Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Monday, November 16, 2015

Sprinkling in Silence 12 (Percikan dalam Kesunyian 12) : Kendhangan on the Riverside of Pagesangan (Kendhangan di Tepi Kali Pagesangan)

KENDHANGAN DI TEPI KALI PAGESANGAN
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.

Tanggal peristiwa: Minggu 24 Mei 2015
Lokasi Peristiwa: Pertigaan Jalan Pagesangan tepi Sungai Pembatas Simowau (Kelurahan Sepanjang, Sidoarjo)  dan Pagesangan (Kelurahan Pagesangan, Surabaya), di pojok lapangan Pagesangan tepi Rel Kereta Api)
Tanggal publikasi: Senin, 16 November 2015.
Dipublikasikan di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id


Hari ini tidak seperti biasanya, panasnya luar biasa. Aku lewati jalan lain menuju kamarku. Kulewat pertigaan ini sambil mencari minuman buah segar. Segarnya buah degan (kelapa muda) sudah terbayang kuat. Kulihat orang tua, remaja, dan anak-anak berkerumun di pertigaan jalan tepi kali pagesangan, pertigaan batas Kota Pagesangan (Surabaya) dan Kota Simowau (Sidoarjo).
Bahkan di antara mereka banyak anak kecil setengah merangkak setengah jalan dan bayi mungil. Digendongnya bayi mungil oleh bundanya, kasihnya menyatu dalam ketentraman batin. Dipeluknya erat kuat dalam kesucian kasih bundanya.
Kulihat jam di pesawat kecil teleponku, hmmm...., sudah jam 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (sekitar kota Pagesangan).
Terkesima dengan kereumunan orang, kudekatilah.
“Ingin tahu, kan.” Siapa yang nggak ingin tahu, wonk tumpah ruah mulai bayi hingga lelaki tua juga di sana.”
Makin mendekati mereka makin terdengar ramainya suara musik.  Derum mobil dan sepeda motor yang lewat di jalan lain yang tidak jauh darinya hilang oleh ramai riuh rendah kendhang, gong tua kuno, dan lainnya.
Tidak salah dugaanku.
Kini aku yakin bahwa mereka semua menyaksikan musik yang dari kejauhan mendayu-dayu.
“Sungguh menarik ini!!!”
Kendang kempul mereka mainkan. Mereka tabuh sekencang-kencangnya.
Aku terpesona dengan penampilan si penyanyi.
Tiga orang njoget-njoget, dan seorang menyanyikan lagu campur sarian.
Lagu-lagu jawa mereka alunkan, si penjoget makin lihai menunjukkan kehebatannya di depan penonton.
Jalan yang semula fungsinya untuk jalan raya sebagai penghubung Simowau (termasuk wilayah Sepanjang, Sidoarjo) dan Pagesangan (termasuk wilayah Surabaya) sekaligus pembatas kedua kota besar benar-benar tertutup oleh tumplek blek luberan penonton dadakan.
Ternyata ini kendhangan dadakan.
Mas, ini pesta apa mas?” tanyaku pada remaja di samping kiriku.
“Pengamen dadakan, Mas!” jawab mereka.
“Ahhh pengamen dadakan, tapi kok banyak ya krunya. Banyak juga ya peralatannya, pakai gerobak juga. Kok tidak dari pintu ke pintu, biasanya dari rumah ke rumah. Ini malah di tengah jalan raya.“ pikirku.
Tidak seperti biasanya. Sungguh menarik, hiburan dadakan yang menarik tapi terasa badanku capek aku harus pulang dulu untuk meletakkan tasku yang berisi buku-buku setelah dari pagi sampai jam 12 siang mengajar privat anak SD sampai SMA di perumahan TNI Marinir Karangpilang.
Aku harus meletakkan buku-bukuku dan tasku, lalu aku lihat lagi hiburan dadakan ini.
Kutinggalkan kendhangan dadakan ini untuk sejenak.
Bergegas kutinggalkan keramaian ini untuk kembali lagi. Sesampai di kamar aku kuletakkan tasku.
Bughh…!!!!!” tas berisi buku membentur lantai.
Cepat-cepat aku balik menuju ke tempat hiburan di tengah jalan tadi.

Hampir dekat dengan pertigaan yang ramai kendhangan tadinya.
“Lhoh, kok sepi. Kemana mereka semua?”
“Kok gak ada suaranya, kok gak kedengaran musiknya,” gumam batin.
Tapi orang sudah mulai berkurang di tempat tadi.
Kudekati tempat tadi, Ternyata semua pemain, penyanyi, penabuh kendhang, dan pemimpinnya sudah bubar. Mereka memasukkan peralatan musik ke gerobak.
Gerobak itu didorong oleh tiga orang dan ditarik oleh seorang. Di belakang gerobak beriringan berjalan anak-anak kecil seusia anak di bawah usia lima tahun dan seusia anak Taman Kanak-Kanak.
Aku kecewa. Kecewa benar tidak bisa menyaksikan atraksi mereka hingga tuntas.
Untuk menghilangkan rasa ingin tahu lebih jauh, aku coba mengalihkan perasaan ini menuju toko es degan.
Kulihat toko es degan, banyak kelapa muda dan degan berlimpahan di sana.
Aku pesan satu kelapa muda.
“Mas, Degan satu buatku ya!”
Cepat-cepat penjual itu mengambil degannya tanpa ba bi bu. Dipilihkan degan yang gendhut perutnya buatku.
 “Prak prok prak prok…!!!” pemilik toko membelahnya.
Airnya dimasukkan ke kantong plastik. Isinya dikerok-kerok, dimasukkan disatukan ke kantong plastik tersebut.
Harganya memang tidak mahal,
Cuma sembilan ribu rupiah. Kubayar lalu kubawa degan sekantong plastik. Kuharap sekantong plastik degan membius ingatanku tentang tetabuhan yang sudah meninggalkan diriku.
Plastik putih bening berisi degan di tangan kiri. Sementara tanganku sebelah kanan memegang setir.

Kali ini tempat yang tadi riuh rendah suara kendhang dengan lagu jawa dan tarian jaran kepang sudah tidak ada lagi, hanya kesunyian di pertigaan ini yang terletak di tepi sungai, sungai kecil pembatas kelurahan Pagesangan (Surabaya) dan kelurahan Sepanjang (Sidoarjo).

Sampai di dalam kamar aku buka kantong plastik dan kuletakkan di baskom. Kutambahkan gula.
Tidak kuberi bongkahan es. Memang, aku gak suka degan dengan gumpalan es. Pinginnya air degan yang hangat-hangat mesra aja dengan gula putih yang kumasukkan ke dalamnya.
Sruupp…,sruuuuuup….., srupuuut....” kuminum degan.
“Enak, lho, rasanya.
“Eeah..., segarrrr....,”
“Aduh...., kok teringat kembali tabuh-tabuhan tadi ya.”
Ingatanku belum pulih. Masih membekas iringan musik kendhang, gong, lagu dan tariannnya.
Kiranya degan bisa melenyapkan segala ingatan justru malah membangkitkan keingintahuan orang-orang yang sorak-sorai di antara tetabuhan tadi.
Padahal degan sudah habis separuh, tinggal separuh.
Kutinggalkan degan dalam baskom di pojok kamar sendirian.
Bergegaslah ku mencari kemana rombongan penyanyi dadakan.
Kususuri kampung Pagesangan tak kutemukan, Kususuri perumahan Pagesangan Asri, tiada kujumpa pula. Kususuri gang-gang simowau tak kudapatkan adanya. Kucoba kulintasi perumahan Sepanjang Asri, hmmm........, tidak kulihat jua. Capek juga ya....
Di perempatan Sepanjang Asri kutemukan dua anak laki-laki usia di bawah lima tahun bermain kartu. Dilempar-lemparkan kartu itu ke atas. Berjatuhanlah kartu itu.
Sebagian terbang lalu jatuh saling menjauh. Sebagian jatuh di depannya.
“Mainan, apaan tuh, rek?” tanyaku.
“Main kartu, Mas!” jawab mereka berdua.
Gimana cara mainnya?” tanyaku.
Begini lho, Mas.” jawabnya.
Sambil menata kartunya dengan sungguh-sungguh dan senang mereka menjelaskan cara mainnya padaku.
Kemudian dilemparlah kartunya bergambar Naruto. Bila gambar Naruta yang tampak, tentu itu yang menang. Yang kalah pun dapat hadiah cubitan pipinya.
Aku coba mainkan. Sini kartunya.
Kutarik kartu dari genggaman sepuluh jarinya, sementara temannya memandangnya.
Kulemparkan beberapa kartu ke udara bebas.
Kini kartu itu beterbangan bagaikan sayap burung kemalaman. Tiba-tiba kartu yang jatuh dan nampak gambar Naruto adalah kartuku. “Heeee......, Aku menang....., Aku menang......!!!”
“Ayo sini, kucubit pipimu berdua. Sini..., mendekatlah......!!!” Mereka serahkan kedua pipi mulusnya. Kucubit pipi-pipi dua anak laki-laki itu sebagai pertanda mereka menanggung kekalahannya.
Asyik juga.
“Sekarang aku, Mas. Gantian yang main. Biar aku bisa nyubit pipimu.” sambil merengek mereka minta kartunya. Kuserahkan kartunya. Dilemparkan ke udara setinggi-tingginya. Kali ini sial kartu mereka dihempas angin kencang. Angin kencang tiba-tiba begitu datang. Gambar Naruto pun nggak kelihatan (nggak muncul). Mereka tak tahu bahwa penyebabnya adalah hembusan angin makin kencang. Kali ini kedua anak kecil tidak bisa mencubit pipiku.
Tak puas dengan itu. Aku tanyai mereka, jangan-jangan mereka tahu keberadaan pemain campur sarian tadi.
Aku pura-pura sok tahu padahal aku gak tahu dan sengaja untuk mendapatkan berita darinya.
Kamu tidak melihat kendhangan dan jogetan di sana ta?” tanyaku.
“Dimana, Mas? Wonk gak ada gitu, loh...!!! jawab mereka seraya membolak-balik kartunya dan menghitungnya.
“Di sana loh dekat lapangan pagesangan” jariku menunjuk ke arah lapangan.
 “Di lapangan Pagesangan tidak ada apa-apa, sepi mamprih kok, Mas! Aku baru saja dari sana jawab mereka serempak.
Rasanya aku benar-benar kehilangan informasi keberadaan kendhangan dan gong.
Cepat-cepat kutinggalkan dua anak kecil ini. Pencarianku gagal untuk mendapatkan informasi dari si kecil ini.
“Mas, kemana, Mas? Mau kemana lagi, Mas? Mau kemana lagi, Mas? Ayo main lagi, Mas!!! Mas..., main lagi, Mas!!!” teriak mereka memelas. Tak perlu kugubris. Aku belum puas melihat iringan musik kendhang, gong, dan lainnya pada sebuah gerobak kumal kuno.
Ku coba menyusuri blok-blok perumahan Simowau indah.
Di perempatan jalan masuk Simowau indah.
Nah, ini mereka semua. Kru pemain kendhang, gong, penjoget, dan penarinya berhenti di tempat ini.
Kutemukan rombongan kendhangan dadakan.
Kendhang mulai ditata, gong didekatkan kendhang, para penjoget siap-siap menari dan berjoget. Para penyanyi lagu jawa atau campur sarian sudah siap.

Sesaat kemudian ditabuhlah peralatan musiknya.
“Oooh...,Meriah sekali.
Sungguh meriah.
Banyak orang menyaksikannya.
Anak kecil yang semula kulihat di tempat sebelumnya kini tampak uyel-uyelan di sini juga.
Keberadaan mereka menyatu dalam kesyahduan gong tua kuno.
Tiga orang penari, diantaranya seorang berseragam celana dan baju biru dan bajunya berselempang kuning.
Orang kedua berseragam celana dan baju biru dengan selempang merah jambu.
Orang ketiga berseragam biru dengan berselempang warna orange dan kuning.

Seorang yang berseragam celana dan baju biru dengan selempang merah jambu lihai menari-nari dan jogat-joget.
Ia menampilkan joget dengan sesekali menampilkan gerakan kalajengking. Gayanya tampak jadul, sungguh menggambarkan mereka semua dari daerah terpencil.
Gerakan itu diikuti gerakan monyet.
Secepat itu pula gerakan berubah menjadi gerakan ular.
Kulihat mereka mahir memainkan gerakan itu. Perpindahan gerakan sangat luwes. Gerakan demi gerakan ia lalui tanpa kekakuan.

Lagu demi lagu dinyanyikan dengan iringan tarian dan jogetan oleh tiga orang tadi.
Pada gerakan rancak, kendhangan dimainkan dengan kecepatan sedang dan rancak. Sesaat itu pula seorang ibu tua di depanku berkaos hitam penduduk kampung Pagesangan sini asyik menonton dan mengikuti gerakannya dengan sesekali memegang pipi si bayi dalam gendongan ibunya.
Seorang ibu tua berkaos merah dengan bayi berbaju putih dalam dekapannya tak mau menoleh sedikitpun walau bayinya digoda oleh ibu tua. Ia ingin puas menyaksikan jogetan iringan campur sarian ala kampungan, ala Djawa Tempoe Doeloe.
Pada saat kendhang berbunyi “Dhunk” dan gong berbunyi “Dhunk” bebarengan itu pula ibu tua di depanku berkaos hitam kelam mencium pipi bayi laki-laki.
Saat bunyi “Dhunk” dua kali si ibu tadi pun serempak menciumi pipi bayi sebanyak dua kali.
Kulihat dhang-dhunk dhank-dhunk bunyi berulang-ulang sang wanita tadi menciumi bayi berulang-ulang pula. Ia menyerempakkan ciuman dengan tabuhan Gong Tua Kuno.
Berulang kali ibu tua itu menikmati ciuman pipi bayi yang bukan anaknya. Tak hanya itu pula ibu tua tadi menyerempakkan hentakan kaki dan tangannya saat mencium pipi bayi dan bunyi Gong tua kuno yang ditabuh lelaki usia di atas 70 tahunan. Kulihat sang bundanya memeluk erat bayinya sambil menggoyang-nggoyangkan tubuhnya, sementara bayinya mulai menggerak-gerakkan tangannya.
Ternyata ciuman dan nada Dhunk selalu bersamaan dengan hentakan kaki dan gerakan tangan mesra si ibu tua berpakaian hitam. Seolah ibu tua tadi memberitahuku bahwa sore ini harus melampiaskan ciuman pipi bayi laki-laki bersama kendhangan di tepi kali. Terkesan memerintahku harus mencium pipi bayinya seperti dulu aku mencium bayi laki-laki dalam dekapanku di tepi kali. Ia sungguh berharap aku menciuminya dan menebarkan ciumku pada setiap anak bayi laki-laki bukan hanya bayi laki-laki berkaos kuning bercelana pendek biru tepi kali Karangpilang Jalan Mastrip Kebraon Surabaya saja, namun untuk semua bayi laki-laki termasuk bayi laki-laki yang ia ciumi.
Ahhh……., aku jadi tersenyum dan sungguh teringat bayi laki-laki yang pernah dalam dekapanku rapat-rapat dengan ciuman bergantian mulai ciuman kakeknya teriring ciumku. Sayangnya tidak ada iringan musik yang menghiasi kemesraan ciuman kami pada bayi laki-laki halus mulus lembut putih suci seputih jenggot kakeknya, selembut kasih kakeknya. Aku ingat itu. Kulakukan itu karena hasrat mencium bayi laki-laki Karangpilang itu serasa seperti perintah langit, dan memang tidak pernah selama hidupku mencium bayi laki atau perempuan, ini kali pertama dalam hidupku.
Itulah ciumku pertama kali buat bayi laki-laki yang terlahir dari jazirah lembah subur nan teduh dalam pancaran bening  sungai Karang Pilang Jalan Mastrip Kebraon Karangpilang Surabaya.
Kucoba lupakan semua itu. Rasanya aku harus mengikuti tembang-tembang jawa yang mengalun.
Amboi…., sore itu sudah jam empat.
Tapi kendhangan di tepi kali Pagesangan berlangsung marak.

Kali ini tembang mulai dirubah dengan tembang melankolis. Irama kesedihan mulai mengalir.
Bayi laki-laki dan bundanya berhenti bergoyang, ibu tua yang semula asyik menyamakan gerakan tangan kakinya dan pipinya untuk diciumkan ke pipi bayi bersama bunyi Gong Tua Kuno kini tak bisa lagi menyerempakkannya.
Suasana di sekitarku tampak hening walau kendhang dan gong tua kuno bergetar sepuas-puasnya.
Lirik-lirik lagu jawa dilafalkan, dinyanyikan dengan penuh pilu.
Aku menyimak dengan cermat.
Terdengar lafal kesyahduan:
 Padhange mbulan ora iso madhangi atiku.
Padhange mbulan sanggup madhangi ndonya, nanging ora iso madhangi petenge atiku.
Nadyan padhang mbulan, atiku isik peteng dhedhet.
Nadyan wis suwe aku nembangi, atiku isik susah peteng jumbret.
Suwene mrana-mrene aku nggoleki, mung siji panyuwunku enggal rawuh pepingine ati.
Sungguh menyentuh perasaan tembang itu.

Teriring lafal-lafal syair tersebut yang dinyanyikan oleh penyanyi lelaki tua, kini lelaki lain berseragam biru berselempang kuning dari belakang menuju pertengahan alas terpal duduk bersimpuh di tengah terpal lalu berselonjor. Ia diam, termangu, menerawang dengan segala kelemahannya bagai mengharap kekuatan penguasa alam semesta. Datang seorang lelaki tua membawa kain batik ditutupkan kepalanya.
Pemimpin kendhang dan gong tua kuno membawa tumpukan bata. Diletakkan tumpukan bata pada kepalanya.
Tak lama, kendhang ditabuh kencang dengan irama cepat. Dikelilingi penari lain berikut atraksi sepontan main,  lompat, dan lari kejar-mengejar iringan musik dengan gerakan dan nyanyiannya.
Kulihat atraksi ini sudah dimainkan.
Aku makin larut dengan kendhang dan gong tua kuno yang bertalu-talu, namun perlahan mengiringi syair-syair kesedihan tersebut.

Usai lagu itu dimainkan.
Ganti tabuhan rancak lagi dan makin lama makin cepat.
Dua laki-laki yang njoget berputar-putar sejak tadi kini bagai gasing mengelilingi lelaki diam membisu dalam balutan sehelai kafan.
Pemimpinnya mengambil jeplakan, Jeplakan yang berbentuk ular dengan tubuh berbulu seperti bulu ulat dan ekor jeplakan memanjang ujungnya meruncing persis ekor kecil.
Kemudian…..
“Tharrr....!!!” bunyi jeplakan mengagetkan seluruh penonton. Lelaki yang berselonjor diam tunduk pasrah seperti dieksekusi oleh pembesar raja karena dosanya yang tak terampunkan. Ia lepaskan dunia ini dalam himpitan beban di kepalanya dalam balutan sehelai kain batik kafan.
Berikutnya pemimpin mendekatnya. Linggis dipegang kencang. Dipukulkan linggis itu sekuat-kuatnya ke tumpukan bata merah pada kepala lelaki.
Aaaa….…….!!!!” beberapa ibu di ujung selatan menjerit.
“Jangannnnnn........!!!” teriak seorang bunda di ujung sana sambil histeris menutup mukanya seraya menunduk ke bawah.
“Pyorrrrr..........!!!puing-puing kehancuran tumpukan bata di kepalanya melesat ke para penonton, sebagian puing-puing tampak berdebu beterbangan kian kesana kemari terbawa angin kencang.
Saat itu pula, kendhang dan gong ditabuh sekencang-kencangnya dengan tempo cepat sebagai penghabisan tabuhan kendhangan di tepi kali Pagesangan.
Kuingat rancaknya tabuhan ini pada penghujung irama kesedihan mirip musik india pengiring lagu india berjudul Mera Dhil Yee Pukare Aaja. Lagu yang mengiringi film India Naagin 1954.
SELESAI
                                                                TERIMA KASIH                           






All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)