Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Friday, June 17, 2016

Sprinkling in Silence 16 (Percikan dalam Kesunyian 16) : Lamentation from Old Home (Ratapan dari Rumah Tua)

LAMENTATION FROM OLD HOME
Created by Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
RATAPAN DARI RUMAH TUA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.



Di ujung dusun berdiri tegak rumah tua pada hamparan semak belukar. Rumah yang makin tua, bahkan reyot, tak lagi berpenghuni. Tampak angker dan gelap walau siang bolong sinar matahari menembus dinding-dindingnya, dinding yang terbuat dari kayu mahoni mulai keropos sana-sini. Beberapa pojoknya dimakan rayap setelah puluhan tahun silam ditinggal empunya.
Tidak jauh dari itu, terlihat mondar-mandir si Gandrem dari belakang rumah tua reyot, remaja yang masih berusia setingkat sekolah menengah pertama. Mukanya terlihat lusuh dan resah. Dari kemarin seharian penuh tampak merengut. Dari dulu kerjaannya cuma mainan melulu sama anak-anak sepulang dari sekolah, tak peduli orang tuanya kerja di ladang. Terkadang main petak umpet dengan anak laki-laki seusia taman kanak-kanak atau sekolah dasar.
Mungkin bosan mainan petak umpet, ingin yang lain.
Tangannya meraih pohon sebesar perut gendhut orang dewasa. Dielus-elus tubuh pohon. Kaki dan tangannya merayap ke atas. Baru satu meter tingginya dari tanah, ia terjatuh. Sudah tak sanggup lagi merangkul tubuh pohon sebesar itu. Ia melompat-lompat menuju ke pohon jambu air. Dicobanya memanjat pohon jambu air yang semakin merunduk karena keberatan buahnya. Buah yang merah merekah makin mempesona bagi siapa saja yang memandangnya, tinggal petik saja asalkan mau. Betapa menggodanya jambu air yang tampak ranum. Beberapa diantaranya runtuh bertebaran ke bumi karena sudah terlalu tua. Pohonnya sebesar ukuran orang dewasa gendhut tak bisa dirangkul tangan Gandrem. Dicobanya berulang kali namun terjatuh jua. Tak kuasa lagi memanjat pohon ini. Tak kehabisan akal, Gandrem mengayunkan ujung-ujung pohon yang merunduk ke bumi. Ia raih ranting-ranting. Lewat ranting inilah ia berhasil ke dahan pohon paling atas. Dari dahan pohon paling atas Gandrem berpindah-pindah ke pohon jambu merah yang bersebelahan dengan jambu air. Bahkan cabang pohon jambu merah sebagian menumpuk ke dahan jambu air dan mangga.

Hampir seharian Gandrem di sini.

Dari pagi ia panjat-panjat pohon jambu air melulu di dekat rumah tua. Tidak hanya itu, ia mengayun-ayunkan ranting ceremai yang menjulur ke dahan jambu air sambil meluapkan emosinya. Mungkin kesal melihat pohon ceremai yang sekedar merimbunkan daunnya selama bertahun usianya. Sekian lama pohon ceremai masih merengut, ia enggan berbuat banyak untuk kemaslahatan manusia, bertahun-tahun lamanya hingga musim berubah berulang-ulang belum juga berbuah, padahal telah lama teman-teman ceremai menampakkan buahnya guna menservis kehidupan manusia.
Sesekali mengecap jambu merah, Gandrem merebahkan tubuhnya di antara dahan pohon yang besar itu. Benar-benar ini pilihan Gandrem. Ia memilih main sendiri. Lebih asyik main di pohon jambu air dekat pohon jambu merah, pohon ceremai, dan pohon keres.
Maklum anak desa yang terlahir dari keturunan ekonomi lemah waktu itu untuk ukuran kehidupan anak-anak seusianya, tiada mainan bernuansa teknologi masa kini berbasiskan elektronik. Bisanya cuma mainan panjat pohon di perkebunan liar dekat rumah tua, kejar-kejaran di antara tumpukan batu kali, sembunyi-sembunyian dari balik rumpun bambu atau bahkan melompat dari pohon dengan ketinggian dua meter.
Bila bosan dengan permainan itu, ia hanya bisa menabuh-nabuh kenthongan yang terbuat dari bambu tua, bambu yang diambil dari rumpunnya pembatas kampung dengan hutan. Hmm…., ini sungguh permainan pemuas kehidupannya.
Di tempat itu pula bahkan di sekitarnya sering kali terlihat beberapa kucing mangkal di sana bersama temannya bahkan menemani anak kampung yang usia kanak-kanak, sekolah dasar, atau sekolah menengah pertama. Acap kali si cemeng meang-meong tatkala jauh dari bundanya. Terlihat pula seekor kucing belang beranjak dewasa mondar-mandir di sekitar Gandrem. Ia berjalan-jalan sambil merengut, tampak bermuka masam, bahkan bermuram durja. Tak tanggung-tanggung kepalsuan dan kecemberutan ia pancarkan dari jiwanya.
Entah nafsu setan mana yang merasuk ke diri Gandrem waktu itu, tiada yang tahu, tiba-tiba ekor kucing belang itu ditarik sekencang-kencangnya lalu diseret. Kucing belang pun tak tinggal diam. Sekuat tenaga cakarnya mencengkeram tanah yang gembur sambil mengerang-erang kesakitan, apa boleh buat terlepas juga. Dicakarkan kuat-kuat pada rumput, apa daya terlepas juga.
“Meong....!!! Meong....!!! Meoooong....!!!” Ia meronta-ronta. Jeritan melengking tinggi sejadi-jadinya. Mendengar jeritan kucing hingga ronta-rontanya kedengaran dari kerumunan anak-anak yang sedang bermain, Gandrem makin kesal. Tak perlu banyak kata, ia tolah-toleh kiri kanan, tampak jendela yang rusak akibat dibobol luwak yang setiap malam makan jambu air dan jambu merah. Dilemparlah kucing belang ke dalam rumah tua reyot. Tubuh kucing terbang menerobos jendela tua.
Mengerang kesakitan sambil meang-meong. Suara kucing belang makin keras. Anak-anak yang sejak siang tadi bermain serta merta buyar. Rasa ingin tahu apa yang terjadi pada diri kucing di dalam rumah tua tak berpenghuni itu telah membuyarkan permainan mereka. Kini mereka ramai-ramai mendekati rumah itu. Di antara mereka.berteriak,“Jangan.. jangan..., itu rumah hantu. . ...!!”
Anak yang lain pun menantang, “Nggak apa-apalah..., wonk siang gini kok ada hantu...... “
Beberapa yang lain berteriak, “Ayo sama-sama lihat sana..... Kamu membawa kayu untuk jaga-jaga memukul hantu kalau hantu itu menyerang kita. Bawa batu kali. Kalau hantu itu menyerang kita, lemparkan saja batunya.”

Kini mereka berlari bersama menuju rumah tua reyot.

Mereka makin mendekatinya. Makin mendekat, suara histeris kucing makin terdengar menjerit melengking hingga parau. Perlahan mereka semua merapat ke dinding rumah tua. Pipi mereka mulai ditempelkan ke dinding yang kotor itu. Diintiplah segala penjuru ruangan yang gelap. Tampak gelap karena di atas atap membentang ranting pohon slobin besar memayunginya.
Mereka berpindah ke lubang dinding lainnya. Di salah satu kamar itu bersandar pecahan-pecahan cermin lumayan besar. Pecahan-pecahan cermin itu agak berantakan, namun duduk manis di lantai.
Sebanyak tujuh cermin retak mungkin karena dipancal tikus atau garangan atau bahkan luwak. Tak seorang pun tahu sebab musabab kerusakannya.

Betapa kagetnya mereka!

Kucing itu ngeang-ngeong menjerit tanpa henti-hentinya, lari kesana-kemari. Ia melihat bayangannya sendiri dari dalam cermin dengan wajah menakutkan, tidak hanya itu ketika ia mengeong sekeras-kerasnya sambil mengencangkan ekor dan mengeluarkan cakarnya.
Kucing pun menjerit lari memutar ke belakang dalam keadaan tak kontrol diri, ia lihat cermin juga, Dari dalam cermin muncul bayangannya. Ia makin marah karena bayangannya tampak jelek lagi menakutkan lalu mencakar-cakar lagi. Dicakar dan dipancalnya cermin itu hingga lepas dari sandarannya. “Krompyang..! Krompyang....!! Krompyang....!!!” Kucing belang lari kencang menuju pecahan cermin yang agak lebar tergeletak di tanah. Dilihatnya cermin itu, muncullah kucing yang sama dengannya. Cepat-cepat ia arahkan cakarnya ke kucing dalam cermin itu, maka reaksi keras dari kucing dalam cermin pun diterimanya, kucing belang dalam cermin balik mencakarnya Ia tidak menyadari sesungguhnya kucing dalam cermin tidak lain hanyalah jelmaan bayangan dirinya. Makin ketakutan melihat potret bayangan dirinya, belum lagi Gandrem makin beringas merobohkan pintu luar hingga terdengan seperti gempa melanda. Kucing belang pun keluar dari rumah tua reyot. Batinnya berkata, " Aaaaa……………, Aku takuuut...!!!! Mengerikan......!!!! Rumah reyot tua mengerikan...!!!" sampai-sampai ular yang bertengger di pohon besar yang dahannya separuh memayungi rumah tua reyot yang sempat terlelap tidurnya terbangun seketika.
Anak-anak pun semburat meninggalkan rumah angker dengan penuh kekecewaan. Mereka pergi sambil melempari kucing belang dengan batu kali yang dari tadi disimpan di balik baju dan saku. Beberapa di antara mereka melemparkan ranting kayu dari genggamannya.
“Sialan...!!! Dasar kucing ingusan.....!!!!!! Berani-beraninya membubarkan mainan kami. Nich rasain tuh, akibat ulahmu...!!!” gerutu dan amukan anak-anak sambil melemparkan batunya. Hujan kerikil mengenai tubuh kucing belang. Kucing belang berlari kencang. Ia melompati selokan dan sungai kecil. Masih dalam jangkauan anak kecil, kucing belang di lempari kayu hingga anak-anak puas menjatuhkan hukuman padanya. Kali ini pengadilan kucing mulai dijalankan anak-anak. Kucing belang memanjat pohon demi mendapatkan perlindungan. Ia sembunyi di balik rerimbunan pohon di antara ranting-ranting pohon yang rapat hingga batu kali tak sanggup menjamah tubuhnya. Tubuh dan ekor disembunyikan di balik pohon sambil matanya melotot mengintip kemarahan anak.
Kerumunan anak-anak kocar-kacir, ada yang lebih dulu sampai di tempat permainan semula, ada yang tertinggal di belakang.


Apa yang terjadi di tempat permainan anak-anak?

Di tempat semula, tempat mereka bermain, berjongkok kucing dengan motif hitam legam. Dielus-elus anaknya yang beberapa hari lalu terlahir di kandang kambing pak Lamijo. Ia tersenyum. Putih mulus bulunya mengurai senyum simpul. Kebahagiaan pun terlahir jua sejak kehadirannya ke dunia fana. Tak ingin arena permainan dipakai kucing hitam legam dan kucing putih anakan, beberapa anak mengusirnya. Sadar akan dirinya bahwa ini bukanlah habitatnya, Kucing hitam legam dan kucing putih anakan pergi dan berlari-lari kecil menuju rumah tua reyot. Kucing putih mulus anakan bermeong manja membuntuti bundanya. Di sanalah ia bebas dari usikan anak-anak, bahkan dijamin tempat situ nggak bakal didatangi anak-anak yang bermain karena konon kabarnya setiap orang yang bermain di rumah tua reyot bakal diganggu gendruwo atau dhemit atau kerasukan hantu cempreng. Berhati riang, langkahnya dihiasi pikiran jernih dan qolbu ruh batin yang bening. Kucing pun mengibas-ngibaskan ekornya penuh keceriaan. Tiada pilihan lain selain rumah tua reyot yang sudah lama dikenal angker oleh anak-anak. Perlahan dan pasti, kucing berbulu hitam legam dan anaknya berbulu putih mulus mengendap-endap masuk.
Seorang anak dari mereka yang dari tadi semburat dari kerumunan permainannya karena ulah si kucing belang kini memperhatikan tingkahnya kucing hitam dan putih ini. Ia pun memanggil-manggil temannya. Mengajak mengintip apa yang dilakukan kucing di dalam kamar tua. Kabar santer yang sudah diakui kebenarannya bahwa ular besar yang sering singgah untuk melepaskan kantuknya di pohon besar di rumah tua reyot akan marah bila ketenangannya dirusak atau keteduhan persinggahannya diporakporandakan. “Bukankah kucing belang telah berulah pada sang ular” pikir anak-anak.
“Hmmm…., mampuslah kau kucing ditelan ular besar . Bukankah ular besar akan memangsa kucing hitam legam dan kucing putih mulus anakan? Lihat tuh dua kucing itu masuk ke rumah tua reyot. Tadi kucing belang telah mengusik ketenangan jiwa ular. Kini giliran kamu kucing hitam disantap ular besar.” teriak seorang anak.
“Ayo, cepat kita mendekat rumah tua reyot. Ayo cepat kita intip bersama!” ajak beberapa anak-anak.
Anak-anak mulai merapat ke rumah reyot tua lalu diintiplah kedua kucing tersebut. Betapa herannya mereka. Di dalam kamar itu kucing mengeong bahagia dalam kesunyian, tidak menjerit-jerit seperti kucing sebelumnya. Jauh banget bedanya. Betapa senangnya kucing ini di dalam kamar angker. Ia senyum menatap cermin. Di balaslah senyuman itu oleh kucing yang serupa dirinya dari dalam cermin. Amboi senangnya, kucing hitam legam mengibas-ngibaskan ekornya dan melompat-lompat kecil kegirangan. Ekornya menari lembut selembut kasih bagai bidadari mengibaskan selendang sutranya. Rupanya, kucing dalam cermin di hadapannya juga ikut-ikutan mengibaskan ekornya dan melompat-lompat kecil ke sana-sini. Puaslah rasanya lalu menghampiri anaknya, sang anak membalas dengan menjilat-jilat wajah induknya.
Batinnya berbisik."Wah..., sungguh bahagia di dalam rumah tua. Menyenangkan sekali hidup di sini ..... Ohoi, megahnya istana ini......!!!!"
Kini kucing hitam legam ini sanggup merefleksikan apa yang ada pada dirinya. Ia kuasa menghias kehidupan dengan polah tingkah yang sopan dan beradab, ia sadar akan kelakuannya bakal memantul kembali pada dirinya. Ia rasakan rumah tua reyot dan angker, yang menurut pandangan orang rumah itu dapat mendatangkan malapetaka buatnya, justru membuatnya bahagia, bahkan mendatangkan keberuntungan. Mungkin inilah lukisan kehidupan. Ketika si kucing hitam legam dan putih dalam kemiskinan ada kebahagiaan di sana. Kebahagiaan yang sepadan dengan kemewahan harta dalam limpahan tahta dunia. sebaliknya ketika si kucing belang berpikir kehidupan ini adalah ruang-ruang yang sangat sulit sekali bahkan sangat rumit dan ngeri untuk dialami, maka pancaran kerumitan dan kengerian pun bermunculan dari bayang-bayang pikiran.
SELESAI
TERIMA KASIH


=============================
Beberapa Istilah:
Merengut = mbesengut = methuthut = methothok = cemberut.
Cemeng = Kucing anakan.
Gendruwo = Makhluk halus dari bangsa ghaib yang diyakini suka mengganggu kehidupan manusia.
Hantu cempreng = Hantu yang suaranya nggak enak dan kedengarannya bikin bulu merinding.
Dhemit = Makhluk halus dari bangsa ghaib yang diyakini suka membuat manusia jadi sakit.

=============================

LAMENTATION FROM OLD HOME
RATAPAN DARI RUMAH TUA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

LAMENTATION FROM OLD HOME

RATAPAN DARI RUMAH TUA
Kisah yang tercipta dari kehidupan nyata rakyat desa
Kejadian di Lamongan, 11 Maret 1990.
Ditulis di Surabaya, 1 Oktober 2000.
Dipublikasikan pada hari Jumat, 17 Juni 2016 Pukul 21.22 WIB.
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id

Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006

Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.

Kisah menarik lainnya yang bisa kalian ikuti adalah LIVE COALS OF LOVE (BARA CINTA)


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)