Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Tuesday, June 21, 2016

Syair Surabaya 2016

SYAIR SURABAYA 2016
Karya Ikhsan, S.Pd, M.Pd.

Zaman resah berbisik kecanggihan
Walau terasa ada kegaduhan
Mesin-mesin tanpa rasa kelelahan
Mengikuti arus deras perubahan

Surabaya ooh Surabaya 2016
Gemuruhnya sempat aku balas
Meski orang tidur pulas
Roda berputar rela tergilas


Sepeda motor mobil sedan
Melaju kencang menyalip badan
Para pedagang pisang setandan
Karena mereka tiada bermedan


Balai kota airnya memancar
Semburan air mancurnya diincar
Anak-anak mandi berpencar
Senanglah hati tiada dicecar



Pergi mencari sesuap nasi
Ke kedai Tunjungan berkasih
Harganya mahal lumayan bergengsi
Sajiannya lezat tiada basi

Pantai Kenjeran masih ramai
Alangkah senang pantainya damai
Ikan dan airnya menyemai
Panorama kota nan permai

Cobalah berdiri sedikit berupaya
Jangan bimbang wisatanya dipercaya
Tanjung Perak ujung Surabaya
Tiupan anginnya menembus cahaya


Kau temukan patung surabaya
dekat kebun binatang raya
Ada haru melihat buaya
berkata kau harus kaya






Hijau kota mulai tampak
Menghias taman jalan setapak
Turut senang para bapak
Bersama walikota warganya kompak

Banyak universitas tempat mengasah
Ada UNAIR ITS UNESA
Pilihan pendidikan yang sah
Bagi generasi setiap masa

Tambahlah amal pertebal iman
Bangun Surabaya hapus kezaliman
Mengadu nasib dekat pemukiman
Menata paving depan halaman

Siapkan bekal tapi pasti
Bangkitkan semangat jangan mati
Karena Surabaya sungguh berarti
Untukmu yang selalu menanti



SELESAI
TERIMA KASIH
=============================
SYAIR SURABAYA 2016
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

SYAIR SURABAYA 2016
Kisah yang tercipta dari kehidupan nyata rakyat Surabaya.
Ditulis di Surabaya, Rabu 25 Mei 2016 – Senin 20 Juni 2016.
Dipublikasikan pada hari Selasa, 21 Juni 2016 Pukul 05.35 WIB.
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id

Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika di perguruan tinggi swasta.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.

Friday, June 17, 2016

Sprinkling in Silence 16 (Percikan dalam Kesunyian 16) : Lamentation from Old Home (Ratapan dari Rumah Tua)

LAMENTATION FROM OLD HOME
Created by Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
RATAPAN DARI RUMAH TUA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.



Di ujung dusun berdiri tegak rumah tua pada hamparan semak belukar. Rumah yang makin tua, bahkan reyot, tak lagi berpenghuni. Tampak angker dan gelap walau siang bolong sinar matahari menembus dinding-dindingnya, dinding yang terbuat dari kayu mahoni mulai keropos sana-sini. Beberapa pojoknya dimakan rayap setelah puluhan tahun silam ditinggal empunya.
Tidak jauh dari itu, terlihat mondar-mandir si Gandrem dari belakang rumah tua reyot, remaja yang masih berusia setingkat sekolah menengah pertama. Mukanya terlihat lusuh dan resah. Dari kemarin seharian penuh tampak merengut. Dari dulu kerjaannya cuma mainan melulu sama anak-anak sepulang dari sekolah, tak peduli orang tuanya kerja di ladang. Terkadang main petak umpet dengan anak laki-laki seusia taman kanak-kanak atau sekolah dasar.
Mungkin bosan mainan petak umpet, ingin yang lain.
Tangannya meraih pohon sebesar perut gendhut orang dewasa. Dielus-elus tubuh pohon. Kaki dan tangannya merayap ke atas. Baru satu meter tingginya dari tanah, ia terjatuh. Sudah tak sanggup lagi merangkul tubuh pohon sebesar itu. Ia melompat-lompat menuju ke pohon jambu air. Dicobanya memanjat pohon jambu air yang semakin merunduk karena keberatan buahnya. Buah yang merah merekah makin mempesona bagi siapa saja yang memandangnya, tinggal petik saja asalkan mau. Betapa menggodanya jambu air yang tampak ranum. Beberapa diantaranya runtuh bertebaran ke bumi karena sudah terlalu tua. Pohonnya sebesar ukuran orang dewasa gendhut tak bisa dirangkul tangan Gandrem. Dicobanya berulang kali namun terjatuh jua. Tak kuasa lagi memanjat pohon ini. Tak kehabisan akal, Gandrem mengayunkan ujung-ujung pohon yang merunduk ke bumi. Ia raih ranting-ranting. Lewat ranting inilah ia berhasil ke dahan pohon paling atas. Dari dahan pohon paling atas Gandrem berpindah-pindah ke pohon jambu merah yang bersebelahan dengan jambu air. Bahkan cabang pohon jambu merah sebagian menumpuk ke dahan jambu air dan mangga.

Hampir seharian Gandrem di sini.

Dari pagi ia panjat-panjat pohon jambu air melulu di dekat rumah tua. Tidak hanya itu, ia mengayun-ayunkan ranting ceremai yang menjulur ke dahan jambu air sambil meluapkan emosinya. Mungkin kesal melihat pohon ceremai yang sekedar merimbunkan daunnya selama bertahun usianya. Sekian lama pohon ceremai masih merengut, ia enggan berbuat banyak untuk kemaslahatan manusia, bertahun-tahun lamanya hingga musim berubah berulang-ulang belum juga berbuah, padahal telah lama teman-teman ceremai menampakkan buahnya guna menservis kehidupan manusia.
Sesekali mengecap jambu merah, Gandrem merebahkan tubuhnya di antara dahan pohon yang besar itu. Benar-benar ini pilihan Gandrem. Ia memilih main sendiri. Lebih asyik main di pohon jambu air dekat pohon jambu merah, pohon ceremai, dan pohon keres.
Maklum anak desa yang terlahir dari keturunan ekonomi lemah waktu itu untuk ukuran kehidupan anak-anak seusianya, tiada mainan bernuansa teknologi masa kini berbasiskan elektronik. Bisanya cuma mainan panjat pohon di perkebunan liar dekat rumah tua, kejar-kejaran di antara tumpukan batu kali, sembunyi-sembunyian dari balik rumpun bambu atau bahkan melompat dari pohon dengan ketinggian dua meter.
Bila bosan dengan permainan itu, ia hanya bisa menabuh-nabuh kenthongan yang terbuat dari bambu tua, bambu yang diambil dari rumpunnya pembatas kampung dengan hutan. Hmm…., ini sungguh permainan pemuas kehidupannya.
Di tempat itu pula bahkan di sekitarnya sering kali terlihat beberapa kucing mangkal di sana bersama temannya bahkan menemani anak kampung yang usia kanak-kanak, sekolah dasar, atau sekolah menengah pertama. Acap kali si cemeng meang-meong tatkala jauh dari bundanya. Terlihat pula seekor kucing belang beranjak dewasa mondar-mandir di sekitar Gandrem. Ia berjalan-jalan sambil merengut, tampak bermuka masam, bahkan bermuram durja. Tak tanggung-tanggung kepalsuan dan kecemberutan ia pancarkan dari jiwanya.
Entah nafsu setan mana yang merasuk ke diri Gandrem waktu itu, tiada yang tahu, tiba-tiba ekor kucing belang itu ditarik sekencang-kencangnya lalu diseret. Kucing belang pun tak tinggal diam. Sekuat tenaga cakarnya mencengkeram tanah yang gembur sambil mengerang-erang kesakitan, apa boleh buat terlepas juga. Dicakarkan kuat-kuat pada rumput, apa daya terlepas juga.
“Meong....!!! Meong....!!! Meoooong....!!!” Ia meronta-ronta. Jeritan melengking tinggi sejadi-jadinya. Mendengar jeritan kucing hingga ronta-rontanya kedengaran dari kerumunan anak-anak yang sedang bermain, Gandrem makin kesal. Tak perlu banyak kata, ia tolah-toleh kiri kanan, tampak jendela yang rusak akibat dibobol luwak yang setiap malam makan jambu air dan jambu merah. Dilemparlah kucing belang ke dalam rumah tua reyot. Tubuh kucing terbang menerobos jendela tua.
Mengerang kesakitan sambil meang-meong. Suara kucing belang makin keras. Anak-anak yang sejak siang tadi bermain serta merta buyar. Rasa ingin tahu apa yang terjadi pada diri kucing di dalam rumah tua tak berpenghuni itu telah membuyarkan permainan mereka. Kini mereka ramai-ramai mendekati rumah itu. Di antara mereka.berteriak,“Jangan.. jangan..., itu rumah hantu. . ...!!”
Anak yang lain pun menantang, “Nggak apa-apalah..., wonk siang gini kok ada hantu...... “
Beberapa yang lain berteriak, “Ayo sama-sama lihat sana..... Kamu membawa kayu untuk jaga-jaga memukul hantu kalau hantu itu menyerang kita. Bawa batu kali. Kalau hantu itu menyerang kita, lemparkan saja batunya.”

Kini mereka berlari bersama menuju rumah tua reyot.

Mereka makin mendekatinya. Makin mendekat, suara histeris kucing makin terdengar menjerit melengking hingga parau. Perlahan mereka semua merapat ke dinding rumah tua. Pipi mereka mulai ditempelkan ke dinding yang kotor itu. Diintiplah segala penjuru ruangan yang gelap. Tampak gelap karena di atas atap membentang ranting pohon slobin besar memayunginya.
Mereka berpindah ke lubang dinding lainnya. Di salah satu kamar itu bersandar pecahan-pecahan cermin lumayan besar. Pecahan-pecahan cermin itu agak berantakan, namun duduk manis di lantai.
Sebanyak tujuh cermin retak mungkin karena dipancal tikus atau garangan atau bahkan luwak. Tak seorang pun tahu sebab musabab kerusakannya.

Betapa kagetnya mereka!

Kucing itu ngeang-ngeong menjerit tanpa henti-hentinya, lari kesana-kemari. Ia melihat bayangannya sendiri dari dalam cermin dengan wajah menakutkan, tidak hanya itu ketika ia mengeong sekeras-kerasnya sambil mengencangkan ekor dan mengeluarkan cakarnya.
Kucing pun menjerit lari memutar ke belakang dalam keadaan tak kontrol diri, ia lihat cermin juga, Dari dalam cermin muncul bayangannya. Ia makin marah karena bayangannya tampak jelek lagi menakutkan lalu mencakar-cakar lagi. Dicakar dan dipancalnya cermin itu hingga lepas dari sandarannya. “Krompyang..! Krompyang....!! Krompyang....!!!” Kucing belang lari kencang menuju pecahan cermin yang agak lebar tergeletak di tanah. Dilihatnya cermin itu, muncullah kucing yang sama dengannya. Cepat-cepat ia arahkan cakarnya ke kucing dalam cermin itu, maka reaksi keras dari kucing dalam cermin pun diterimanya, kucing belang dalam cermin balik mencakarnya Ia tidak menyadari sesungguhnya kucing dalam cermin tidak lain hanyalah jelmaan bayangan dirinya. Makin ketakutan melihat potret bayangan dirinya, belum lagi Gandrem makin beringas merobohkan pintu luar hingga terdengan seperti gempa melanda. Kucing belang pun keluar dari rumah tua reyot. Batinnya berkata, " Aaaaa……………, Aku takuuut...!!!! Mengerikan......!!!! Rumah reyot tua mengerikan...!!!" sampai-sampai ular yang bertengger di pohon besar yang dahannya separuh memayungi rumah tua reyot yang sempat terlelap tidurnya terbangun seketika.
Anak-anak pun semburat meninggalkan rumah angker dengan penuh kekecewaan. Mereka pergi sambil melempari kucing belang dengan batu kali yang dari tadi disimpan di balik baju dan saku. Beberapa di antara mereka melemparkan ranting kayu dari genggamannya.
“Sialan...!!! Dasar kucing ingusan.....!!!!!! Berani-beraninya membubarkan mainan kami. Nich rasain tuh, akibat ulahmu...!!!” gerutu dan amukan anak-anak sambil melemparkan batunya. Hujan kerikil mengenai tubuh kucing belang. Kucing belang berlari kencang. Ia melompati selokan dan sungai kecil. Masih dalam jangkauan anak kecil, kucing belang di lempari kayu hingga anak-anak puas menjatuhkan hukuman padanya. Kali ini pengadilan kucing mulai dijalankan anak-anak. Kucing belang memanjat pohon demi mendapatkan perlindungan. Ia sembunyi di balik rerimbunan pohon di antara ranting-ranting pohon yang rapat hingga batu kali tak sanggup menjamah tubuhnya. Tubuh dan ekor disembunyikan di balik pohon sambil matanya melotot mengintip kemarahan anak.
Kerumunan anak-anak kocar-kacir, ada yang lebih dulu sampai di tempat permainan semula, ada yang tertinggal di belakang.


Apa yang terjadi di tempat permainan anak-anak?

Di tempat semula, tempat mereka bermain, berjongkok kucing dengan motif hitam legam. Dielus-elus anaknya yang beberapa hari lalu terlahir di kandang kambing pak Lamijo. Ia tersenyum. Putih mulus bulunya mengurai senyum simpul. Kebahagiaan pun terlahir jua sejak kehadirannya ke dunia fana. Tak ingin arena permainan dipakai kucing hitam legam dan kucing putih anakan, beberapa anak mengusirnya. Sadar akan dirinya bahwa ini bukanlah habitatnya, Kucing hitam legam dan kucing putih anakan pergi dan berlari-lari kecil menuju rumah tua reyot. Kucing putih mulus anakan bermeong manja membuntuti bundanya. Di sanalah ia bebas dari usikan anak-anak, bahkan dijamin tempat situ nggak bakal didatangi anak-anak yang bermain karena konon kabarnya setiap orang yang bermain di rumah tua reyot bakal diganggu gendruwo atau dhemit atau kerasukan hantu cempreng. Berhati riang, langkahnya dihiasi pikiran jernih dan qolbu ruh batin yang bening. Kucing pun mengibas-ngibaskan ekornya penuh keceriaan. Tiada pilihan lain selain rumah tua reyot yang sudah lama dikenal angker oleh anak-anak. Perlahan dan pasti, kucing berbulu hitam legam dan anaknya berbulu putih mulus mengendap-endap masuk.
Seorang anak dari mereka yang dari tadi semburat dari kerumunan permainannya karena ulah si kucing belang kini memperhatikan tingkahnya kucing hitam dan putih ini. Ia pun memanggil-manggil temannya. Mengajak mengintip apa yang dilakukan kucing di dalam kamar tua. Kabar santer yang sudah diakui kebenarannya bahwa ular besar yang sering singgah untuk melepaskan kantuknya di pohon besar di rumah tua reyot akan marah bila ketenangannya dirusak atau keteduhan persinggahannya diporakporandakan. “Bukankah kucing belang telah berulah pada sang ular” pikir anak-anak.
“Hmmm…., mampuslah kau kucing ditelan ular besar . Bukankah ular besar akan memangsa kucing hitam legam dan kucing putih mulus anakan? Lihat tuh dua kucing itu masuk ke rumah tua reyot. Tadi kucing belang telah mengusik ketenangan jiwa ular. Kini giliran kamu kucing hitam disantap ular besar.” teriak seorang anak.
“Ayo, cepat kita mendekat rumah tua reyot. Ayo cepat kita intip bersama!” ajak beberapa anak-anak.
Anak-anak mulai merapat ke rumah reyot tua lalu diintiplah kedua kucing tersebut. Betapa herannya mereka. Di dalam kamar itu kucing mengeong bahagia dalam kesunyian, tidak menjerit-jerit seperti kucing sebelumnya. Jauh banget bedanya. Betapa senangnya kucing ini di dalam kamar angker. Ia senyum menatap cermin. Di balaslah senyuman itu oleh kucing yang serupa dirinya dari dalam cermin. Amboi senangnya, kucing hitam legam mengibas-ngibaskan ekornya dan melompat-lompat kecil kegirangan. Ekornya menari lembut selembut kasih bagai bidadari mengibaskan selendang sutranya. Rupanya, kucing dalam cermin di hadapannya juga ikut-ikutan mengibaskan ekornya dan melompat-lompat kecil ke sana-sini. Puaslah rasanya lalu menghampiri anaknya, sang anak membalas dengan menjilat-jilat wajah induknya.
Batinnya berbisik."Wah..., sungguh bahagia di dalam rumah tua. Menyenangkan sekali hidup di sini ..... Ohoi, megahnya istana ini......!!!!"
Kini kucing hitam legam ini sanggup merefleksikan apa yang ada pada dirinya. Ia kuasa menghias kehidupan dengan polah tingkah yang sopan dan beradab, ia sadar akan kelakuannya bakal memantul kembali pada dirinya. Ia rasakan rumah tua reyot dan angker, yang menurut pandangan orang rumah itu dapat mendatangkan malapetaka buatnya, justru membuatnya bahagia, bahkan mendatangkan keberuntungan. Mungkin inilah lukisan kehidupan. Ketika si kucing hitam legam dan putih dalam kemiskinan ada kebahagiaan di sana. Kebahagiaan yang sepadan dengan kemewahan harta dalam limpahan tahta dunia. sebaliknya ketika si kucing belang berpikir kehidupan ini adalah ruang-ruang yang sangat sulit sekali bahkan sangat rumit dan ngeri untuk dialami, maka pancaran kerumitan dan kengerian pun bermunculan dari bayang-bayang pikiran.
SELESAI
TERIMA KASIH


=============================
Beberapa Istilah:
Merengut = mbesengut = methuthut = methothok = cemberut.
Cemeng = Kucing anakan.
Gendruwo = Makhluk halus dari bangsa ghaib yang diyakini suka mengganggu kehidupan manusia.
Hantu cempreng = Hantu yang suaranya nggak enak dan kedengarannya bikin bulu merinding.
Dhemit = Makhluk halus dari bangsa ghaib yang diyakini suka membuat manusia jadi sakit.

=============================

LAMENTATION FROM OLD HOME
RATAPAN DARI RUMAH TUA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

LAMENTATION FROM OLD HOME

RATAPAN DARI RUMAH TUA
Kisah yang tercipta dari kehidupan nyata rakyat desa
Kejadian di Lamongan, 11 Maret 1990.
Ditulis di Surabaya, 1 Oktober 2000.
Dipublikasikan pada hari Jumat, 17 Juni 2016 Pukul 21.22 WIB.
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id

Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006

Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.

Kisah menarik lainnya yang bisa kalian ikuti adalah LIVE COALS OF LOVE (BARA CINTA)

Tuesday, June 7, 2016

Sprinkling in Silence 15 (Percikan dalam Kesunyian 15) : Strewn Dew (Embun Menabur)

EMBUN MENABUR
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Usai subuhan kuambil sepeda santai, sepeda yang berwarna orange baru kubeli beberapa bulan yang lalu. Kukayuh sepeda ke jalan yang terlentang di antara rel sepur dan jalan tol Pagesangan.
Kususuri jalan itu, masih gelap fajar itu. Ku kayuh sekencang-kencangnya pada bujuran jalan. Di sebelahnya tepat antara tol dan jalan berjajar lampu kuning dan putih-putih menyinari jalan walau beberapa rimbun daun menghalangi pancaran sinarnya.
Kesejukan pagi makin mantap dengan hiasan titik-titik embun yang menebal di pucuk rimbunan. Jalan aspal tampak basah. Basah-basah itu menebarkan dingin pagi sampai meresap ke kulit. Ujung-ujung rambutku basah oleh tabur-tabur embun. Kiranya alam menyegarkan tubuhku lewat tabur-tabur embun sejuk. Serasa dingin sedingin salju hingga merasuk ke qalbu. Barang kali ini yang dicari oleh setiap pejalan kaki saat tiap kali fajar shadiq hadir hingga datang terangnya bumi. Bagi mereka-mereka mungkin ini bisa mengobati qalbi ruh hati yang sekian lama mati
Pada jalan ini praktis kendaraan lalu lalang tak terlihat, tampak lengang. aku pun memutar sepedaku ke rute jalan Pagesangan Asri. Sepanjang jalan ini berderet perumahan megah yang tampak sunyi, tidak ada satu pun pintu yang terbuka. Kuputar terus roda sepeda sampai di depan rumah jauh di sana. Nah, sunyi lagi kan.
Nggak apalah sunyi sepi masih hadir di sekitar sini. Sepedaku bisa leluasa oleng kiri oleng kanan. Sekarang aku harus menyeberangi rel sepur. kutengok kiri kanan. tidak ada sepur lewat yaa aku harus menyeberang.
Di jalan sebelah tenggara lapangan pagesangan kuhentikan sebentar putaran roda sepeda. kuhirup udara segar dari hamparan rumput di lapangan Pagesangan. Puaslah menghirup kesegaran pagi. Aku harus melajukan sepeda lagi. Sepanjang jalan melingkari lapangan kali ini masih sepi.
Asyiiiiiik………, hijau-hijau daun tampak teduh dan hidup sehidup pagi itu. Di pojok barat daya lapangan terdapat jalan yang kalau diteruskan setiap pejalan kaki bisa membobol jalan setapak dengan menyeberangi rel sepur, bahkan beberapa sepeda pancal bisa melintasinya kalau diangkat. Coba boleh dicoba. Kucoba. kucoba lagi mengangkat sepeda, Aaahhhhhhhh…. aku bisa. Aku bisa membobol jalan setapak walau di kiri kanan melebar sungai. puaslah batin menyusuri jalan ini dengan kesejukan pagi.
Cukup lama di tempat sini, kuputar lagi roda sepeda menuju ujung jalan Perumahan Simowau Indah sebelah barat daya.
Di sini sembilan anak bersepeda santai. mereka bergerombol memandang hamparan luas di tepinya membujur rel sepur. Mereka sorak sorai, di antaranya bersuara lantang,”Hhei, Hhei,…. ayo putar ke sana…!!!”
“Kamu itu jangan kencang-kencanglah. aku kecipratan lumpur loh. Yang belakang kecipratan semua!!!”
Seorang dari mereka yang roda belakangnya mencipratkan lumpur menimpali, “Lhouwh…., aku loh pelan-pelan…..”
“Pelan-pelan apanya, wonk ini loh pipiku ada lumpurnya kecipratn dari rodamu belakang..”
“Hhaaaaahhh…., Cuma dikit gitu aja, ngomel-ngomel. Ke situlah mencebur ke sawah. Tuh…, banyak air sawah…, pipimu usap sana pakai air sawah…” balas temannya.
Seorang menyahut, “Hhaaaahhh…, ya nggak mau dhong…..?”
Anak yang paling besar yang tidak menggubris gerutu temannya mengajak semua temannya, “Ayo.., ayo… ,putar-putar sana…”
Aku berdiri di sampingnya. “Ini kok ramai-ramai, ada apa ini?”
“Sepedaan, Om….” jawab mereka kompak kecuali seorang anak di paling belakang.
“Kamu dari mana semua, kok bisa janjian bareng-bareng? Pagi-pagi begini sudah mengumpul di sini.” tanyaku.
Seorang anak laki-laki yang paling gendhut di deretan paling belakang diam saja. ia memperhatikan teman-temannya yang ramai ngobrol-ngobrol sembari memandang hamparan sawah, di tepinya membujur sungai kecil dan rel sepur.
Si anak laki-laki gendhut tadi kutarik tangannya. Tnngannya mengikuti tarikanku, lalu kukatakan padanya,”Kamu gendhut cakep kok diam aja, gak banyak kata. emangnya kenapa?”
“Semua pada bicara loh, masih kamu yang diam saja dari tadi.” tanyaku pada anak gendhut yang belum kukenal.
“Ya, Mas. aku diam nungguin teman?” jawabnya tenang dan tegas.
“Loh kamu dari mana?” tanyaku.
“Aku dari Sepanjang Asri blok D, Mas” jawabnya.
“Waah…., kamu dekat sama pak Dhuweh yang gendhut itu ya. Beliau juga gendhut kayak kamu. Benar kan?” tanyaku.
“He he he ….., ya Mas. Aku tetangganya pak Dhuweh tapi agak jauh rumahku darinya.” jawabnya dengan senyuman. Sepedaku agak mepet sepedanya berhadap-hadapan dan tangan kanannya kupegang. Terlalu lama dia kuajak ngobrol.
Aduuuh….., Si gendhut, anak yang masih usia kelas 5 SD ini, ditinggal teman-temannya. Ia tidak berani komentar cuma memandang temannya yang udah pada ramai memancal sepeda hingga jauh meninggalkan gendhut.
“Lhoh…, kamu sudah ditinggal teman-temanmu. Gimana ini?” celetukku.
“Ya, Mas. Aku ditinggal teman.” pungkasnya.
“Ya. sudah sana cepetan kencang-kencangkan sepeda pancalmu.” perintahku.
Anak kecil gendhut itu bergegas meninggalkanku. Ia mengayuh sepeda pancal yang harganya sekitar satu setengah jutaan. Postur tubuhnya serasi dengan sepeda pancalnya.
Kupandangi terus anak gendhut itu. Ia melajukan sepedanya dengan kecepatan tinggi hingga bisa menyatu dengan temannya kembali. ia berbagi keceriaan bersama temannya di antara keramaian sepeda pancal. Bahagialah mereka bersama sepeda kesayangan yang menembus dingin pagi.
Aku pun memutar roda sepeda belok ke pertigaan. Masih ada blok-blok perumahan yang belum kulintasi.
Wah… aku harus menuju ke kampong Pagesangan lagi lewat Simowau Indah Blog B.
Pagi itu masih belum begitu terang, lampu-lampu jalan udah dimatikan, sementara sang raja siang masih tertidur di kasur bumi..
Keliling-keliling dulu lah. Blok demi blok kukelilingi bersama hirupan sejuk embun.
Sampai di perbatasan Pagesangan, di tepi kali mondar-mandir seorang lelaki tua agak besar tubuhnya berkaos hitam dan bercelana pendek hitam. Beliau mondar-mandir di tengah jalan untuk senam ringan sambil jalan cepat.
Dari belakangnya ku sapa dan ku bermohon diri, “Permisi, ayo balapan pak…!”
Beliau menoleh.
“Lhoh, Mas…., dari mana?” tanya beliau.
“Heahhhh…., apa kabar, Mas Fairi?” sapaku.
“Kok pagi-pagi gini jalan-jalan di luar. Biasanya nggak pernah ke sini.” tanyaku lagi sambil menjabat tangannya.
“Ya. menyempatkan diri, Mas.” sahutnya.
“Lama. nggak jumpa. ngapain aja selama ini. rasanya kita merindukan perjumpaan.” ungkapku.
“Hahhh…., itu benar, Mas.” jawabnya kalem dengan menghela napas.
 “Ayo, kita ngobrol-ngobrol sebentar Mas Fairi.” pintaku.
“Hiya, Ayolah.” pintaku.
 “Mas Fairi, kulihat rumahmu rapi. Depan rumahmu bersih, tidak ada gombal mukiyo pating slampir. Tidak ada onggokan kayu pating slengkrah seperti tetanggamu. Bahkan di depan rumahmu kulihat halaman luas yang bisa dipakai untuk jemuran, tapi bertahun-tahun aku tak pernah menemui jemuran baju depan rumahmu. Tidak ada ranjang sepatu atau sandal di depan rumah atau di terasnya. Tidak ada sandal berantakan depan pintu masuk ruang tamumu. Beranda rumahmu, halaman rumahmu, pagarmu benar-benar bersih rapi. Ada apa Mas Fairi? Apa ada filosofinya?” tanyaku.
Mas Fairi pun menjelaskan bahwa kehidupan orang tuanya dulu itu bersih rapi, melarang keluarganya mencantolkan baju jemuran di depan rumah, bahkan keset dari kain atau sejenisnya tidak boleh tergeletak, apalagi menaruh pakaian basah untuk dijemur dipagar rumah.
 “Gak pantes mas menaruh pakaian di depan rumah. nggak enak disaksikan mata walau jemurannya dibeli dengan harga mahal. jemuran kuletakkan di belakang rumah saja mas biar tidak mengganggu pemandangan depan rumah. Dulu orang tuaku rajin bersih-bersih rumah, merapikan barang-barang, tidak pernah meletakkan barang sisa bangunan semisal kayu atau kerikil, bahkan tidak pernah mencantolkan baju yang dijemur ke pagar. Itu yang kutiru, Mas. Malah aku masih tergolong malas dibanding ayahku, Mas. Ayahku dulu sangat rajin bersih-bersih dan menjaga kerapian rumah.” penjelasan Mas Fairi panjang lebar.
“Ada satu lagi Mas Fairi yang kutanyakan padamu.” pintaku.
“Apa itu, Mas?” tanya mas Fairi.
“Pengalamanmu selama ini berumah tangga dan menjadi pimpinan suatu lembaga. Apa pendapatmu tentang tabiat wanita di rumah tangga dan di kantoran?” tanyaku.
“Karakter wanita itu bengkong kaku. Ya nggladrah gak karu-karuan. Kaku maksudnya kalau diluruskan ya pedhot, kalau bengkongnya dibiarkan ya bengkong terus. ” jawab Mas Fairi singkat.
“Apa maksudnya nggladrah?” sahutku?
“Nggladrah maksudnya mengumbar selera menuruti hawa nafsunya dan mengikuti perasaannya.” jawabnya.
Beliau menjelaskan panjang lebar tentang ungkapan nggladrah gak karu-karuan dan bengkong kaku pada tabiat wanita. Aku pun penasaran dengan pikiran dan pengalamannya,”Bagaimana caranya supaya tidak bengkong dan kaku, Mas Fairi?” tanyaku.
“Lakukan pelan-pelan, Mas. Luruskan pelan-pelan, Mas. Jangan keras-keras kalau meluruskan bengkongnya karena di situ tersimpan kekakuan. ya supaya tidak patah semuanya. Harus pelan-pelan dan sabar saat meluruskan bengkong kaku. Coba lihat saja, Mas, semua permasalahan di dunia sebagian besar dipicu oleh wanita yang menuruti hawa nafsunya untuk memuaskan glamor perasaannya. ” urai Mas Fairi.
Kami pun asyik dalam obrolan ringan. Hampir sejam obrolan kami berlalu.
“Mas, aku harus pamit dulu karena istriku mau ngantor ke kantor staff Pascasarjana. Jam 6 pagi harus berangkat.” pinta Mas Fairi.
“Aduuuuh….., nggak terasa Mas obrolan kita udah hampir sejam. lain waktu disambung lagi ya.” kataku.
“Terima kasih, Mas. Selamat berpisah untuk berjumpa di suatu masa ya.” harapan Mas Fairi. Kami pun berpisah di simpang jalan tiga perbatasan Pagesangan. Masing-masing dari kami memilih beberapa jalan yang terbentang di hadapan.
SELESAI
TERIMA KASIH
======================
Beberapa Istilah:
Sepur : kereta aapi.
Gombal mukiyo : bekas pakaian atau serbet yang mengotori tempat, menjengkelkan, dan tidak berguna sama sekali.
Pating slampir : kain atau baju yang barau dipakai diletakkan pada jemuran kayu memanjang atau besi memanjang : kain atau baju yang dijemur, tapi sudah kering, hingga kerint kerontang tidak secepatnya diambil oleh pemiliknya.,
Pating slengkrah : keadaan benda yang berantakan di lantai.
Bengkong : benar-benar bengkok.
Pedhot : putus, patah.
Qalbu : qalbi : qalb : jiwa.
======================
EMBUN MENABUR
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

EMBUN MENABUR
Diambil dari kisah nyata kehidupan rakyat.
Lokasi Kejadian di : Pagesangan (Surabaya), Simowau Indah (Sidoarjo), dan Sepanjang Asri (Sidoarjo).
Tanggal peristiwa : Selasa, 7 Juni 2016
Ditulis di: Surabaya, pukul 08.00-09.00 WIB, Selasa, 7 Juni 2016
Dipublikasikan pada hari Selasa, 7 Juni 2016 Pukul 20:43 WIB
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dibagikan ke email ikhsanfalihi@gmail.com dan facebook https://www.facebook.com/ikhsan.falihi
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.

Penulis masih aktif menyusun syair.


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)