Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Saturday, September 2, 2017

Sprinkling in Silence 23 (Percikan dalam Kesunyian 23) : A Beam of Hope (Seberkas Harapan)

A BEAM OF HOPE
SEBERKAS HARAPAN
Written by Ikhsan, M.Pd.
Karya  Ikhsan, M.Pd.
Kisah Sunyi selama Perjalanan di Kota Bunder, Gresik – Surabaya  - Terminal Purabaya – Masjid Al Akbar Surabaya

Malam itu sungguh penuh rindu. Dari Pojok Bunder Gresik daku turun dari bemo. Daku sebrangi lalu lalang kendaraan yang merayap membujur dari Gresik Ke Semarang. Padat merayap arus kendaraan dah tak terbayangkan. Di sini aku harus menunggu mana waktu berlalu. Di sini pula setiap waktu daku mengharap segera tiba di kota Surabaya.
Daku berdiri tegak di tepi jalan raya ini, di kota Bunder Gresik. Tidak seperti biasanya bus dari kota Semarang cepat datang bahkan kosong melompong. Ia berhenti. Kupikir bus itu hanya pulang tidak mengangkut penumpang. Bagaimana pikiran itu nggak menggelayut di ujung waktu, semua penumpang duduk-duduk di tepi jalan asyik dengan tombol-tombol handphone canggihnya. Rupanya tidak ada penumpang yang mau naik ke bus itu, padahal terlihat kru bus itu sopan ramah kalem dalam mengendarai bus. Lama sekali ia berhenti. Kucoba waktu untuk menuju kondektur. Tergopoh-gopoh jalanku ke hadapan kondektur. iseng punya iseng sekedar bertanya barang kali mau kutumpangi.
“Apa mau menuju terminal Purabaya (Bungurasih)?” tanyaku.
“Ya.. ke Bungurasih, ke terminal Purabaya.” jawab kompak sang penjual kacang tanah goreng dan es sari tebu yang bergelantungan di wadah kotak dan toples besar diikuti sahutan sang kondektur.
“Aku pun menuju pintu depan bus.”
Ternyata sekawanan para penumpang sekitar puluhan orang berlarian mengikuti langkahku menuju pintu bus. Rupanya mereka semua juga mencari bus tumpangan. Tapi anehnya kali ini mereka tidak berebut seperti penumpang lainnya yang kebanyakan  tiap waktu menunggu di situ.
Sang bus melaju menuju kota yang kurindu. Dan beberapa penumpang pun mengharap segera tiba di kota harapan demi sesuap nasi yang akan disuapkan pada anak istri dan kerabat keluarganya.

Di dalam bus ini daku leluasa menyelonjorkan kaki dan menyendarkan kepala seenak-enaknya. Penumpang sedikit sekali, banyak kursi panjang yang kosong. Aku coba menempati ruang kosong ini di bagian tengah agak kedepan. Tak berapa lama bus meninggalkan kota Bunder. Bus pun melaju kencang lewat jalan tol menuju terminal Purabaya. Ia harus mengucapkan selamat tinggal sejenak buat kota Bunder persinggahan terakhirnya sebelum memasuki gapura Purabaya.
Tanpa terasa bus keluar dari tol memasuki wilayah Bungurasih.
“Lhoh kenapa kru Bus tidak menarif daku? Padahal dia tadi udah melihatku baru masuk. Dia tahu bahwa daku penumpang baru masuk di Bunder. Tadi dia udah memperhatikan wajahku lalu menghitung-hitung fulus.“ gumam batinku sambil tolah-toleh mencari kru kondektur. Terlihat dia asyik mengobrol dengan kondektur.  Aku ingat mereka belum meminta tariff penumpang dariku.
“Bungurasiiiiiiiiiih….” teriak kru bus.
Daku maju ke depan menuju pintu depan. “Bung…, aku belum bayar. Mbayar kemana, Bung?” tanyaku.
“Sini aja, Kang.” jawab kru gendhut agak tua dengan lempar senyuman seraya mengulurkan telapak tangan.
Daku pun turun di gapura Purabaya di atas jembatan Purabaya.
“Awas…, hati-hati…..” teriak kru dari dalam bus. Kendaraan di sini pun padat merayap. Daku harus menyelinap di antara dinding-dinding mulus bus yang pelan merayap memasuki terminal Purabaya bertambah lagi para pejalan kaki malam yang asyik menghabiskan waktunya di kursi-kursi panjang terminal Purabaya atau di warung-warung kecil yang menyebar di sekitar terminal Purabaya.
Asyiknya memikat para pengendara yang lalu lalang mengitari terminal Purabaya.
Keinginan melihat-lihat pemandangan malam di sekitar bunderan Waru atau tepi Bungurasih dekat jalan tol terasa menggebu. Tidak sebagaimana yang lalu, malam ini daku ingin menikam beberapa angin malam dan kelelahan yang menggoda. Diiringi dering mesin yang salip menyalip daku merasakan puasnya keliling-keliling malam yang penuh harapan.
Memutari gedung menjulang Graha Pangeran lalu tembus ke Gedung Balai Latihan Kerja Surabaya ini lain dari yadng lain. Puaslah hati. Kuterobos beberapa jalan tembus kecil hingga menuju masjid Al Akbar Surabaya.
“Ahhh….., terasa penat juga. Ada kelelahan yang menggandol di punggung dan bokong. “ gumam batinku.
Sebaiknya daku mencari jalan pintas. Di sebelah selatan masjid Al Akbar lalu lalang kendaraan juga terasa. Keras dan kencang mobil mewah yang keluar dari tol masjid Al Akbar menuju jalan pusat Kota Pahlawan sangat terasa juga. Kali ini daku istirahat sejenak. Sepeda yang kutumpangi kusandarkan ke trotoar untuk melihat sela-sela longgarnya kendaraan.

Daku memilih mepet-mepet ke trotoar masjid Al Akbar sambil melihat-lihat para pejalan kaki yang asyik menyeruput es dhawet mbak Inem dan pisang goreng mbah Bijo.
Perlahan namun penuh kepastian. Sepeda kulajukan menuju terwongan bawah tol. Kali ini sedikit remang atau temaram di sebelah selatan masjid Al Akbar tepat di pintu pagar utama selatan. Agak luas jalan depan pintu pagar utama selatan dan tidak ada pengendara yang parkir di sini. juga tidak ada pedagang yang nangkring.
Daku harus hati-hati karena daku berlawanan arus dengan beberapa kendaraan ditambah lagi suasana remang kental terasa di sini. Sorot lampu terang tak sanggup menembus kegelapan. Daun-daun begitu rimbun serimbun qalbu yang sanggup merunduk dan tawadlu. Tiba-tiba suara dari depan pintu pagar dari belakang ku terdengar…
“Maaaassss….., maaaaasss…., maaaaas….!!!!” teriakan itu kuat di bawah rindang pohon yang menambah mantapnya remang. Seketika itu pula daku menoleh ke kanan kearah suara.
Aku lihat cuma sepeda motor yang ditumpangi tiga nyawa.
Daku nggak peduli. Mungkin bukan aku yang dipanggil dari sesepeda motor tiga nyawa.
Kucoba memutar roda sepeda perlahan.
“Maaaaas…., maaaasss Ikhsan…..”
“Maaaaas Ikhsaaaaaan…, lhoh lhah udah lupa. Aku muridmu mas ikhsan. Aku dulu menjadi murid les privatmu mas Ikhsan…” teriaknya.
Aku berhenti sejenak dan tertegun.
Berfikir dalam hati, “Siapa dia sebenarnya?”  “Aku tidak merasa punya murid les setampan itu, sekekar itu, segendhut itu. Lagi pula dia tampak kaya parlente, tampak pebisnis muda yang sukses. Tas kecil yang mirip milik pengusaha papan atas dicangklong di sebelah punggung kiri.“ pikirku dalam-dalam tanpa berucap suatu apa.
Ingin ku tahu rasanya. Sepeda kumundurkan di antara remang-remang malam. Suara kami pun timbul tenggelam oleh raungan mesin kendaraan yang memasuki masjid Al Akbar, hotel menjulang, rumah makan, dan beberapa kendaraan mewah yang keluar dari jalan tol.
“Siapa kamu, Bung?” tanyaku.
Tangan lelaki tampan nan kaya ini dijulurkan demi meraih tangan kananku lalu diciumnya. Aku perhatikan dalam rimbunan temaram.
“Maas Ikhsan…, Aku muridmu yang dulu. Namaku Jawaniy. Aku anaknya pak Syahbano. Ayahku PNS dosen teknik elektro di perguruan tinggi negeri Malang. Dulu mas Ikhsan akrab sekali sama ayah. Masak sudah lupa. “ terang mereka.
“O o oo oooh …, itu …” jawabku.
“iy …, iya…, yay a.. aku ingat sekarang. Apa kabar mas Jawaniy.” tanyaku.
“Baik-baik, mas ikhsan.” jawabnya.
“Maaf aku udah panggling, udah lupa wajahmu. Sekarang kamu udah berubah. Tidak seperti dulu. Kelihatan sekali pebisnis muda yang sukses. Sekarang kamu kerja di mana?” ucapku.
“Ahhh …, nggak kerja mas …., pengangguran maas…” jawabnya dengan senyum ramah dan sopan terlihat nyantai. Sikapnya tampak tawadlu dan sopan serta tidak membanggakan diri. Daku mengerti dia sesungguhnya pebisnis sukses, namun tidak mau menampakkan kebolehannya di hadapanku. Ia memilih berkata merendah di hadapan gurunya.
“Nggak apa-apa mas Jawaniy…, pengangguran asalkan sukses dan dhuwit menumpuk. Wong mas Jawaniy keliling-keliling kayak gini aja dapat dhuwit.“ jawabku sambil gurauan.
“Kamu lulusan apa?” tanyaku.
“Aku udah sarjana perhotelan.” jawabnya.
“Bagaimana kabar abahmu dan umimu?” tanyaku.
“Ayah akan segera pensiun dari PNS Dosen Teknik Elektro.” jawabnya.
“Apa sehat-sehat juga?” sahutku.
“Baik-baik, ayah sehat-sehat.” jawab mas Jawaniy.
“Mas Ikhsan kerja dimana? Mengajar di mana?” tanyanya.
“Kerjaku di dosen swasta (dosen matematika), guru swasta di Ma’hadz Tahfidzul Quran, dan masih ajeg memberikan les privat.” terangku.
“Wah, enaknya mas Ikhsan.” sahutnya.
“Sama saja dengan kerjaanmu mas Jawaniy. Semua pekerjaan tetaplah membutuhkan perjuangan-pengorbaan-pengabdian.” ungkapku.
“Pokoknya ngajar di dosen swasta dan di guru swasta saya rasakan sebagai tempat mengamalkan ilmu dengan keikhlasan dan kesabaran. Targetnya bukan materi finansial atau jabatan, namun hanya mengharap keridhaan sang Maha Penguasa Jagat dan membuka pintu-pintu keberkahan dan kebaikan. Yang daku rasakan hanyalah apa yang kukerjakan sebagai dosen swasta dan guru swasta adalah serasa tidak pernah terjadi dalam hidup. Biarlah keberkahan dan keridhaan nantinya terbuka dan mengalir dengan sendirinya tanpa terpikirkan olehku. Cuma itu yang bisa kulakukan.” terangku kepada mas Jawaniy. Ia pun mengangguk dan melepas senyuman ramah.
“Siapakah wanita yang duduk di belakangmu?” tanyaku.
“Ini istriku dan ini anakku.” jawabnya. Sang istri pun memperkenalkan dirinya.
“Lho kamu yang dulu pacaran waktu mas Jawaniy duduk di bangku SMA?” tanyaku. “Ya, mas.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Ya ampuuuun…, mbak. Kau harus tahu mbak. Dulu waktu mas Jawaniy belajar Matematika Fisika Kimia padaku sempat cerita kamu sebagai pacarnya. Ingatlah mbak. Mas Jawaniy itu anak kesayangan bundanya dan abahnya. Pernah suatu ketika suamimu keasyikan mainan dengan teman sekampungnya hingga telat nggak les privat aja bundanya sedih sempat juga meneteskan air mata.” ungkapku.
“Sekarang saatnya mbak, dirimu harus mengajak suaminu mas Jawaniy untuk menghapus air matanya. Kau harus merubah air mata kesedihannya menjadi linangan kebahagiaan. Di dada sang bundanya tersimpan sejuta harapan pada anak yang dicinta.” pintaku.
“Bagaimanapun juga engkau mas Jawaniy sudah sarjana perhotelan. Tentu engkau punya banyak cara untuk membahagiakan sang bunda. Kebahagiaan bundamu bukan diukur oleh limpahan harta atau tingginya pangkatmu, tapi ada pada akhlakmu dan semangat hidupmu serta keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Itu harus terealisasi dalam kehidupan sehari-hari.”pintaku lagi.
“Datanglah kepada bundamu dan abahmu dengan tawadlu. Persembahkan kehormatan hidupmu padanya. Niscaya segalanya bakal terhampar. Bundamu bagai malaikat kecil hidupmu. Bahkan padanya tersimpan surga yang tidak dimiliki para malaikat.  Tidakkah segalanya kau dapatkan di sana.” pintaku
“Mas Jawaniy…, ingatlah mumpung maut belum menjemput. Bahagiakan Bunda dan Abahmu. Segeralah bertekuk lutut setelah menyembah Tuhan Pemilik Hidup.”
“Siap-siap…., mas ikhsan…, aku jalankan…” jawabnya tegas dan meyakinkan.
“Bakal terasa segalanya setelah kepergian bunda dan abahmu ke alam baka. Karena itu perbuatlah untuk kebahagiaan bunda dan abahmu. Jangan terlambat menempatkan kebahagiaan ayah bundamu di atas kebahagiaan rumah tanggamu. Beliau di atas segalanya bagi hidupmu. Seberkas harapan yang engkau impikan selama ini bakal terbit. Dulu daku sering ngobrol-ngobrol sama abahmu.” kataku lagi.
“Siap-siap mas ikhsan. Senang bisa ketemu mas ikhsan.” jawab mas Jawaniy.
“Daku pun demikian merasa senang karena engkau sempat menyapaku. Nanti kalau sudah bisa beli mobil mewah, jangan lupa sapa aku ya.” pintaku sambil kelakar.
“Pasti ingat mas ikhsan sampai ajal. Kebaikan dan ilmunya mas ikhsan sudah menancap kuat di otak dan di qalbu.
“terima kasih.” jawabku.
“Mau keliling kemana lagi nih?” tanyaku.
“Ini lhoh mas…., si kecil mintanya keliling-keliling melulu lihat kambing dan sapi. Masak tiap sore sampai malem begini selalu minta lihat-lihat kambing dan sapi. Aku sampai capek putar-putar..” jawabnya
“Ahhh.., nggak apa-apalah mas Jawaniy. Anakmu memang benar, ia minta keliling-keliling melihat kambing-kambing untuk menghibur diri dan untuk membuka harapan bersinar lagi. Siapa tahu dengan keliling-keliling begini rejekimu dan pesananmu berdatangan dan beriringan seperti ramainya kendaraan di sekitar ini. Turuti aja si kecil ini. Dari pada tidur sore-sore di kamar sumpek mendingan bersama si kecil ramai-ramai menikmati gelak tawa sapi dan kambing.” harapanku.
“Cukup sekian dulu. Daku mohon diri pulang. Udah malam daku harus makan malam dan istirahat karena daku udah lelah. “terangku.
“Ya mas ikhsan. Terima kasih. Selamat jalan. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan.” jawab mas Jawaniy.
Obrolan kami cukup lama dan puaslah melepas kerinduan setelah enam belas tahun lamanya kami berpisah. Waktu telah menyatukan perjumpaan kami di malam itu. Kami pun meneruskan langkah-langkah perjuangan di jalan yang berbeda. Kami yakin kelak di persimpangan jalan kehidupan mendatang masih ada perjumpaan dan saling sapa. Daku pun meninggalkan jalan sebelah selatan masjid al Akbar Surabaya. Beberapa pedagang malam di pinggir jalan masjid al Akbar berderet-deret harus kutinggalkan pula. Terowongan bawah jalan tol masjid al Akbar harus kutembus menuju tempat peraduan.
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Mepet-mepet = Mendekat merapat.
Dicangklong =
Panggling =
Dhuwit = Fulus = uang.
Sumpek =
=============================



A BEAM OF HOPE
SEBERKAS HARAPAN
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

SEBERKAS HARAPAN
Diambil dari kisah kehidupan Kota
Lokasi Peristiwa : Kota Bunder Gresik – Terminal Purabaya – Surabaya – Masjid Al Akbar Surabaya, Selasa 29 Agustus 2017..
Ditulis di Surabaya, Rabu 30 Agustus 2017.
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.com
Dipublikasikan pertama kali pada hari Sabtu 2 September 2017.
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di Ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.

Penulis masih aktif menyusun syair.


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)