. Kuamati luar sana. Kupandang ke segala arah. Tidak ada nelayan satu pun. Tidak ada tanda daratan yang akan kusinggah.

Dari dalam kapal kuamati lagi luar sana, tak kulihat apapun, cuma lautan membentang luas. Kapal tampak kaku kencang menyeberangi lautan luas. Lautan yang didalamnya berisik tarik-tarikan molekul air berbuih. Ombak kejar-kejaran, mereka saling menyapu di antara riak gelombang. Kapal mengapung-apung di lautan seolah ikan raksasa mengejar mangsa.
Kupandangi riak gelombang, kupandang terus air lautan dari balik kaca kapal. Aku sadar bahwa aku hanyalah manusia biasa yang tak punya kuasa. Hanya Tuhan sang Mahasuci sanggup mengapung-apungkan kapal. Dengan gorokan serok dan garing kutelan ludah untuk mengusir haus. Ini Ramadhan. Rasanya ingin sekali minum air lautan. Aku nggak boleh makan minum di siang hari.
Memandang lagi keluar, tak kutemukan nelayan di lautan ini, hanya raungan mesin kapal membelah lautan.

Tengah lautan sudah kuarungi dengan kapal. Sekarang kulihat gundukan hitam dari kejauhan, gundukan yang menggunung tinggi, mungkin ini pulau Bawean.
Aku yakin ini Pulau Tujuan. Benarlah pikiranku.
Sirine berbunyi. Sang nahkoda mengumumkan bahwa beberapa saat lagi kapal segera berlabuh. Rombongan kami bersiap-siap turun. Kuperiksa barang-barang biar nggak ketinggalan. Yakin benar barang bawaan nggak ketinggalan, selanjutnya kuletakkan barang-barang di kursiku. Beranjak dari dudukku, kupergi menuju pintu haluan kapal. Kupegang gagang pintu. Terbukalah pintunya.
 “Pak Ikhsan, silahkan lihat di sini. Lihatlah keluar.” suruh mas Amin.
“Ya, mas” sahutku seraya bergegas menuju pagar haluan.
“Jangan ke tepi-tepi, Pak! Hati-hati, Pak!” teriak petugas kapal.
“Ya. Pak!” jawabku.
Kudekati pagar haluan kapal. Ku lepas pandang hingga tanpa batas, Cuma limpahan air lautan bergelombang ringan. Buih lautan di sirip kapal tumpang tindih mengejar laju kapal. Ingin aku memanggil Tuhan dengan teriakan keras, teriakan yang menggetarkan pintu-pintu langit, untuk selanjutnya terbukalah semua pintu kebesarannya hingga teriakan sampai hadapan Tuhan Sang Maha Penguasa Lautan.

 “Mas, permisi” pintaku.
“Ya, Pak.” jawab sang lelaki. Lelaki berkulit putih mulus, bertubuh gendhut, dan berhidung mancung.”
Suaranya agak kaku dalam melafalkan Bahasa Indonesia. Rupanya ini orang asing. Pasti bukan orang Jawa atau bukan orang Bawean atau bahkan bukan orang Indonesia. Logatnya bener-bener asing. “Kutatap tajam. Ya,…, Memang, tampak sekali wajah orang asing yang ada di dekatku”.
“Permisi, Pak.” Kucoba mengusirnya dari tempatnya berdiri di pojok pagar haluan.
“Ya. Ya. Ya…” jawabnya.
 “Darimana, Pak?” tanyaku.
“Dari Mekkah (Saudi Arabia)” jawab lelaki ini.
Tak mau kehilangan kesempatan untuk banyak ngobrol, kucoba bicara dengan Bahasa Arab. Kebetulan aku menguasai dasar-dasar percakapan Bahasa Arab dan lumayan banyak kosa kata sehari-hari dalam bepergian.
“Masmukal kariim? (Siapa namamu)?” tanyaku dalam Bahasa Arab.
“Ismiy Fahme Bawazer” jawabnya.
Cihuei…., tambah teman baru deh, teman ngobrol di haluan kapal sebelum kapal melabuhkan dirinya.
“Ma ‘unwaanuka? (Di mana alamatnya). Aina taskunu al aan? (Di mana tempat tinggalmu sekarang)?”tanyaku lagi dalam Bahasa Arab.
“’Unwaaniy fi Makkah, Saudi Arabia. (Alamatku di Makkah, Saudi Arabia)” jawabnya.
“Maadzaa takhorojta? (Lulusan apa)?” tanyaku dalam Bahasa Arab.
“Takharrajtu min jaami’ah ummul qurra Makkah almukarramah (Aku lulus dari Universitas Ummul Qurra, Makkah, Saudi Arabia)” jawabnya.
“Wa anta? (Dan Lulusanmu apa?” tanya lelaki arab.
“Takharrajtu min jaami’ah hukuumiyyah suuraabaayaa (aku lulus dari Universitas Negeri Surabaya)” jawabku.
“Fi ayyi kulliyah? (Kuliah Fakultas Apa?)” tanyaku lagi.
“Fi kulliyah kiimiiyaa’ (Program Kimia)” jawab lelaki arab.
“Wa anta? (dan Programmu apa)?” tanya lelaki arab.
“Fi kulliyati arriyaadhiyaat wal ‘uluuum (Fakultas Matematika dan IPA)” jawabku.
“Kam yawman fiy Bawean? (berapa hari di Bawean?)” tanyaku lelaki arab.
“Yauman Waahidan faqoth (sehari saja).” jawabnya.
“Wa ant?” Tanya lelaki Arab.
“Ana fiy Bawean fiy yawmaini (saya di Bawean dua hari)?” jawabku.
“Hal anta satarji’u ilaa makkatilmukarromah? (Apakah anda akan kembali lagi ke Makkah, Saudi Arabia)?” tanyaku.
“Laa, ilaa Jaakartaa tsumma ilaa makkatilmukarromah? (Tidak, ke Jakarta dulu baru kemudian ke Makkah, Saudi Arabia)?” jawabnya.
Percakapan kami tidak hanya itu semakin lama, panjang, dan melebar dengan Bahasa Arab dan kami puas berlama-lama di haluan kapal. Aku bersandar di dinding kapal, beliau bersandar di pagar kapal. Saat itu pula Beliau menyerahkan kartu identitasnya ke saya. Di kartu kecil ini tertulis nama perusahaan dengan jabatannya, nomor telepon Kantor Saudi Arabia, nomor handphone Saudi Arabia, nomor handphone Jakarta, dan alamat websitenya.
Kutekan nomor teleponnya sesuai yang tertulis di kartunya. Kucoba telpon padanya ternyata nyambung juga.
Lalu aku minta padanya agar memotret diriku yang bersandar pada dinding luar haluan kapal. Tak lupa pula aku minta padanya agar mengirim hasil jepretannya ke emailku. Senang sekali, kawan. Di kapal ini kutemukan sahabat baru walau sebentar lagi harus berpisah.
“Pak Ikhsan, ayo turun, waktunya turun.” pinta mas Amin. Kulihat para penumpang dalam antrean geladak turun dari kapal ke tanah Bawean. Pembicaraan kami berdua dengan lelaki setengah tua dari Jazirah Arab terpaksa kupotong.
“Syukron katsiiron. ma’assalaamah” ucapku pada lelaki arab.
“’Afwan. Allaahu yusallimuk” jawab lelaki arab sambil berjabatan tangan.

Hari itu pukul 12.30 Selasa 24 June 2015:
Aku harus kembali ke kursi duduk. Semua barang bawaan kuambil lalu aku bergegas menuju geladak kapal.
Pelan-pelan kulangkahkan kaki dengan tas yang penuh baju gantian dan beberapa peralatan riset lainnya.

SERIAL 2: RAMADHAN DI PULAU TERPENCIL
Benar-benar kutinggalkan kapal ini. “Selamat tinggal, Duhai Kapal. Aku harus melakukan riset bersama rombongan ke daratan Bawean.”
“Daaaa….., selamat tinggal sebentar ya.”
Tengah hari itu sungguh panas luar biasa. Aku berjalan dari dermaga. Kupercepat langkahku dalam kepanasan dan kehausan yang berkepanjangan.
Aku ingin berteduh, dimana ku harus berteduh? Namun tiada tempat berteduh di sini. Jalan yang kulalui ini bukanlah jalan biasa, jalan yang menyerupai jalan darat tapi terbentang kuat memanjang di atas lautan menghubung ke bibir pantai Sangka Pura (Bawean), ia mirip jalan tol padahal sesungguhnya jembatan berbeton kuat yang menuju daratan Sangka Pura, Bawean
Jembatan itu sengaja dibuat berkelok menyerupai huruf  L. Ia terbuat dari beton cor begitu kuat dalam susunannya.
“Mas belok kanan mas” ungkap dua petugas pelabuhan yang membukakan pintu keluar dari dermaga. Kulihat kiri kanan tak kutemukan tempat berteduh, beberapa pohon cukup rindang sudah diteduhi banyak orang.
“Panas, dhonk. Ya hauslah, kawan, wonk panas gini diiringi puasa sambil jalan menenteng bawaan berat.”
Mas Amin terlihat sibuk mencari carteran, Tapi, aku nggak usah risau. Mas Amin sudah pengalaman di pulau ini karena beliau sering meliput berita di tanah Bawean untuk disiarkan di televisi swasta. Tidak hanya itu Mas Amin hafal betul carteran mana yang cocok buat kami semua.
“Hmmm…..panas benar lho”, jangan kira cuaca segar, cuaca panas nggak mau tahu haus dan lelahnya kami di tengah puasa Ramadhan 1436H (2015 M).
“Ayo masuk…!!!” ajak bu Yanti dan mas Amin.
“Euih…, enak benar kan, saat tajamnya panas membakar kulit wajah tiba-tiba mobil carteran sudah nongkrong di depan agak jauh di sana.”
Cepat-cepat kunaiki mobil ini. Mobil yang kusam, lumayan jadul, namun cukup cepat lajunya.
Dari pintu keluar dermaga Bawean kami mengambil jalan belok kiri. Jalan yang berliku dan panjang dilalui mobil. Sopirnya pendek gendhut berkulit hitam tampak sederhana, entah ku tak tahu namanya. Ia sungguh ramah. Rupanya mas Amin sudah akrab padanya. Bagai tamu raja ia menyambut kedatangan kami. Yeaahh…, enak juga rasanya naik mobilnya.
Sopirnya luwes dan fleksibel, ia sungguh mahir mengendarai mobil. Bayangkan jalan yang aspalnya agak benjol-benjol, lagi pula meliuk-liuk, bahkan naik turun gunung ternyata nyaman saja rasanya.
Kuperhatikan kiri jalan tampak tanaman pisang tumbuh, kulihat sebelah kanan jalan jajaran pohon kelapa dan salak melambaikan daunnya, mereka menyambut kedatangan kami.
“Bapak Midjan, kok pohonnya udah tua tapi tampak segar, beda banget dengan berita yang kudengar ya. Beda sekali dengan pohon-pohon di Gresik yang kulewati. Di sini masih segar semua. Apa memang subur tanahnya?” tanyaku pada Bapak Midjan.
“ini areal pertanian yang subur” lihat tuh ini musim kemarau panjang tapi jajaran pohon tampak kuat segar.”
“Pasti ini tanah subur”
“Sungguh jauh beda dengan beberapa areal pertanian di beberapa kawasan Lamongan dan Gresik. Dua kawasan ini acapkali kering kerontang ketika musim kemarau mulai berlangsung, Justru ini malah tampak segar.” ungkapku pada Bapak Midjan.
Bapak Midjan pun menjawab sambil guyonan.
Mobil yang kutumpangi melaju tak terkira.
“Amboi indah sekali penghijauan di sini. Kiri kanan jalan sungguh rimbun pohon di hutan. Masih ada pulau di negeri ini yang sungguh menarik penghijauannya.” Begitulah ujung masuk Kecamatan Sangka Pura, Bawean.

(Maaf, Kawan. Sampai sini dulu ya kisahnya bersambung…..)
Nantikan Kisah Selanjutnya dalam Serial-Serial Berikutnya.
Buat Sahabat Setia yang terlahir di luar negeri dan tinggal di luar negeri, kuucapkan terima kasih atas kunjungannya ke blog ini dan waktu luangnya untuk membaca cerita pendek aktual ini.
Terima Kasih Banyak kepada Blogger dan Timnya yang Mewadahi Cerpen Aktual ini, Semoga Blogger Tetap Jaya di Dunia Internet.

SERIAL 3; Mengisahkan tentang kehidupan rombongan di Bawean.
SERIAL 4: Mengisahkan Lesson Study Tahapan Plan
SERIAL 5: Mengisahkan Lesson Study Tahapan Do
SERIAL 6: Mengisahkan Lesson Study Tahapan See
SERIAL 7: Mengisahkan Pesona Alam Terpendam di Pulau Bawean.
Mengisahkan Kunjungan ke Lokasi Lapangan Terbang Bawean dan beberapa tempat lainnya..
SERIAL 8: Mengisahkan Selamat Tinggal Bawean untuk Riset Lesson Study 2015


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)