Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Sunday, May 15, 2016

Sprinkling in Silence 14 (Percikan dalam Kesunyian 14) " Live Coals of Love : Bara Cinta

Hello, children in Surabaya, Gresik, and Sidoarjo? How are you all?
Hello, all friends in Indonesia? How are you all?
Hello, all friends in foreign countries? How are you all?
Now Mr. Ikhsan Falihi gives you special gift for all brothers, sisters, and children, i.e. actual short story. Mr. Ikhsan Falihi conveys messages,”Take care of your love, don’t let it fall asleep.”
What consequence is it when falling asleep? The answer is in the following story with title “LIVE COALS OF LOVE”. This story is not cut, you can download it in full story. Enjoy it in free of charge. Please take valuable wisdom and messages from this story.
Apa kabar semua anak-anak di kota Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo?
Apa kabar semua sahabat di seluruh Indonesia?
Apa kabar pula buat semua sahabat yang tinggal di luar negeri (di negara selain Indnesia)?
Sekarang Cak Ikhsan Falihi memberikan hadiah yang menarik buat anak-anak semuanya, berupa cerpen aktual. Cak Ikhsan Falihi berpesan kepada kalian,”Jagalah cintamu, jangan sampai terlena.” Apa  akibatnya bila terlena? Jawabannya ada pada kisah berikut “BARA CINTA”. Ceritanya tidak terputus (tidak bersambung), dapat diunduh gratis. Anak-anak dapat mengambil hikmah kisah ini. 

LIVE COALS OF LOVE 
Created by Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
BARA CINTA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Rasanya pagi itu sungguh berharga. Beberapa bagian Surabaya masih diliputi awan yang memendar putih tipis. Rendah di ufuk timur sana, kuning kemerahan di antara awan menyemburat tapi masih menerangi Surabaya. Pertanda hari mulai ceria lagi meski nampak samar-samar, lamat-lamat.
Cepat-cepat Rojen memegang barang-barang yang disiapkan semalam. Dicangklongnya tas yang berisi beberapa baju dan makanan ringan, “alamaaahhhk....., lumayan beraaaaat.” Rojen beranjak dari kamar menuju jalan raya. Menyusuri gang-gang kecil sedikit becek. Rupanya semalaman Kedung Pengkol Surabaya diguyur hujan deras. Genangan air ngecembeng sana-sini. Menyusuri terus gang kecil hingga sampailah dirinya di tepi jalan raya. Sejenak ia berdiri di tepi jalan raya. Hanya bemo yang menjadi andalan tumpangan Rojen. Maklumlah saat itu kondisi Surabaya bejibun angkutan kota untuk rakyat biasa. Tangan Rojen mulai melambai-lambai kepada bemo yang melintas agak jauh di sana dengan harapan dihampirinya. Benarlah, bemo berhenti di depannya. Di dalamnya penumpang lumayan berjubel-jubel. Bemo yang separuh oranye separuh krem pun dinaikinya. Untuk beberapa hari Rojen meninggalkan kota Kedung Pengkol.
“Selamat tinggal Kedung Pengkol…....”
“Selamat tingga kota metropolitan Surabaya tercinta, daaaaaaaa…..”
“Moga kita bisa berjumpa lagi di suatu hari nanti….”
Tangan Rojen melambai pelan ke arah perbatasan Kedung Pengkol. lalu dengan perlahan mesra dikecup telapak tangan kanannya. 
Sekarang tangannya bersedekap sembari memandang Kedung Pengkol yang semakin jauh ditinggalkan. Sebentar-sebentar ia membetulkan duduknya. Walau bemo terus melaju dengan kencang, ia tetap menoleh ke Kedung Pengkol. Beberapa orang di dalam bemo menyaksikan perilaku Rojen. Mereka berbisik,”Apakah dia turis asing?” Di antara mereka menjawab,”Masak sih kamu nggak tahu. Macam begituan kan peranakan Kedung Pengkol, wong wajahnya jelas-jelas wajah Kedung Pengkol sama dengan kita gitu loh kok kayak nggak tahu aja.” Sambil memalingkan muka berujar genit mereka membisikkan sesuatu ke telinga sebelahnya. 
Tak lama kemudian bemo sampai di Pasar Sepanjang Sidoarjo. Ahh, tujuan belumlah sampai. Di pasar ini lalu lalang kendaraan tampak merayap. Sebagian mereka ada yang makelar pencari penumpang. Teriakan-teriakan dari kejauhan seolah memaksa Rojen untuk menumpang bemo yang bukan tujuannya. Tepat di jalan pasar Sepanjang Sidoarjo bemo yang ditumpangi Rojen harus berhenti. Berikutnya Rojen turun dan harus berganti bemo lagi. Tengok sana-sini mencari bemo yang akan menuju kota Krian Sidoarjo. “Mas, mau kemana?” tanya beberapa sopir bemo yang mangkal di pasar Sepanjang, Sidoarjo. 
“Mau ke kota Krian.” jawabku singkat. Terus dan terus mencari bemo. Akhirnya dijumpai bemo yang melaju menuju Krian Sidoarjo. Oouwh...., Rojen harus cepat naik. Bemo mengantarnya ke Krian dengan sangat kencang. Tibalah Rojen di Krian. Sampai di Krian Rojen harus mencari bemo yang nantinya melintasi beberapa arah desa Mojokerto.
Nahh....., ini bemo yang akan melintasi beberapa desa di Mojokerto. Rojen segera memasuki bemo agak bogel lagi pula kusam.
“Kraaaag.......!!! Aduh, apa ini..., kok krag krag krag. Ya ampuuun...., tasku kecantol bibir pintu bemo.” omelan Rojen. Sedikit robek bagian pinggir tasnya.
 “Itu loh mas, tas bagian belakang samping robek.” ucap seorang Bapak yang duduk di bangku belakang. Rojen melihat ke arah tasnya. “Busyeeett........, doboll…, pintu bemo ini sempit. Tahu begini, bosan ahh” gerutunya. Sedikit kecewa di dalam bemo, tetapi bemo tak peduli akan risau jiwa. Jelasnya, bemo cuma pingin dhuit dan harus melaju kencang dengan jubel-jubel penumpang pula. Para pedagang membawa barang-barang jualan, lumayan banyak juga di dalam bemo. Mereka cloteh sana cloteh sini, bercakap-cakap masa lalunya tentang dusun-dusunnya dan tetangganya. Rojen ikut larut dalam clotehnnya walau sebatas pendengar. Sesekali kantuk menyapa. Tak terasa sudah sampailah Rojen di sebuah desa di Mojokerta.

Tiba-tiba di desa ini terlintas di pikiran akan kehidupan Barkoh. Kenalan Rojen yang sudah lama berpisah.
“Sekian lama aku berpisah dengan Barkoh. Aku yakin Barkoh juga kangen padaku di sela-sela kesibukannya mengatur dua anak, seorang istri, dan kerjaan hariannya. Tetapi segalanya udah silam oleh masa.” bayang-bayang pikiran Rojen.

Rojen benar-benar turun dari bemo. 
Di dekat jalan terlihat ada pos kamling besar terbuat dari kayu jati yang masih kuno. Dinding pos dipenuhi banyak coretan anak-anak, sebagian memakai coretan kapur putih, sebagian lain memakai coretan arang kayu hitam. Rojen duduk sejenak di sini. Melihat beberapa orang lalu lalang di jalan ini sepertinya terasa asing di sini. Merasa kurang begitu leluasa Rojen pindah agak jauh darinya. Dituju tempat yang agak longgar, sedikit menjauh dari penjual es jalanan.
“Mbak, berapa harganya satu batang esnya?” tanya anak remaja.
“Sebentar ya, aku panggil orangnya. Mbak Inem…., mbak inem….., mbak inem….., ada orang beli es….!!!”  teriak sang anak muda yang nyangkruk di pos kamling.
“Ya, ya, …!!! sebentar ya….!!! Aku nguleg bumbu sayur, dah usai, ini nyuci tangan sebentar…..” sahut wanita dari dalam rumah di belakang pos kamling. Beberapa saat kemudian wanita agak tua nan anggun mempesona dengan serbet di tangan kirinya dan gelas sendok di tangan kanannya lari keslimpret-slimpret karena memakai kebaya kuno. Sambil berlari dimenal-menolkan, ia tersenyum dan meminta pembeli untuk menunggu sejenak. Ternyata ia yang bernama Inem. Penjualnya ramah dan tampak kedesa-desaan. Rombong dagangan es lilin dan krupuknya disandarkan di dinding samping pos kamling. Tanpa kedip sedikitpun Rojen mengamati para pembeli es lilin.

Tak berapa lama kemudian, terlihat dari kejauhan sepeda motor super corot melaju kencang ke arah Rojen. Ia semakin dekat. Kemudian “Rojen..., Rojen..., ngapain di situ!!!” teriak lelaki agak tua yang wajahnya tertutupi helm.  Rojen diam memperhatikannya.
“Hei, Aku Barkoh...!!! Masak lupa padaku.” sambil membuka helmnya. 
“Hahahaahaaaa......!!! Temannya sendiri kok lupa. Dulu kamu pernah kunjung ke rumahku kok sekarang begitu mudah lupa padaku.” teriak Barkoh.
 “Ohw...., mas Barkoh........., aku nggak tahu kalau kau mas Barkoh yang dulu. Sekarang suaramu udah berubah. Penampilanmu rapi dan mewah, lagi pula wajahmu tertutup helm, jadinya panggling deh.”sahut Rojen.
“Ya, udah bertahun-tahun gak ketemu, akhirnya lupa juga. Udah jadi orang Surabaya, mudah melupakan kenalan lama. Tapi……., jangan kira aku lupa. Kenalan lama takkan terlupakan hingga ajal tiba. Jalinan perkawanan di kala silam tak kan pernah mengingkari kenyataan biarpun harta dan jabatan serta kerjaan tidak mengakui sebuah perkawanan silam. ” jawab Barkoh sambil ketawa senang.
 “Hayo, ayolah...., naik sepeda motorku sini.”pinta Barkoh.
“Okelah, mas Barkoh” jawab Rojen sembari senyum.
Tak terbayangkan Rojen bisa ketemu Barkoh tanpa janjian sebelumnya di sini setelah bertahun-tahun nggak jumpa. Saat-saat kebetulan ini tak disia-siakannya. 
“Derruumm...thronthong…., thong….thong…...” suara sepeda motor super corot kawakan benar-benar khas. 
Eih…., sepeda motor super corot tersenyum ditumpangi. Melaju kencang menuju rumah Barkoh. Maulah siapa pun mengikut maunya.
Lama tak jumpa, di sepeda motor Barkoh menceritakan kerjaannya, kondisi sekolah anaknya, dan beberapa guyonan menarik lainnya. Rupanya Barkoh udah berubah dari masa lalunya, namun sepeda motornya masih tetap super corot kawakan, inilah satu-satunya sepeda motor yang ajeg menemaninya.

Kerjaan Barkoh lebih banyak mengantarkan pesanan barang makanan. Pekerjaan yang teramat istimewa untuk suasana saat itu. Dari situlah hidupnya bergantung, banyak kenalan, dan gelimang harta didapatkan. Namun demikian, Barkoh masih merasa belum punya apa-apa. Harta memang kerap membuat si empunya merasa kurang. Bagai minum air laut, semakin banyak minum semakin haus menggebu-gebu. Ceritera-ceritera silam Barkoh sungguh menjadi terbaru di telinga Rojen.

Setelah melintasi beberapa desa diiringi obrolan sana-sini, cerita ini itu, tak terasa kini sampailah mereka di depan rumah sederhana dan rapi. Barkoh membelokkan sepeda motornya ke rumah sini. Aduhai...., rumahnya berpilar jati, lantainya hanya diplester semen murahan. Kiri kanannya terdapat pohmon rindang. Semilir angin dari puncak perbukitan agak jauh sana semakin lama bertiupan kencang. Pepohonan jati menjulang di bukit kejauhan seolah-olah menara yang tegar perkasa menghadapi badai. Di depan rumahnya terbentang halaman luas bertebaran kerikil-kerikil tajam.
“Rumah siapa ya ini?” pikir Rojen dalam benak.
“Kok ke sini. Apa ini warung? Tapi kok nggak ada makanan yang ditata di meja. Nggak ada jendela yang dibuka untuk penanda bahwa ini warung. Baiklah, aku ikut aja. Pasti Barkoh mau mengajakku makan, ini waktunya makan. Ku tunggu aja.” pikir Rojen lebih dalam.
“Hayo, masuklah, Rojen!” perintahnya.
“Ya, Mas” jawab Rojen.
Barkoh pun memasuki rumah tamu. Di dalam ruang tamu terdapat ibu tua duduk di kursi dan seorang bapak tua. Sejenak Rojen terbengong menatap rumahnya. Termangu, sungguh termangu. Ia memasuki ruang tamu. Di pojok ruang tamu tersusun ranjang tidur yang terbuat dari bambu, beralaskan tikar sungguh tampak empuk. Digeletakkan tas di atasnya. Rojen melangkahkan kaki menuju kursi tamu. Ia duduk berhadapan dengan Barkoh. Selang beberapa saat muncullah wanita cantik genit bersolek aduhai dari kamar yang paling depan dekat ruang tamu. Wanita muda itu memilih duduk di sebelah kiri Barkoh. Barkoh memperkenalkan namanya padaku. Dialah Hamamah namanya. 
Suaranya merdu, pelan, dan mesra. Senyum sapanya halus lembut selembut kasihnya pada Barkoh. Sesekali bahu Barkoh dipegang pelan-pelan dengan mesra. Begitu mesra Hamamah memegangi pundak Barkoh. Rojen pun tutup mulut gak banyak kata menikmati kemesraan. Rojen memandangi wajah Hamamah dan bapak tua. Bapak tua itu mengenalkan dirinya pada Rojen, namanya Tumedi. Ia pun mengenalkan ibu tua pada Rojen. “Nak Rojen, Ibu ini namanya Tukiyem.” Rojen menyahut,”Nama lengkapku, Rojen.”
Rojen lalu diam memperhatikan seluruh isi ruang tamu.
Terbayang di benak, “Bukankah Barkoh udah punya istri yang sangat sayang padanya dan punya dua anak. Siapakah wanita ini? Mungkin saudara dari istrinya atau saudara dari ibunya, tapi wajahnya kok gak ada kemiripan, malahan sikapnya jauh beda. Setidaknya gadis desa dalam berbicara pasti gaya bicaranya mirip beberapa saudara lainnya, namun yang ini tidak. Baiklah, aku diam saja. Aku cari tahu lain waktu. Kali ini aku nggak kepingin Barkoh tersinggung dengan banyak kataku.” 
Perlahan tangan halus lembut itu terlepas dari bahu Barkoh. Selanjutnya, Barkoh dan Hamamah berbicara ringan dengan mesra-mesra nyata di depan mata. Terlihat begitu gayeng pembicaraannya. Di sela-sela pembicaraannya dengan Hamamah, Barkoh memandang Rojen.
 “Rojen..., apa saja kerjaanmu selama bertahun-tahun di Surabaya?” tanya Barkoh. Entah kenapa Barkoh tiba-tiba tanya begitu. Mungkin basa-basi.
“Serabutan, Mas. Demi kebutuhan hidup, apapun kulakukan, yang penting pantas dilakukan.” jawab Rojen.
 “Dik Hamamah, ini Rojen. dulu Ia sering ngobrol sama saya. Lama berpisah. Bertahun-tahun lamanya tak jumpa. Tadi saya ketemu di jalan, langsung saya ajak ke sini.” ucap Barkoh pada Hamamah.
Barkoh pun menoleh ke arah Hamamah. Pembicaraan pun berlangsung seru. Kudengar pembicaraannya lama-lama dan semakin lama semakin runyam.
“Dik Hamamah, tadi malam aku ke sini. Kamu nggak ada, kemana? Aku pingin makan bakso bersamamu di prapatan pasar.” tanya Barkoh setengah marah.
“ahh, Rupanya kau Barkoh udah punya kasih lain. Cintamu telah berlalu dari istrimu. Kau tidak cerita padaku. Dari tadi selama di perjalanan kau cerita panjang lebar tapi tidak ngomong kekasih selingkuhmu. Pandainya dirimu menyembunyikan rahasia kasihmu.” gerutu batin Rojen.
“Mas, aku ngantarkan keponakan ke Mojokerto.” jawab Hamamah memelas.
“Bohong kamu Dik. Alasanmu macam-macam.” bentak Barkoh dengan geram.
“Dulu kamu juga begitu, Bohong padaku. Sekarang alasanmu begitu lagi. Bohong lagi….!!! Bohong lagi….!!! Sampai kapan kau bohong lagi….!!!” bentak Barkoh makin geram,
“Mas, aku beneran. Nggak bohong, Mas.” Hamamah memelas.
“Kau anggap apa Aku….!!?” bentak Barkoh makin geram.
“Mas....” Hamamah mengiba.
“Paling-paling ulahnya, Hastoh lagi. Kau pergi sama Hastoh ya...!!!” bentak Barkoh memotong ucapan Hamamah.
“Nggak, Mas Barkoh.” Hamamah makin mengiba.
“Mas Barkoh, cintaku tetap utuh untukmu, Mas.” Hamamah memelas dan mengiba.
“Dulu kamu pergi sama Hastoh. Ngakumu Nggak, Nggak.... nggak....!!! Kapan kamu berhenti beralasan.” Barkoh makin marah.
“Kurang ajar si Hastoh. Berani menginjak-injak harga diriku. Jangan coba-coba mempermainkan aku!!!” Barkoh makin marah.
“Hastooooohhhh....., keparat kau…!!!. Kurang ajar Kau…!!! Di mana sekarang kau.!!? Ku cari kau sekarang!!!!!” teriak Barkoh dengan kemarahan hebat. Barkoh beranjak berdiri dari kursinya. Kali ini cintanya berubah membara dengan nafsu murka. Bara cinta menganga, terus-menerus berkobar. Ahh….., api cinta itu makin membakar nafsu amarah.
Dengan tangan gemetar dan berjalan cepat Barkoh menuju tempat helm tergeletak. Di dekat helm tergeletak beberapa kunci. Ia pilih kunci sepeda motor.
“Hastooohhh......, hari ini kau harus mendapat balasan.....!!!! Di mana Kau Hastoh....!!!” umpat Barkoh.
“Nak, jangan begitu.” pinta pak Tumedi. 
“Nak, sabarlah. Sabarlah, Nak.” pinta pak Tumedi.
“Tenang…., tenang…., Nak.” pinta pak Tumedi.
“Jangan marah-marah dulu!”
“Masak begitu. Temannya belum dikasih makan minum kok malah marah-marah. Apa ya pantas begituan.” ucap Tumedi.
 “Cuci kaki dan tangan dulu…., atau mandi sana dulu…., lalu makan minum dulu.” pinta pak Tumedi.
Pak Tumedi yang suaranya parau agak serak tak kuasa berdiri karena terlalu rapuh dimakan usia. Apa daya kaki tak sanggup berjalan, hanya suara parau yang dikeras-keraskan. Toh suaranya tetap terdengar lirih dan rendah.
Sementara itu, Barkoh tidak menggubris pak Tumedi.
“Udah...  udah..., jangan diteruskan Nak Barkoh. Tenangkan hatimu.” pinta bu Tukiyem sambil memegang tangan Barkoh.
“Diamlah, Bu. Aku beresi sendiri urusan ini.” pungkas Barkoh pada bu Tukiyem.
“Ya, jangan sambil marah-marah begitu. Duduklah dulu. Wonk ada temannya kok malah ditinggal pergi. Mau kemana lagi, Nak Barkoh? Antarkan temanmu pulang dulu. Jangan marah-marah begitu.” pinta bu Tukiyem agar Barkoh tidak marah di depan Rojen.
“Mas Barkoh, jangan, jangan, Mas!!” pinta Hamamah.
“Kamu, bilang jangan-jangan, karena kamu ingin gendhakan sama dia kalau aku nggak ada!!! Iya kan!!!” geram Barkoh dengan bentakan disertai luapan kemarahan tak terelakkan. Sambil memegang kunci, ia berjalan cepat menuju sepeda motor super corot..
Terlihat Barkoh memegang setir sepeda motor. Barkoh memasukkan kunci ke sepeda motor. Duh, sial deh, Kunci yang diambil Barkoh keliru. Barkoh pun lari ke tempat tumpukan kunci di ranjang bambu. Apa boleh buat, kedahuluan Hamamah. Kini kunci di tangan Hamamah. Barkoh berusaha merebut dari tangan Hamamah. Perkelahian tak terelakkan. Rojen hanya diam melongo. Ini urusan pribadi Barkoh, Rojen nggak ikut campur, bahkan ia tidak berani berbuat apapun. Ia nggak ngomong sepatah kata sebelum tahu asal-muasal persoalan pribadinya. Karena nggak ngerti asal usul, ia nggak mau usil. Ia hanya menyaksikan kemarahan Barkoh. Ia tetap duduk tenang di kursi, diam seribu kata, membisu bagai patung.
“Waduh, kunci sepeda motor sudah berhasil direbut Barkoh dari tangan Hamamah. Kuncinya lepas dari tangan Hamamah. Gimana, tuh? Aduh, Gawat…!!!” gumam batin Rojen.
Barkoh dan Hamamah berlari saling mendahului menuju sepeda motor yang terparkir di halaman rumah. Bagai dikejar waktu Barkoh berhasil mendahului Hamamah. Kunci dimasukkan ke sepeda motor. 
“Hastooooh...., tunggu aku. Kuhajar kau. Rasakan pembalasanku.....!!!” Barkoh bertambah marah. Sebuah kemarahan terhebat dalam hidup Barkoh selama bersahabat baik dengan Rojen.
“Kuhajar kau, Hastoohhhh....!!!!” teriak histeris Barkoh. Pepohonan jati yang tegar perkasa di bukit yang sedari dulu mengajarkan ketegaran hidup di saat menghadapi badai ternyata tak juga membuatnya insyaf. Bara cinta telah menganga oleh amarah, nafsu serakah dan kebencian.  
Hamamah menggeret tangan kanan Barkoh, sementara itu sepeda motor meraung-raung keras. Bu Tukiyem yang semula berdiri terbengong-bengong langsung lari ikut menarik sepeda motor dari belakang. 
“Maaaaaaas....., jangaaaaaan...., hentikan..!!! Hentikan..!!! Hentikan..!!! Toloooong….,hentikan..!!!” Hamamah menjerit keras dengan tangisan meronta-ronta.
“Maaaaaaaaaasssssssss..........!!!” begitu kerasnya tangisan Hamamah sambil menahan dan menarik ekor sepeda motor ke belakang. Sepeda motor pun tetap melaju hingga sandal Hamamah berbunyi “Sraaaakkkkk.....sruaaaagggg….!!!!!”. Hamamah terseret lumayan jauh.
“Barkooooh......., elinga Nak. Aja terusna....!!!” jerit pak Tumedi di depan pintu sambil memegangi tongkatnya. 
“Klonthang... klonthang....klonthang.....!!!!!” tongkatnya dilemparkan ke beberapa dinding bekas yang menyandar di pohon besar dekat sepeda motor. Pak Tumedi langsung ngesot ke luar. Sambil berteriak-teriak. ia meraba-raba tanah dan kerikil. Terasa telapak tangannya menyentuh batu, lalu digenggamlah batu sekepal tangan. Tanpa berpikir lama, di luar kesadaran dilemparkan batu itu ke dinding bekas.
“Bruakkkkkkk…….., krompyang……, krompyang……,” tumpukan dinding bekas yang roboh membentur beling dengan keras. Seluruh dinding bekas itu roboh di depan sepeda motor. Entahlah apa maksudnya pak Tumedi melemparkan tongkat dan batu hingga robohlan semua dinding bekas itu. Dengan kekuatan ala kadarnya ia menuju robohnya dinding untuk mengambil tongkatnya. Apa daya tongkat sudah lepas terlalu jauh dari genggamannya, pak Tumedi tak mampu meraihnya kembali dalam waktu singkat.
Jerit tangis Hamamah dan bu Tukiyem bersama raungan sepeda motor membuat Rojen terperanjat. Rojen bangun dari duduk. Spontan Rojen berlari menuju Barkoh. Kini Barkoh menguasai sepeda motor. Hamamah dan bu Tukiyem tak kuasa menahan, mereka terseret oleh gerakan sepeda motor. 
Rojen pun balik menyeret sepeda motornya mundur ke belakang. Jeritan Rojen pun keras tanpa disadarinya. Sepeda motor itu mulai melaju hingga Rojen terseret, kakinya tergores kerikil tajam. Rojen merasa kewalahan menghentikan sepeda motor yang mulai berjalan. Merasa kewalahan, langsung Rojen memegang baju Barkoh dan tangan kiri Barkoh hingga terjatuhlah Barkoh. Ia dan sepeda motornya rebah miring ke kiri. Akhirnya Barkoh menghentikan sepeda motornya setelah mengetahui bahwa Rojen yang merebahkan tubuhnya.
Kini goresan kerikil tajam membekas dalam di telapak kaki. Terlihat kaki Hamamah dan bu Tukiyem juga terluka parah. Tajamnya kerikil-kerikil itu masih lebih tajam amarah Barkoh. Bahkan tajamnya kerikil masih belum apa-apa bila dibandingkan tajamnya cinta yang menggores harapan kehidupan. Betapa kejamnya cinta yang penuh kemurkaan, ia sanggup mengobarkan bara cinta, bara yang sudah terlanjur memercikkan api cinta hingga berkobar-kobar. sampai-sampai Barkoh tak berdaya dibuatnya. Hingga akhirnya ia menjadi budak cinta.

Kabar Mbak Masyiroh, Beberapa tahun kemudian....
Barkoh sering marah-marah. Istrinya sering jadi sasaran kemarahan tanpa suatu alasan. Ia udah jarang pulang. Ia lebih banyak mengunjungi Hamamah. Nafsu murka melenyapkan cinta kasihnya. Pertikaian dalam rumah tangganya tak mungkin lagi terhentikan. Makin lama makin menjadi-jadi. Hmmm…., memang pertengkaran itu tak dapat dihindari, akhirnya berujung perceraian. Mbak Masyiroh benar-benar minta cerai. 

Hai…..,lelaki pujaan……
Kecewa, sungguh daku kecewa.
Sekian lama kuserahkan segalanya.
Janjimu sehidup semati tanpa kurang suatu apa.
Ternyata kau dusta belaka.
Kau telah berdua
begitu mesra menjalin cinta
bersembunyi di balik kelembutan kata.

Hai…..,lelaki pujaan……
Biarlah kutanggung sendiri merana dan menderita.
Berpijak pada bara cinta 
berselimut kobaran apinya.

Aduh ...., pedih…, perih….
panas membakar karena amarah
Hampa jiwa tanpa kurasa.

Kau puas jasadku bagai ranting kering

Kemana lagi kubawa cinta yang hancur ini?
Sendiri kumenjerit 

Sejak itulah seluruh bahtera kehidupannya hancur. Benih cinta yang sekian lama ditanam dalam kemesraan sampai menjelma rindang-rindang kasih sayang pada akhirnya berubah menjadi duka lara. Mereka tersulut oleh keserakahan. Bara cinta benar-benar berubah menjadi kobaran api cinta, api yang berselubung nafsu amarah tak bisa dikendalikan sang pemiliknya. 
Ouwhh…..
Kobaran api cinta menyebar ke segala arah, memancar dari bahtera Barkoh. Kobaran api cinta benar-benar terabadikan dalam lembaran kertas bertuliskan SURAT PERCERAIAN. Surat yang menggemparkan bekas kejayaan istana Majapahit. Surat yang menjadi perlambang perpisahan bara-bara percintaan tiada terkira sirnalah. Seketika itu jua di situ terlihat

Bara cinta menyulut ujung Mojokerto. Seluruh isi kasih tak terselamatkan. Tangis ratap memilukan tak terbendung oleh apapun. Beberapa kasih yang baru mulai menguncupkan kasmaran dari tepi Mojokerto masa itu musnahlah terbakar kobaran api cinta. Mereka semua tak sanggup lagi menumbuhkan benih kasih. 
Walau hasrat para pemuja cinta mencoba memadamkan, apa daya semburan air kasih tak kuasa suatu apa. 
Walau segenap pengajar cinta gembar-gembor “ajarkan cinta kepada sesama” bersusah payah menghentikan kobaran api cinta di muka bumi situ, toh akhirnya tiada sanggup pula menghadapi bara cinta yang menyulut ujung Mojokerto.

Pencarian Mbak Masyiroh....
Kasih dan cinta Barkoh sudah berpindah ke lain hati. Barkoh diselimuti kasih dan asmara Hamamah. Sekarang kasih dan cintanya jelas-jelas menjadi dinding kuat pemisah antara Barkoh dan Masyiroh. Masyiroh pun tak berdaya menembus dinding kasih Barkoh.
Dengan terpaksa ia harus melangkah pergi dari sisinya. Pilu dan hancur menyelubungi hidup. Ia tinggal meratap sendirian, cuma gigit jari dalam kehampaan.
Beberapa kawan Masyiroh tengah menggunjing dari dusun ke dusun,”Aduh..., kasih dan cintanya telah layu lalu kering kentang hingga berguguran jatuh ke bumi. Tiada lagi yang sudi memandangnya. Hamamah dengan sangat ganasnya merenggut cinta Masyiroh. Alamaaa....., cinta Masyiroh sudah binasa.”
Masyiroh menyusuri lereng terjal kehidupan. Mencari kesucian cinta walau tak mampu lagi mengembalikan masa lalunya. Ia melangkah pergi dengan sejuta imajinasi

Wahai lembah manakah yang subur
Kudatang padamu
Agar kuberada di mana kuberpijak
Kuingin bernaung dari kejamnya bara cinta
Agar tumbuhlah kasih suci termulia

Wahai laut lepas mana yang luas membentang
Kuingin arungi dalam kebebasan bagai ikan berenang 
Agar pandangan tak terhalang suatu apa

Wahai mata air mana yang bening memancar
Kuingin minum agar lenyaplah panas cinta
Sirami daku agar mengalirlah mata air kasih

Wahai desir angin mana yang halus menyapa
Menghembus di antara sembilu menyayat
Kuingin menghirup perlahan dalam desir api cinta
Agar sesak napas cinta redalah segera

Bait demi bait imajinasi mengalir bagai bening air mengalir. Ia makin gundah. Linangan air mata tak cukup membasahi pijakan kaki pada keras tajam retakan tanah. Kesedihan di atas sayatan luka cinta tanpa dirasa. Bak desir angin malam dalam kekeringan panjang tak henti-hentinya membisikkan nyanyian derita. Menghibur langkahnya yang makin lama makin gontai hingga lelah sudah. Tak tahulah kemana harus melangkah. Tujuan cuma sebatas angan kosong belaka. Kabar-kabar derita merapat bertautan bak kabut tebal menutupi jalan misteri, Masyiroh pasrah diri. Diam dalam kepiluan saat penghuni dunia ramai menggunjing.


Di Suatu Masa.....
Kehidupan Barkoh mulai berubah. Seiring waktu bergulir hartanya makin melimpah. Ia membangun pondasi cinta dengan istri barunya, si Hamamah. Dibangunnya rumah mewah menarik di tepi jalan raya agar semua orang tahu bahwa ia sungguh bahagia bersama wanita pujaan yang baru dalam persandingan. Sepeda Super Corot yang dulu dikenakan kini tak nampak lagi, kabar-kabarnya sepeda itu dibuang, justru sepeda motor keluaran terbaru yang dipakai.
Sementara Masyiroh tak kuasa melihat Barkoh membina asmara dengan Hamamah di dalam bangunan mirip kebesaran asrama asmara sebagai persinggahan cinta terakhirnya. Bila dulu segala kasih segala sayang buat Masyiroh, kini segalanya buat Hamamah.
“Mas Barkoh, betapa besarnya pengorbananmu buatku. Tak dapat kubayar dengan gundukan gunung emas mutiara.” mesranya Hamamah.
 “Cukuplah cintamu dan dirimu sebagai penebus segalanya.” 
“Rumah yang mewah ini menjadi istana cinta kita berdua, walau awan menutupi dunia, di pojok dinding itu sebatang lilin putih siap menyala menjadi lentera cinta kita berdua. Walau kelamnya malam datang setiap saat di sudut kerlingan terpancar seberkas sinar cinta yang menerangi jiwamu.” jawab Barkoh mesra.
“Mas, sehari bagaikan seabad mengharap saat-saat bermadu tiba.”  bisik Hamamah.

Dalam pada itu pula, walau Masyiroh sudah dicerai sekian lama, dirinya masih sanggup menumbuhkan benih cinta. Benih cinta yang berbeda dari masa lalunya, bukan lagi buat Barkoh. Begitu kuat benih cinta menggelora sebagaimana kuatnya bara cinta yang pernah membakar biduk kasih hingga hanguslah kehidupan cinta yang silam.

Suatu ketika…..
Suatu ketika Barkoh sakit parah. Sakit komplikasi menjadikan tubuhnya tak kuat berjalan. Terpaksa ia berbaring di ranjang tidurnya. Acapkali Ia berharap Masyiroh datang padanya walau bukan lagi miliknya. Walau tiada lagi di sisinya, walau bukan lagi istrinya, pertemuan diantaranya diimpi-impikan Barkoh. Mungkin apa yaa? Hmmm....., barang kali permohonan maaf ingin diungkapkan pada mantan istrinya tuh. Dalam keadaan demikian, Hamamah menolak keinginan Barkoh.
“Ahh.........., dasar istri baru bisanya curiga aja....., wonk udah tahu sakit parah kok masih nggak percaya.......” celetuh beberapa orang.
“Emang sih......, salahnya Barkoh sendiri, semasa hidupnya suka gonta-ganti pasangan dan menuruti hawa nafsunya. Demi nafsu birahinya tak peduli badai petir menyambar...., lagian ia juga sering main mata......” kata seorang gadis berbaju merah dengan renda mawar merah di dadanya dan di pinggulnya.
“Jadinya Hamamah semakin curiga. jangan-jangan sakit ini dibuat-buat, hanya dijadikan alasan untuk memuaskan nafsu belaka yang sekian lama hilang. Paling-paling pura-pura minta maaf.....” timpal sahabatnya yang kenes bergaun putih bening.
“Waaaaahh...., jangan-jangan ini hanya episode lanjutan cinta bercabang, karena semua para pemuja cinta udah tahu dan sepakat mengklaim bahwa Barkoh nggak pernah memuja cinta suci apalagi menumbuhkannya. Sudah menjadi keyakinan di kalangan pemuja cinta bahwa dengan memuja cinta suci kelak kehidupan cintanya bakal langgeng selamanya. Sayang sekali, keyakinan itu tidak dimiliki Barkoh…..”bisik-bisik gadis yang memakai gaun merah jambu berlingkar renda melati di lehernya kearah telinga gadis yang berbaju merah berenda mawar merah, “Hamamah makin nggak percaya loh.”
“Tapi kenyataannya kok sakitnya dari hari ke hari makin parah, yaaa. Cobalah lihat aja keadaan selanjutnya.”kata seorang gadis berbaju merah dengan renda mawar merah di dadanya dan di pinggulnya.
Badannya sangat panas sampai-sampai mengigau “Dik Masyiroh, sinilah. Dekat aku, Dik! Jangan ke mana-mana, Dik Masyiroh.”
Mendengar Barkoh sering mengigau demikian, Hamamah pusing tujuh keliling. Beberapa saudaranya dibuat bingung oleh keadaan Barkoh. Panasnya makin tinggi, dokter tak sanggup lagi menanganinya. Tak puas sampai di situ, para tabib pun didatangkan demi kesembuhannya, para supranatural yang konon kabarnya diyakini penguasa sisa-sisa kesaktian pertapa sakti beraliran majapahit walau bukan kesaktian asli istana majapahit pun beramai-ramai ikut ambil bagian demi keselamatan nyawanya. Sampai-sampai yang pura-pura sakti pun sok keminter, sok sakti mengobatinya. Semuanya tiada guna, nyatanya sakitnya kian lama kian parah.
Melihat yang demikian, ibunya sedih dan panik. Ibunya mengiba meminta kerelaan hati Hamamah untuk menghadirkan Masyiroh ke pembaringan Barkoh. Siapa tahu dengan kehadirannya Barkoh bisa sembuh. Bukan main, sakitnya tambah parah menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya  Hamamah menyetujuinya. 
Dicarilah Masyiroh ke setiap tempat. Sudah puluhan tahun Masyiroh berpisah dari Barkoh. Agak lama pencarian Masyiroh. Masyiroh rela hidup menjanda dengan bekerja seadanya. Ia bekerja serabutan, seperti orang miskin lainnya, padahal dulunya ia kaya raya sebagai juragan, dipandang terhormat di mata manusia sekelilingnya. Begitulah putaran dunia, tak selamanya kehidupan di atas melulu. Bahkan penthol bakso di gerobak Barkoh pun nggak janji deh di atas gerobak terus-menerus, suatu ketika ia juga turun dari gerobak. Begitulah perumpamaan kehidupan Masyiroh. Ia perjuangkan hidupnya dengan kerja keras menjadi kuli kasaran demi menyambung nyawa. 
Pencarian Masyiroh sungguh melelahkan. Kesana kemari, keluar masuk gang-gang di beberapa kota besar hingga ke sudut-sudut kota. Biarpun sulit dalam pencarian, akhirnya Masyiroh ditemukan juga dengan kesungguhan dalam pencarian. Ternyata Ia bekerja di Surabaya. Dalam pertemuan itu dimintalah Masyiroh untuk menemui mantan suaminya. Apalah daya cinta Masyiroh telah lama mati. Ia terkubur dalam di antara sampah-sampah kehidupan. Ia terpendam ke dasar tanah bersama pelapukan batuan. 
Masa lalunya sudah musnah terbakar, semuanya beterbangan menjadi debu-debu kehidupan walau Barkoh dalam ketidaksadarannya berharap,”Kembalikan masa lalumu, Dik Masyiroh......!!!” Terlambat sudah segalanya. Masyiroh tak butuh cinta lelaki macam manapun apalagi macam Barkoh, bahkan ia sudah lupa Barkoh. Ia tak punya cinta. Hanya cinta suci pada sang Mahatinggi terlahir dari relung-relung jiwa. Hanya cinta sejati yang ia punya. Cinta sejati itulah yang menyejajarkan dirinya dengan maqom-maqom sufi pendahulunya. 
Setelah terdiam dan berpikir panjang, Masyiroh menyetujuinya. Ia pun mandi lalu berhias cantik serupa gadis belia. Hiasan cantiknya sudah teruntuk sang Mahakuasa beserta penghormatan pada setiap wajah-wajah yang pernah mencibirnya di desa Barkoh.  Keindahan baju dan rupa bahkan kemolekan dirinya telah menjadi lukisan alam yang tak penah lepas dari sabda-sabda para suri tauladan pendahulunya. Darinya terlukiskan bahwa sesungguhnya sang Mahakhalik itu molek permai dan menyukai keindahan termasuk dirinya. Ia memang mengkongkritkan yang demikian.
Ia dibonceng Saudaranya menuju rumah Barkoh. Tiba di rumah Barkoh, Masyiroh memasuki rumahnya dengan digandeng saudaranya. Kelembutan hati dan kesabaran memancar pada setiap langkah Masyiroh. 
Amboi…., Aroma harum wangi menyebar dari tubuhnya. Parfum murahan yang ia kenakan sungguh wewangian kesturi yang memercik dari kahyangan, Wewangian yang menentramkan pada setiap orang penjenguk Barkoh selama sakit. 
“Mas Barkoh, aku Masyiroh.” ucap Masyiroh pelan sambil memegang tangan kanannya. Pelan mesra lembut namun tiada bernafsu apa lagi nafsu birahi. Keningnya diusap Masyiroh. Seketika itu pula Barkoh terbangun. Mata yang sehari-harinya terpejam, kini terbukalah. Tabir-tabir penghalang percintaan masa lalu serasa tersingkap. Segala kebahagiaan masa lalu kembali terungkap seperti sedia kala walau hanya dalam bayangan.
Barkoh pun dipangku Masyiroh. Kepalanya diletakkan di dada kemudian dahinya diusap dielus-elus. Barkoh tersenyum lalu berkata-kata lembut dan pelan. Langsung Mastiroh menyahut senyuman itu.
 “Aku Masyiroh, Mas Barkoh. Cepatlah sembuh, Mas” pinta Masyiroh.
“Maafkan Aku, Dik Masyiroh. Aku salah. Aku banyak bersalah padamu. Maafkan aku, Dik.” pinta Barkoh bersama tetes air mata.
“Iya, Mas. Sama-sama. Kumaafkan semua kesalahanmu. Kumaafkan, Mas. Lekas sembuh ya Mas.” permohonan Masyiroh. Badan Barkoh sangat panas dan kurus kering. Hamamah cuma bisa memandang cemberut dan curiga. Walau terpaksa menyaksikan, kali ini ia harus rela nyata di depan mata bahwa Barkoh benar-benar dalam pangkuan Masyiroh. Di depan banyak orang, Barkoh dipangku Masyiroh bagai bayi putih bersih suci yang dipangku gadis kahyangan.
Apa boleh buat, walau kepala Barkoh dalam pelukan, ketahuilah Masyiroh sudah tak punya cinta. Kasih dan cintanya sekian lama tersulut api cinta hingga terbakar seluruh bangunan cintanya. Musnahlah sudah segalanya. Cintanya sudah lama mati. Hanya ada cinta suci begitu sejati pada sang Maha Pencipta Jagat Raya.
 “Maafkan aku..., Maafkan aku...., Maafkan aku....” pinta Barkoh seraya memandang atas hingga menghembuskan napas terakhir di pelukan Masyiroh. Kedua mata Barkoh terpejam untuk selamanya. 
Terlentang, terbujur kaku, jasad membisu, senyum beku di pembaringan terakhir. Jasad mati memisahkan kesenangan dunia.
Barkoh benar-benar berucap selamat tinggal wahai istri dan mantan istri. Selamat berpisah pada setiap mata yang memandangnya dan pada semua sekelilingnya.
Isak tangis terdengar di seluruh isi rumah. Cucuran air mata sebagai pertanda pertemuan dan perpisahan dua manusia yang berbeda jalan. Selamat jalan Barkoh. Di sanalah, kehidupan baka bakal menjelang. Moga bahagia di alam keabadian.

S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Cangklong =  mengaitkan tali tas ke pundak kiri atau kanan.
Kedung Pengkol =  nama tempat di kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Mojokerto =  nama kabupaten di Jawa Timur, Indonesia.
Sidoarjo =  nama kabupaten di Jawa Timur, Indonesia.
Ngecembeng =  keadaan air yang menggenang di beberapa bagian jalan yang tidak merata.
Bemo =  angkutan kota, lyn.
Sepeda motor super corot =  sepeda motor yang model lama dengan bentuk memanjang, perut tangkinya tidak gendhut, suaranya khas kurang begitu enak di telinga, asapnya agak banyak, bau asapnya menyengat persis asap kebakaran.
Keslimpret-slimpret = langkah kakinya terhalang oleh kain bermotif batik jawa yang diselimutkan dari pusar sampai atas mata kaki atau tepat mata kaki.
Dimenal-menolkan = dimegal-megolkan dengan genit = langkahnya dibuat tampak seksi genit.
Panggling = lupa wajah seseorang yang pernah dikenalnya setelah sekian lama tak jumpa, namun wajah lama dan namanya masih teringat kuat.
Pingin = sangat ingin.
Gendhakan =  melakukan perselingkuhan.
Elinga Nak. Aja terusna....!!! =  sadarlah, Nak. Jangan diteruskan. ....!!!
Ngesot = berjalan tidak menggunakan kaki, tetapi menggunakan bokong.
Beling = pecahan-pecahan kaca kecil-kecil dari barang-barang yang terbuat dari kaca.
Sok keminter = tidak pandai tapi berlagak pandai.
=============================
BARA CINTA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.
BARA CINTA
Diambil dari kisah kehidupan rakyat desa
Kejadian awal di Mojokerto, hari Minggu, Februari 1999.
Ditulis mulai hari Sabtu, 12 Maret 2016 -  11 April 2016
Dipublikasikan pada hari Minggu, 15 Mei 2016 Pukul 10:33 WIB
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.com
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)