Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Sunday, July 28, 2019

Sprinkling in Silence 24 (Percikan dalam Kesunyian 24) : An Ended Season (Semusim Berakhir)



SHORT STORY

AN ENDED SEASON
by Ikhsan
(This short story adopted from people life in a village)

SEMUSIM BERAKHIR
karya Ikhsan

Semusim usai terlewati tanpa kekasih di sisi. Buah pepaya yang kekasih sukai masih menggantung di pohonnya. Jangankan memetiknya, menyentuh pun tidak. Tak pernah disentuh dengan harapan kekasihlah sendiri yang datang tepat pada waktunya bisa memetik sendiri dan mencium aromanya. Itulah hadiah yang disiapkan mbak Rayem buat kekasih tercintanya setelah kepergiannya sekian lama.
Dengan harap-harap cemas mbak Rayem menanti kekasih segera hadir setelah lambaian terakhir menandai perpisahan. Tiada secuil surat pun yang ditinggalkan buat mbak Rayem, bahkan selama kepergiannya tiada selembar coretan-coretan kangen melayang ke pelukannya. Ia cuma puas dengan lambaian terakhir. Saat-saat paling mesra semuanya tetap dikenang selama dirinya tak bersua lagi dengannya. Biarlah semua orang menjadikan ketiadaan kekasih sebagai buah bibir di seluruh negeri. Mbak Rayem cuma teringat nasehat sesepuh, “Biarpun jauh adanya kalau cinta tetaplah dia bakal kembali menjadi milikmu.” Beserta doa dan harapan, mbak Rayem tetap yakin suatu ketika nanti sang kekasih bakal kembali lagi.’’
Janji suci nan putih mbak Rayem persembahkan buat kekasih tercinta sewaktu-waktu datang. Bukan ciuman mesra, bukan pula cium mulut rindu, bahkan bukan pula pelukan mesra yang ia tempelkan buat kekasih tercinta. Baginya cukup puas menyediakan buah pepaya yang sejak kecil hingga dewasa tetap taat pada ikatan tangkai buah yang kuat menggelantung pada pohonnya. Demikianlah cara tradisional mbak Rayem untuk menyambut kedatangan sang kekasih pujaan. Orang-orang di sekitarnya mengetahui harapan besar tersebut. Tak ketinggalan pula si Waring yang diam-diam memendam hasrat cinta pada kekasihnya Rayem pun mulai memperhatikan gerak-gerik Rayem. 
“Lihat tuh semusim usai sudahlah, kekasihnya tiada datang. Bisa-bisa pepayanya busuk tuh. Dasar kampungan!” celetuk seorang tetangganya. Mbak Rayem tidak menggubris celetukannya. Ia yakin kekasih pujaannya masih sayang padanya walau nun jauh di seberang laut. “Apalagi kalau bukan perawan barunya. Sudah sekian lama tiada kabar berita buatnya. Begitu saja kok ditunggu-tunggu. Rayem sendiri tak pernah menyadari bahwa dirinya tak cantik bahkan miskin lagi. Tak sadar pula baginya cinta yang ia sirami sesegar bayi mandi kini seperti selembar daun kering. Jelassss…., kekasihnya pergi tak kan pernah kembali lagi.” celoteh si Waring sambil memalingkan wajah dengan bibir di-plethot-kan.
Kemarau begitu panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Pepohonan di dusunnya mulai meranggas, sebagian tampak rantingnya kering-kerontang. Akan tetapi, mbak Rayem sangat rajin menyiram pohon pepaya yang dipenuhi buah pepaya dengan dinaungi rerimbunan daun. Daun yang sudah menua berjatuhan segera dibersihkan darinya. Pohon pepaya yang dipelihara dan dijaga mbak Rayem jauh lebih tegar dan kuat menghadapi keringnya kemarau yang melanda dan hembusan angin kencang nan panas. Siang itu ia cuma duduk di bawahnya sembari memandang jauh lepas sebatas mata memandang. Perasaan siapa yang tahan menerima kekeringan kasih sayang dari orang yang telah menyemai kasih, tetapi kini telah lama meninggalkannya. 
“Semusim berakhir, kemana wahai kekasih, 
betapa sedih menanti. 
Aku tetap menanti semusim lagi. 
Datanglah, ohh kekasih. 
Kemana ku cari kekasih yang t’lah pergi. 
S’moga engkau terlindungi. 
Sang mahakasih telah menumbuhkan kasih sayang kita berdua.” gumam mbak Rayem sendirian di bawah pohon pepaya yang menjulang lebih tinggi dari atap rumahnya.
Genaplah tujuh musim berakhir. Waktu yang dinanti-nanti tak kunjung pasti. Mbak Rayem mencoba mengusir kesunyian jiwanya dengan bekerja di rumah pak Bejo. Pak Bejo memang saudagar terkaya di kampungnya. Banyak perawan kampung dan janda kampung, bahkan ibu rumah tangga yang anaknya sudah besar beramai-ramai menjadi kuli penimbang padi, jagung, kedelai, dan berbagai palawija di kampungnya. Mbak Rayem kali ini ia bahagia dengan pekerjaan barunya. Sesekali ia tidak sunyi dari lambaian terakhir kekasih. Dialaminya keadaan ini dengan berat hati karena ia juga harus mengangkat sekarung jagung dengan teman sebayanya setiap hari.  Bayang-bayang tersunyi kini terkikis. Ia mulai menabung uang hasil kerja kerasnya. Beberapa keping rupiah dibelikan gaun cinta dengan motif kesukaan kekasihnya. 
“Grubyug bhugh bhugh dhugh…” suara tumpukan karung jagung ambruk dari tumpukannya. Sebagian karung berisi muatan jagung menjatuhkan dirinya dan menindih lengan kiri Rayem. ‘’Aaaaaaaa…….!!!!” Jeritan meronta terdengar. Semua temannya histeris menjerit di gudang tumpukan jagung. Apa daya malang tak dapat ditolak, untung tak dapat direguk, petaka t’lah datang pada saatnya. Mbak Rayem pingsan dan tergeletak, tangannya patah. Rekan di sekelilingnya membopong mbak Rayem yang terkulai gulana.
Beberapa hari mbak Rayem terpaksa menjalani perawatan. Ia hentikan segala pekerjaannya. Rona penderitaannya menggores tajam.  
Kini mbak Rayem mulai sembuh namun tangannya sudah patah tak dapat kembali seperti sedia kala. Kecantikannya sudah berkurang dengan ditandai bengkoknya tangan. 
Ia mulai bekerja lagi. Pagi itu ia sambut dangan langkah tergopoh-gopoh menuju rumah pak Bejo di ujung kampung di tepi jalan raya. Semua penduduk kampung yang memasuki kampung pasti melalui depan rumah pak Bejo. 
Saat ia dan temannya bekerja di gudang tepi jalan, mobil dengan beberapa orang di dalamnya melaju kencang. Desing mesin mobilnya terdengar keras, menderu sampai dalam gudang, apalagi desing mesin dan derumnya terpantul oleh langit-langit gudang. Tentu saja ini mengagetkan para pekerja termasuk mbak Rayem. Namun semua pekerja tak tahu siapa di dalam mobil tersebut. Mereka mulai mengalihkan pandangan dari desing mesin yang baru saja mengagetkannya.
Sore itu pekerja pun mulai pulang. Mobil yang sedari tadi membuat kepikiran mbak Rayem ternyata dilihat olehnya. Kekasih pujaannya yang menyetiri mobil tersebut. Alangkah kagetnya mbak Rayem. Kekasih pujaannya kini telah berdua, ia bergandeng tangan dengan perawan yang baru disuntingnya. Kekasih pujaan pun tidak menyapa mbak Rayem dengan gaya perilakunya yang seolah-olah tidak kenal bahkan merasa sudah lupa. Mbak Rayem tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia coba menenangkan pikiran dan perasaannya. Namun perasaannya tetap saja masih dihantui ketidakpastian antara ya dan tidak.
Dag dig dug jantung berdegup, Mbak Rayem dengan tangan bengkok dan gaun kesukaannya menyapa kekasih pujaan. Mbak Rayem berkata,”Mas, itu masih tergantung di pohonnya. Ambillah….! Semusim berakhir buah pepaya itu tumbuh terus, aku pun menjaganya. Hingga terhitung tujuh musim kepergianmu telah menyisakan kerinduan yang menggoda setiap malam-malam tiba. Tujuh musim aku menjaga pohon pepaya dan buahnya bersama rinduku padamu. Selama tujuh musim aku tidak pernah meninggalkan kampung ini. Menantimu di sini. Di sini tergantung pepaya kesukaanmu dulu. Aku sediakan untukmu karena kesukaanmu. Sekarang ambillah, Mas. Saatnya engkau menikmatinya. Akulah Rayem yang dulu kekasihmu.” ucap mbak Rayem dengan tatapan bahagia dan penuh harap mesra. “Ahh…, kalau itu banyak. Kau tidak usah repot-repot menyediakan buah pepaya buatku. Perawan yang sudah kusunting telah menyediakan banyak buah untukku dan semuanya masih segar bahkan aromanya sungguh kuharapkan.” jawab kekasih pujaan. 
Seketika itu mbak Rayem lemas tak bergairah. Betapa kecewanya. Ia tak berkata sedikitpun. Derai air mata membanjiri sekujur tubuh. Ia bangkit lalu pergi, tak kuasa mengusap linangan air mata dengan lari sekuat-sekuatnya meninggalkan kekasih pujaan yang kini telah berdua. Cinta meronta-ronta bagai disayat sembilu. Semusim berakhir hingga berganti musim lagi, nyatanya cinta itu berlalu hancur lebur. Riak gelombang hidup memupus rindu yang menggebu. Tujuh musim berakhir bersama ranting kering yang terhempas angin, tak mungkin bersemi lagi menghadapi kemarau rindu.


S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Kangen = rindu.
Grubyug bhugh bhugh dhugh = suara beban berat yang terjatuh dari tumpukan ke lantai tanah.
=============================

SEMUSIM BERAKHIR
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

SEMUSIM BERAKHIR
Diambil dari kisah kehidupan rakyat desa
Lokasi Peristiwa : Sidoarjo, Indonesia, 2015.
Kejadian: tanggal 28 Juli 2015
Ditulis di Surabaya, 28 Juli 2017.
Dipublikasikan pertama kali di Blogger 
Dipublikasikan pertama kali pada hari Sabtu, 28 Juli 2019

Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika di perguruan tinggi swasta (2019).
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di Ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA (2019)
Penulis masih aktif menyusun syair.




All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)