Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Saturday, August 27, 2022

Sprinkling in Silence 28 (Percikan dalam Kesunyian 28); Dapat Lisit, Kang Dirjo Senyum-Senyum

 


 Short Story

Cerpen


DAPET LISIT, KANG DIRJO SENYUM-SENYUM.

 Gubahan Ikhsan

(Ikhsan Falihi, Penyair Pinggir Kali)


(Hasil Wawancara Saya Ikhsan kepada Seorang Supranatural yang Sudah Ritual di pesarean Eyang Djugo di Gunung Kawi Malang)

Pertama kali dipublikasikan di status Whatsapp pada tanggal 9 Agustus 2022 pukul 15.57 WIB

[09/08/2022; 15.57]



BAGIAN I:


[9/8 15.57] Ikhsan,penyair Pinggir X:

Gelegar Pesarean Eyang Djugo di gunung Kawi Malang tak hanya membangkitkan jiwa rakyat jelata yang haus karena kekeringan, tetapi juga mampu mengetuk kalbu Kang Dirjo (nama samaran) yang sudah lama menggeluti dunia paranormal dan supranatural.

Di usianya yang beranjak senja di tahun 2022 ini Kang Dirjo masih berapi-api menuturkan kisah-kisah silam dari yang temaram hingga yang cemerlang.


[9/8 16.02] Ikhsan,penyair Pinggir X: 

Hari itu adalah hari baik bagi Kang Dirjo.

Beliau mengajak kedua kawannya yang juga sekian lama pingin berdoa di Pesarean Eyang Djugo. Gayung bersambut, dua kawannya yang sekian lama dilanda kemiskinan menerima ajakan dengan hati berbunga-bunga. Berharap banyak kejatuhan buah Dewandaru dan daun Dewandaru dari pohon yang berdiri tegak mengiming-imingi setiap peziarah. 

Kang Dirjo yang lihai menyetir mobil ini mengusung dua kawannya ke Gunung Kawi dengan kecepatan yang tak normal.


[9/8 16.17] Ikhsan,penyair Pinggir X: Sesampai di parkiran Eyang Djugo Gunung Kawi dengan langkah tergopoh-gopoh kang Dirjo melintasi beberapa rumah penduduk di kiri kanan jalan menuju pesarean. 

Tak lupa juga tiga sosok manusia ini membeli bunga dan dupa untuk ritual di pesarean Eyang Djugo.

Biasanya para peziarah membeli bunga satu bungkus untuk satu porsi peziarah.

Namun bukan kang Dirjo kalau nggak pintar ngakalin. Dari Dulu kang Dirjo memang cerdas, pintar, dan banyak akal.


[9/8 16.20] Ikhsan,penyair Pinggir X: Beliau cukup membeli sebungkus bunga lalu dibagi menjadi tiga bagian. Tiap bagian dibungkusin sendiri-sendiri dengan daun pisang.


[9/8 16.27] Ikhsan,penyair Pinggir X: Huhhh..., busyett bangettt kang Dirjo ini.

Kok melas banget.

Pandainya super ngirit.

Dua kawannya ibarat "wong lara golek tamba" sudah tak kuasa lagi menikmati hijau, biru, merah, oranye, dan kuning di langit gunung Kawi. Apalagi kalau bukan kemiskinan yang menutupi panorama kemolekan gunung Kawi. Angannya dibayang-bayangi nafsu pingin dapet rejeki nomplok. Konon kabarnya ketiban rejeki nomplok di makam Eyang Djugo itu hanya ditandai dengan kejatuhan buah dewandaru dan daun dewandaru.

[9/8 16.31] Ikhsan,penyair Pinggir X: Udah nggak sabar lagi rasanya. Dua kawannya juga pingin dapet nomer togel dari pohon Dewandaru. Maklumlah puluhan tahun silam juga marak togel yang mengelilingi kehidupan dua kawan tersebut. Sebut saja dua kawan itu Ceplot dan Gandrem (nama samaran).



BAGIAN II:


Tiga pasang kaki anak manusia itu sebut saja kang Dirjo, Gandrem, dan Ceplot benar-benar menginjak lantai di pintu masuk ruang bagian luar pesarean Eyang Djugo Gunung Kawi di malam itu. Sudah tak terhitung berapa banyak para peziarah yang berdesakan. Memang, malam itu adalah malam keramat buat para peziarah. Malam yang memunculkan aura gaib bertabur mistik menyemai nasib hoki. Ini yang dinanti-nanti para pengharap kekayaan melimpah ruah dan keberuntungan. Tak luput dari desakan banyak peziarah yang rebutan untuk segera bisa masuk mendekat ke pesarean Eyang Djugo.

Tapi apa boleh buat di bagian ruang luar dekat pintu masuk sudah penuh sesak orang.

Mimpi-mimpi Gandrem dan Ceplot sebentar lagi terealisasi. Kaya mendadak, hidup enak gelimang harta, dan disanjung-sanjung orang sekelilingnya karena kaya-raya.

Tabir dari kain mistis masih menghalangi semua peziarah meski mereka sudah di ruang pesarean. Juru kunci belum menyingkap tabir rejeki. Peziarah pun harus menunggu datangnya bisikan gaib yang memerintah kapan juru kunci menyingkap tabir rejeki berbuai mistik.


Gandrem dan Ceplot yang pertama kali berziarah tampak takjub dengan orang di sekitarnya. Di kiri kanan Ceplot banyak etnis China. Begitu pula di muka dan belakang Gandrem uyel-uyelan etnis China. Belum lagi aroma kemelun dupa dan semerbak wewangian kembang di genggaman peziarah menambah mistik pesarean Eyang Djugo. Gandrem dan Ceplot semakin yakin akan mimpi-mimpi suci mengakhiri miskin. Aroma kemelun dupa mengubah atma serasa kaya mendadak. Semerbak wewangian kembang menguras khayalan dan derita silam buat Gandrem dan Ceplot.

Pusara Eyang Djugo bagai impian naungan napas kehidupan. Betapa abadi terpendam di jiwa, raga, rasa, dan sukma peziarah.


Tak seberapa lama penantian Kang Dirjo, tiba-tiba tabir mistis tersingkap. "Grudug, grudug.., grudug…, byugg…!!!" suara kaki orang dewasa yang berebut berlari hingga merangsek ke nisan pesarean Eyang Djugo tatkala tabir rejeki kain mistik disingkap. Karpet mewah empuk bagai istana raja menimbulkan suara berat bila diinjak orang dewasa.

Gandrem dan Ceplot ikut gembrudug lalu jongkok hingga merunduk sembah sungkem ke Eyang Djugo. "Byug byug byug" suara riuh tubuh pasrah ambruk dengan penuh rindu mengadu.

Kali ini Gandrem dan Ceplot merunduk-runduk menyembah ke kuburan tua yang menjanjikan berjuta gelimang harta. Entahlah sejak kapan para peziarah pasrah dalam pengharapan di kuburan tua.


Udah lama terlanjur kejerat hutang dan kelilit miskin lagian sepi kerjaan, Gandrem dan Ceplot berharap banyak dari sembah sungkem ke pusara Eyang Djugo. Laksana naungan buaian atma, terkubur impian terwujud keabadian gelimang harta tak putus di setiap detak napas permohonan.

Keduanya komat-kamit mencurahkan segala isi hati. Tak satu pun permintaan terlupa.

Kang Dirjo yang sudah berkali-kali sowan ke pasarean Eyang Djugo kali ini nggak banyak minta sehingga cukup sebentar merunduk-runduk ndlosor (tengkurap). Akhirnya wajahnya diangkat dari lantai kuburan. Hanya wajah kang Dirjo yang mendongak dari semua peziarah dalam posisi merunduk dan ndlosor.

Betapa kagetnya kang Dirjo...., wajah kang Dirjo tepat di belakang orang China yang celana pendeknya melorot. 

Kang Dirjo melihat LISIT lelaki China tampak jelas, burungnya tampak nggelantong gemandhul. "Hummmmmm……, harummm….., rezekiku……" gumam kang Dirjo sembari melotot matanya ke arah lisit dan burung gemandhul pada pantat lelaki China di depannya.

Kali ini kang Dirjo dapet LISIT dan Kang Dirjo pun senyum-senyum manggut-manggut seraya bergumam dalam hati bahwa ini pertanda baik dan rejeki bagiku. "Owh, bahagianya hatiku. Rejekiku nomplok." desir hati kang Dirjo.

Anehnya, tiada seorang pun yang memelorotkan celana pendek lelaki China dewasa tapi ini nyata terjadi. 

Entahlah, kekuatan gaib manalagi yang melakukannya.


Lebih aneh lagi si empunya lisit dan burung ngglantong sangat khusyuk dalam doanya dan sangat mesra berbicara kepada Eyang Djugo.


Sementara beberapa orang China di depannya ada yang ndlosor (tengkurap) sambil meminta-minta Eyang Djugo, Dan beberapa orang China yang lain merunduk sambil menangis minta cepat kaya-raya dan punya penglarisan. 


Begitu pula Gandrem dan Ceplot ulahnya sama dengan orang China di depannya. Kelihatannya Gandrem dan Ceplot tak sadar diri dalam komat kamit dengan isak tangis. Mereka sangat larut dalam lautan munajat di balik temaram malam gunung kawi.

Kabut gunung saksi bisu atas munajat dua anak manusia, Gandrem dan Ceplot. Dinginnya malam itu berselimut kabut gunung sungguh tak mampu mendinginkan impian beserta angan Gandrem dan Ceplot yang terbakar hasrat cepat kaya-raya. Keduanya sudah menceburkan diri ke dalam segara keramat pada kuburan tua. Mereka begitu masyuk dipukul riak gelombang. Deburan ombak sedang memercikkan air kekayaan yang diyakini menaburi nasib hoki. 


Melihat pemandangan aneh dari biasanya, kontan saja kang Dirjo menyenggol Gandrem dan Ceplot untuk melihat lisit di depannya. Tiba-tiba terdengarlah,"Jancuk…, jancuk…., jancuk lisit….., lisit…., lisit…., bau apek apek apeg… , belum apa-apa udah dapet lisit. Huuuhhh…." 

Secepat kilat kang Dirjo membisikki telinga Gandrem,"Hussy, diam…, ini pertanda baik bagi kita. Kelak kedepannya kita hidup bersama orang China dan bisa berbisnis erat dengan konglomerat China. Lisit itu rahasia China. Kalau kita melihat lisit mereka dalam ritual ini berarti kita kelak mendapat rahasia bisnis China."

Kontan saja Gandrem diam seribu bahasa, hanya saja wajahnya berubah menjadi sumringah dan tersenyum. Kang Dirjo pun berucap,"Ehmm, hmmm, sedaaaap haruuuum harum harum."

Kang Dirjo yang pandai meramal dan ahli tafsir wangsit gaib menafsirkan bahwa melihat lisit China dan burungnya nggelantong gemandhul pada saat sembah sungkem dan ritual di pesarean Eyang Djugo terutama sewaktu ritual merunduk ndlosor sebagai pertanda pasti meraih hoki dan kelak bisa bermitra dengan pebisnis China bahkan bisa sehidup semati dengan pebisnis China.


Kini Gandrem dan Ceplot mulai mengerti tafsir wangsit gaib dari apa yang baru saja dilihatnya. Sudah dapet lisit, mereka bertiga tersenyum-senyum.

Mereka pun bergegas meninggalkan pusara Eyang Djugo menuju pohon Dewandaru untuk bertapa sesaat agar bisa kejatuhan buah Dewandaru atau daun Dewandaru yang jatuh sendiri.



BAGIAN III:


Sudah sekian abad pohon Dewandaru masih ikhlas memayungi setiap peziarah yang berteduh di bawahnya. Helai demi helai daun menghapus perasaan gundah-gulana yang mendera para peziarah. Bahkan pohon ini kerap menjatuhkan buah dan daunnya bagi peziarah yang ketiban kemujuran dan keberuntungan.

"Ayo cepat menuju pohon Dewandaru…!!!" pinta Gandrem. Sementara Ceplot masih terbayang-bayang Lisit dan burung nggelantong gemandhul.

"Udahlah, jangan keburu-buru. Kita udah dapet Lisit dan burung nggelantong gemandhul. Itu pertanda baik dan rejeki bagi kami. Lihat saja nanti kita pasti ketiban daun Dewandaru atau buahnya." ucap Ceplot dengan sangat yakin dan percaya diri.

"Kita buktikan saja nanti. Apakah tafsir wangsit gaib dari kang Dirjo bisa kita percaya kebenarannya." celetuk Gandrem setengah ragu.

"Huhhh, kamu. Masih saja ragu pada kehebatan supranatural kang Dirjo." komentar Ceplot.

"Tapi kita harus kejatuhan buah Dewandaru atau daun Dewandaru." kata Gandrem.


"Percayalah kita pasti kejatuhan buah itu atau daunnya. Sebab isyarat baik udah kita terima. Ingat itu… , wangsit gaib udah berpihak pada kita. Bukankah kang Dirjo udah menafsiri wangsit gaib tadi." celetuk Ceplot.


Mereka pun sudah tiba di bawah pohon Dewandaru. Apa boleh buat terali besi yang tegar perkasa membentengi pohon Dewandaru. Siapapun tak bisa menyentuhnya.

Para peziarah hanya bisa berkerumun di samping terali tersebut tapi masih di bawah pohon Dewandaru.

Andai pohon Dewandaru tidak dipagari mungkin saja Gandrem dan Ceplot mencium memeluk erat pohon Dewandaru dan pelukannya lebih mesra dari pelukan istrinya.

Tapi sayang seribu sayang, terali yang kuat, tegar, dan gagah perkasa melindungi pohon Dewandaru dari sentuhan tangan peziarah.


Semua peziarah yang menunggu kejatuhan buah Dewandaru atau daunnya pada duduk-duduk santai di samping terali yang melindungi pohon Dewandaru.

Ada yang sudah seharian penuh tapi belum kejatuhan apapun. Ada yang sudah tiga hari tapi masih nihil. Bahkan beberapa di antara mereka sudah berdiam di bawah pohon Dewandaru selama satu minggu namun masih kosong dari arti.

Tak beranjak dari tempatnya selagi belum kejatuhan buah Dewandaru atau daun Dewandaru.


"Wushhh…, " sepoi angin terasa, makin lama makin bertiup agak kencang dikit di sekitaran pohon Dewandaru. Anehnya, tak sehelai daun yang menancap pada tangkainya enggan bergoyang sedikit pun.

Temaram malam tak kuasa mengusap bayang-bayang derita Gandrem dan Ceplot.

Sesekali Ceplot memandang ke atas. Yang nampak hanyalah awan hitam bergulung-gulung disapu kabut.

Diselingi kelap-kelip bintang di langit gunung kawi menggoda imajinasi Ceplot. Kilauan sinarnya bak pendar-pendar emas, intan, dan permata yang dikejar-kejar tapi masih menggantung tinggi di langit. Maksud hati ingin meraih, apa daya tangan Ceplot tak sampai. Secepat kilat kilauan sinar cemerlang bintang di langit tinggi itu berpindah ke daun Dewandaru. Kini sinar terang daun Dewandaru menerangi mimpi-mimpi suci Ceplot. Ceplot pun sungguh termangu-mangu.

Dingin malam kian menusuk-nusuk kulit tak lagi dirasa. Aduh, rupanya hawa dingin kering cemlekit menandai kemarau begitu panjang yang tak mampu dibelah.

Tapi impian Ceplot tak rapuh sedikitpun.

Sementara kang Dirjo masih asyik membaca-baca mantra-mantra keramat sambil menunggu ketiban rejeki nomplok.

Wajahnya sesekali menengadah ke atas setengah sunyi. Kedua tangannya terangkat ke atas menggapai impian pada malam keramat.

Tiba-tiba terdengarlah,"Dhugh… !!!" suara keras itu terdengar dari kepala kang Dirjo yang terbentur buah Dewandaru masak yang jatuh. 

Buah itu jatuh ke tanah setelah membentur keras kepala kang Dirjo.

Beberapa lelaki China yang berada di dekat kang Dirjo mencoba merebut buah Dewandaru tersebut. Tapi sayang sekali, buah Dewandaru itu berhasil direbut kang Dirjo. Yang ketiban rejeki nomplok adalah kang Dirjo, tentu rejeki itu tak kan lari kemana sekalipun itu direbut orang.


Kang Dirjo tersenyum sambil mengelus-elus dan menciumi buah Dewandaru. Tanpa banyak kata buah itu langsung disantap kang Dirjo. Ohh, manisnya bukan kepalang. Lezatnya merasuk ke sumsum tulang.

Para lelaki China yang berusaha merebut buah tersebut hanya termangu-mangu menatap kang Dirjo makan buah Dewandaru.


"Ah, ini bohong. Lhah wong aku di samping pohon Dewandqru kok bisa kejatuhan buah Dewandaru. Nggak masuk akal. Nggak mungkin ini. Tadi mengenai kepalaku dari samping seperti dilempar orang dari kejauhan. Hahhh, ini cuma akal-akalan orang sini. Jangan-jangan aku kena tipu. Sengaja buah ini dilemparkan orang dari kejauhan. Awas nanti aku tipu sendiri. Jangan coba-coba menipuku." kang Dirjo setengah tak percaya dengan kejadian yang menimpa dirinya diliputi rasa kesal.

Dasar kang Dirjo yang bandel, cerewet, rewel, dan banyak akal masih saja asyik kremas-kremus mengunyah buah Dewandaru meski nggak percaya kalau buah tersebut jatuh sendiri dari pohonnya.


Tak seberapa lama makan buah Dewandaru, kang Dirjo didatangi oleh juru kunci (Kuncen) pesarean Eyang Djugo.

Kuncen tersebut mengatakan bahwa seseorang yang sudah ketiban buah Dewandaru harus melanjutkan ritual khusus ke pusara Eyang Djugo.

Kang Dirjo yang sudah berkali-kali ziarah ke pesarean Eyang Djuga dan berprofesi supranatural ini mengikuti ajakan juru kunci. Kang Dirjo dibimbing juru kunci untuk ritual khusus di pesarean. Di setiap pojok pesarean kang Dirjo diharuskan menyembah-nyembah tujuh kali ke Eyang Djugo. Itu pun berlangsung dengan mengelilingi pusara beberapa kali.


Setelah itu kang Dirjo diminta membayar uang tiga setengah juta rupiah untuk membeli wedhus kendhit sebagai persyaratan selamatan. Saat itu harga wedhus kendhit kecil masih sekitar tiga setengah juta rupiah. Kemudian bulan berikutnya (bulan pertama) kang Dirjo harus membayar uang tiga setengah juta rupiah untuk membeli wedhus kendhit sebagai persyaratan bancaan dan ritual lanjutan.

Kemudian pada bulan kedua kang Dirjo harus membayar uang tiga setengah juta rupiah untuk membeli wedhus kendhit lagi sebagai persyaratan bancaan dan ritual lanjutan.

Berikutnya pada bulan ketiga kang Dirjo harus membayar uang tiga setengah juta rupiah untuk membeli wedhus kendhit lagi sebagai persyaratan bancaan, ruwaran,  dan ritual lanjutan pada bulan ketiga. Pada bulan ketiga inilah rangkaian ritual sudah kelar semuanya.

"Lhoh pak, katanya sumbangan sukarela kok dipatok harus membayar uang tiga setengah juta rupiah. Kok memaksa sih. Kan sukarela, katanya seikhlasnya, seikhlasnya berarti suka-suka saya dong." bantahan kang Dirjo yang mulai jengkel, cerewet, dan rewel.

"Ahhh, ndak bisa. Harus membayar uang tiga setengah juta rupiah untuk membeli wedhus kendhit sebagai persyaratan bancaan dan ritual lanjutan." pungkas Kuncen dengan tegas.

"Saya nggak punya uang sebanyak itu. Ini saja uang seratus ribu rupiah dari saya secara ikhlas sukarela" tawar-menawar kang Dirjo tak terhentikan dan berusaha menipu.

"Wahhh, untuk selamatan dan bancaan kok uang segitu, ya kurang… " jawab Kuncen.

Kang Dirjo dan Kuncen mulai perang kata-kata perihal bancaan. Mereka pun eyel-eyelan, ngotot-ngototan.

"Aku juga supranatural, paranormal. Jangan menipuku. Aku tadi merasakan kamu yang melempar buah Dewandaru, bukan kejatuhan kok. Kalau buah Dewandaru itu jatuh sendiri jelas tidak mungkin mengenai kepala samping dan tidak mungkin arahnya dari samping. Sekarang aku ganti menipu kamu. Rasakan tipuanku." kang Dirjo mulai kesal dan jengkel. Kini kang Dirjo mencari akal dan cara menipu Kuncen.


Tak puas dengan arahan dan permintaan Kuncen, kang Dirjo pamitan untuk kencing ke toilet padahal sesungguhnya beliau tidak kencing.

Kali ini kang Dirjo benar-benar beraksi menipu Kuncen dengan pura-pura ke toilet untuk kencing. Saat itu toilet masih di dekat pesarean Eyang Djugo (letaknya tidak berada jauh di bawah pesarean Eyang Djuga, tidak seperti keberadaan toilet sekarang).

Sambil melihat-lihat sekelilingnya, jangan-jangan ada Kuncen yang mengawasinya, kang Dirjo mulai hati-hati dan waspada keluar dari toilet dan berusaha keluar dari area pesarean Eyang Djugo. Di balik kerumunan dan uyel-uyelan peziarah, kang Dirjo menyelinap di antara peziarah untuk meloloskan diri dari kejaran Kuncen. Kali ini kang Dirjo berhasil menipu Kuncen (Juru Kunci).


Bukan kang Dirjo kalau nggak pandai ngakalin dan mahir menipu orang yang dijebaknya.

Sementara itu Gandrem dan Ceplot yang sudah lama menunggu di bawah pohon Dewandaru tersenyum kegirangan.

"Terima kasih Eyang Djugo, saya sudah kejatuhan daun Dewandaru." ucap Gandrem.

"Lihat tuh serat-serat daun Dewandaru ini kalau dibaca sama dengan angka dua satu. Wah, ini pasti nomor hoki. Nomor keberuntungan yang keluar pada togel nanti. Ayo cepetan beli nomor dua satu biar kita kaya mendadak." celetuk Ceplot.

Dasar Gandrem dan Ceplot yang pikirannya dan jiwa raganya sudah dirasuki nomor togel sejak awal.


"Hei, hei, ayo mulih. Ayo pulang, cepat! cepatlah!" suara panggilan itu mengagetkan Gandrem dan Ceplot yang rembugan bakal beli nomor togel dua satu.

Rupanya suara itu adalah suara kang Dirjo.

"Ada apa kang Dirjo kok mengajak kita pulang."

"Ya, udah. Jangan banyak nanya. Kita ngikut kang Dirjo aja."


Mereka melangkah tergesa-gesa menuju kang Dirjo.

"Kami kejatuhan daun Dewandaru, kang Dirjo." kata Gandrem.

"Wah, hebat tuh. Bisa kaya mendadak." sahut kang Dirjo.

"Aku baru saja berhasil menipu Kuncen. Aku dimintai uang tiga setengah juta rupiah, tapi aku menolak. Ayo cepat keluar dari pesarean Eyang Djugo." cerocos kang Dirjo.

Kang Dirjo mulai meninggalkan pesarean Eyang Djugo. Di perjalanan menyusuri lorong kampung gunung kawi Gandrem dan Ceplot bertemu serombongan orang satu bus yang mereka kenal. Gandrem pun menceritakan daun Dewandaru ke seluruh rombongan bus yang sudah dikenal.

Akhirnya, seluruh peserta rombongan memutuskan beli nomor togel dua satu.

Pagi itu pengumuman pemenang togel tersiar bahwa nomor togel dua satu keluar di urutan pertama. Wah, spontan Gandrem dan Ceplot mendapat uang lebih dari 50 juta rupiah. Waoh, uang yang sangat besar sekali untuk ukuran waktu

itu yang harganya wedhus kendhit masih sekitar tiga setengah juta rupiah.


Gandrem dan Ceplot pulang dari pesarean Eyang Djugo gunung kawi dengan membawa uang 50 juta rupiah lebih.

Sedangkan semua peserta rombongan yang cuma beli nomor togel murahan gara-gara tidak yakin nomor dua satu bakal tembus itu berhasil mengantongi uang 5 juta rupiah per orang.


Di balik derai air mata bahagia dan canda tawa serta sorak-sorai penumpang bus, tiba-tiba terdengarlah,"Dhorrrrrr…..!!!" suara ledakan keras dari bawah bus yang melaju sangat kencang di jalan raya aspal.

Sang kondektur pun mengeluh,"Aduh, ban mbledhos…." 

"Ngene iki gara-gara ditumpaki wong teka gunung Kawi." marah-marahnya kondektur.

"Gara-gara teka gunung kawi ngene iki." celometan kondektur yang menyalah-nyalahkan peserta rombongan gunung Kawi.


"Hmmm…., wong ban mbledhos kok sing disalahno gunung Kawi. Opo hubungane ban mbledhos karo Gunung Kawi? Repot wong situk iku." sewot Gandrem. Sedangkan Ceplot sibuk sendiri menghitung-hitung fulus untuk bayar hutangan dan membeli baju baru buat anak istri.


Peserta lainnya cuek, tidak menggubris ban mletus. 

"Emangnya gue pikirin. Mau ban mbledhos kek, ban muser lah, ban cemetlah. Masa bodoh, ahh. Ndak ada urusan. Itu bukan urusanku. Itu mah urusan kondektur. Kita udah bayar penuh pulang pergi sebelum berangkat ke gunung Kawi. Maunya terima beres sampai rumah." gerutu peserta yang lain. Meski rasa jengkelnya kondektur semakin memuncak, para peserta rombongan bus semakin tidak menggubris.

Mereka asyik menghitung-hitung fulus setelah berperas keringat dan berlelah-lelahan. Sudah waktunya menikmati hasil jerih payahnya dari pesarean Eyang Djugo gunung Kawi.


Dalam pada itu kang Dirjo mendapat telpon mendadak dari pebisnis China. Pebisnis tersebut mengajak kang Dirjo untuk join dalam mendirikan CV. Gandrem dan Ceplot ikut menanam investasi bisnis China. Mereka berdua ikut gabung mendirikan restoran "Chinese Seafood".

Nasib hoki Gandrem dan Ceplot ditandai dengan mendapat lisit dan burung nggelantong gemandhul pada pantat lelaki China saat ritual sembah sungkem merunduk-runduk ndlosor di pesarean Eyang Djugo gunung Kawi Malang. Sekarang tafsir wangsit gaib dari kang Dirjo menjadi kenyataan, Gandrem dan Ceplot mulai hidup bergelimang harta.



~ S E L E S A I ~


TERIMA KASIH


=============================

KOSAKATA

=============================

Beberapa Istilah:

Dapet = mendapat.

Lisit = silit, dubur manusia.

Ngakalin = mengakal-akali.

Pingin = ingin.

Melas = memelas.

Wong lara golek tamba = orang sakit mencari obat.

Gembrudug = berbondong-bondong dengan injakan kaki ke karpet tebal empuk mewah hingga menimbulkan suara injakan kaki.

Sowan = mengunjungi.

Burungnya = penisnya, kelamin laki-laki.

Nggelantong = menggelantung, menggantung pada tempatnya.

Gemandhul = menggandol-gandol.

Ndlosor = merebahkan diri dengan tengkurap, telungkup.

Ketiban = kejatuhan.

Rejeki nomplok = rejeki yang datang melekat kepada seseorang dengan cara tidak diduga-duga.

Wedhus kendhit = kambing hitam semua warna tubuhnya dan bulunya dengan dibalut bulu putih melingkar penuh yang mirip kain putih dari punggung ke lambung secara melingkar penuh.

Mbledhos = meletus dengan keras.

wong situk iku = orang yang satu itu.

Muser = berputar-putar.

Cemet = peyok menipis dan memipih.

Cepetan = cepat-cepat.

Opo hubungane = apa hubungannya.

Ngene iki = begini ini.

Ditumpaki = dinaiki.

Wong teka = orang yang datang dari.

=============================


DAPET LISIT, KANG DIRJO SENYUM-SENYUM.

Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd

(Ikhsan Falihi, Penyair Pinggir Kali)

Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.


DAPET LISIT, KANG DIRJO SENYUM-SENYUM.

Ditulis di Sidoarjo pada hari Senin Wage,1 Agustus 2022.

Peristiwa terjadi pada hari - , sebelum tahun 2010.

Lokasi: Di Pesarean Eyang Djugo Gunung Kawi Malang.

Diambil dari kisah kehidupan tiga anak manusia yang sudah melakukan ritual di Pesarean Eyang Djugo Gunung Kawi Malang. Beliau dengan nama samaran kang Dirjo, Gandrem, dan Ceplot.

(Hasil Wawancara Saya Ikhsan kepada Seorang Supranatural yang Sudah Ritual di pesarean Eyang Djugo Gunung Kawi Malang)


Pertama kali dipublikasikan di status Whatsapp pada hari Selasa Pahing, 9 Agustus 2022 pukul 15.57 WIB.


Dipublikasikan pertama kali di Blogger Ikhsan Falihi http://ikhsanfalihi.blogspot.com

pada hari Sabtu Kliwon, 27 Agustus 2022 pukul 08:21:00 malam hari WIB.


Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006

Penulis masih aktif menjadi pengajar matematika dan instruktur matematika.

Penulis adalah cerpenis dan penyair.






All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)