Apa kabar
adik-adik? Kali ini aku menghiburmu dengan sebuah kisah nyata yang
kuambil dari perjalanan kehidupan anak manusia yang penulis saksikan langsung.
Simak judul dan ceritanya dengan baik-baik yaa.
Warung Doyong
Pinggir Kali
Serial
Kisah Sunyi
Percikan dalam Kesunyian
Seri 2
Written and Arranged by Ikhsan, M.Pd.
Warung Doyong
Pinggir Kali
Seri 2
Ote-ote
hangat, tahu isi mi wortel, telo goreng tetap nangkring di sana. Ote-ote hangat
sehangat pemikiran embah Emah semakin mampu menghangatkan semangat hidup warga sekelilingnya.
Tahu isi wortel mie mengajak pengunjung warung doyong berlama-lama bercengkrama
di sana. Ia setia menemai rakyat jelata
di saat kelelahan dan keletihan minta
segera berakhir jua. Telo goreng hangat gurih medhuk mengingatkan akan derap
langkah pangeran diponegoro, kelihaian panglima besar jendral soedirman, embah
Soekarno, embah Soeharto dalam merintis kehidupan yang bebas dari benteng penindasan,
hanya dengan ubi jalar pengganjal perut mereka kongkritkan kemerdekaan seluruh
nusantara.
Warung
doyong hanyalah gubuk reyot namun indah dalam perjalanan kehidupan anak
manusia. Biarpun kayunya rapuh dimakan usia ia tetap menancap kokoh menghunjam
ke tanah, ia istiqomah menyanggah atap-atap bolong-bolong. Tak begitu tinggi ia
menjulang sembari mendoyongkan kewibawaan bangunan ke sungai. Sungai yang sekian
lama dari jaman rekolo bendu hingga kini menghidupi warga kota pahlawan. Airnya
diambil, jutaan liter disaring lalu menyirami tanda-tanda kehidupan warga dan
begitu seterusnya.
Meski musim silih berganti warung
doyong makin merundukkan wajah ke aliran sungai. Ia makin tunduk dan tawadhu
akan tenangnya aliran air seolah mengingatkan semua orang nongkrong di sana
agar mereka tunduk dan tawadu pada aturan-aturan dogmatis yang telah dibuat
oleh penguasa langit di atas langit.
Embah
Emah yang sehari-harinya tak lupa dengan baju sewek parang dengan paduan
atasnya khas ala jawa tempoe doeloe, rasanya membeber masa-masa laluku saat
kecil di desa. Beliau mirip embah Doweh yang dulu di kampong halamanku. Ah
benar juga, embah Doweh dulu setia menyapaku bahkan sesekali menjewer telingaku
manakala aku kejar-kejaran sesama teman semasa kecilku. Bagaimana tidak jengkel
wonk enak-enak tidur siang usai menghimpun ranting-ranting jati di hutan koq
aku dan teman-temanku tepuk tangan ramai sorak-sorai kegirangan sambil
kejar-kejaran di sekitar rumahnya. Yaaahhhhh……, embah Doweh benar-benar tak
jauh beda dengan embah Emah.
Tak
lupa dengan kebiasaannya, Embah Emah tampak lincah memainkan tangan-tangannya.
Tangan-tangan tua itu sedikit gemetaran menata meja mumut-mumut dengan rapi.
Ote-ote, tahu isi wortel mie, dan telo goreng berbaris rapi di atas meja,
mereka memang sengaja dibariskan embah Emah seperti sang guru membariskan
anak-anak kecil, barisan itu membentuk shaf-shaf melingkar. Semua itu
memudahkan para penikmat warung doyong pinggir kali....
(bersambung, nantikan seri 3)
Nantikan seri berikutnya………….
Lokasi Cerita di Tepi Sungai Simowau v Karangpilang
Simowau (Tepi
Sungai Karangpilang), Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia
5 Juli 2011
Disusun dan Ditulis
oleh Ikhsan, S.Pd.,M.Pd.