Saturday, September 2, 2017
Sprinkling in Silence 23 (Percikan dalam Kesunyian 23) : A Beam of Hope (Seberkas Harapan)
9/02/2017 03:36:00 PM
Kisah Sunyi
A BEAM OF HOPE
SEBERKAS HARAPAN
Written by Ikhsan, M.Pd.
Karya Ikhsan,
M.Pd.
Kisah
Sunyi selama Perjalanan di Kota Bunder, Gresik – Surabaya - Terminal Purabaya – Masjid Al Akbar
Surabaya
Malam itu sungguh penuh
rindu. Dari Pojok Bunder Gresik daku turun dari bemo. Daku sebrangi lalu lalang
kendaraan yang merayap membujur dari Gresik Ke Semarang. Padat merayap arus
kendaraan dah tak terbayangkan. Di sini aku harus menunggu mana waktu berlalu.
Di sini pula setiap waktu daku mengharap segera tiba di kota Surabaya.
Daku berdiri tegak di
tepi jalan raya ini, di kota Bunder Gresik. Tidak seperti biasanya bus dari
kota Semarang cepat datang bahkan kosong melompong. Ia berhenti. Kupikir bus
itu hanya pulang tidak mengangkut penumpang. Bagaimana pikiran itu nggak menggelayut
di ujung waktu, semua penumpang duduk-duduk di tepi jalan asyik dengan tombol-tombol
handphone canggihnya. Rupanya tidak ada penumpang yang mau naik ke bus itu,
padahal terlihat kru bus itu sopan ramah kalem dalam mengendarai bus. Lama
sekali ia berhenti. Kucoba waktu untuk menuju kondektur. Tergopoh-gopoh jalanku
ke hadapan kondektur. iseng punya iseng sekedar bertanya barang kali mau
kutumpangi.
“Apa mau menuju terminal
Purabaya (Bungurasih)?” tanyaku.
“Ya.. ke Bungurasih, ke
terminal Purabaya.” jawab kompak sang penjual kacang tanah goreng dan es sari
tebu yang bergelantungan di wadah kotak dan toples besar diikuti sahutan sang
kondektur.
“Aku pun menuju pintu
depan bus.”
Ternyata sekawanan para
penumpang sekitar puluhan orang berlarian mengikuti langkahku menuju pintu bus.
Rupanya mereka semua juga mencari bus tumpangan. Tapi anehnya kali ini mereka
tidak berebut seperti penumpang lainnya yang kebanyakan tiap waktu menunggu di situ.
Sang bus melaju menuju
kota yang kurindu. Dan beberapa penumpang pun mengharap segera tiba di kota
harapan demi sesuap nasi yang akan disuapkan pada anak istri dan kerabat
keluarganya.
Di dalam bus ini daku
leluasa menyelonjorkan kaki dan menyendarkan kepala seenak-enaknya. Penumpang sedikit
sekali, banyak kursi panjang yang kosong. Aku coba menempati ruang kosong ini
di bagian tengah agak kedepan. Tak berapa lama bus meninggalkan kota Bunder. Bus
pun melaju kencang lewat jalan tol menuju terminal Purabaya. Ia harus
mengucapkan selamat tinggal sejenak buat kota Bunder persinggahan terakhirnya
sebelum memasuki gapura Purabaya.
Tanpa terasa bus keluar
dari tol memasuki wilayah Bungurasih.
“Lhoh kenapa kru Bus
tidak menarif daku? Padahal dia tadi udah melihatku baru masuk. Dia tahu bahwa
daku penumpang baru masuk di Bunder. Tadi dia udah memperhatikan wajahku lalu
menghitung-hitung fulus.“ gumam batinku sambil tolah-toleh mencari kru
kondektur. Terlihat dia asyik mengobrol dengan kondektur. Aku ingat mereka belum meminta tariff
penumpang dariku.
“Bungurasiiiiiiiiiih….” teriak
kru bus.
Daku maju ke depan
menuju pintu depan. “Bung…, aku belum bayar. Mbayar kemana, Bung?” tanyaku.
“Sini aja, Kang.” jawab kru
gendhut agak tua dengan lempar senyuman seraya mengulurkan telapak tangan.
Daku pun turun di gapura
Purabaya di atas jembatan Purabaya.
“Awas…, hati-hati…..”
teriak kru dari dalam bus. Kendaraan di sini pun padat merayap. Daku harus
menyelinap di antara dinding-dinding mulus bus yang pelan merayap memasuki
terminal Purabaya bertambah lagi para pejalan kaki malam yang asyik
menghabiskan waktunya di kursi-kursi panjang terminal Purabaya atau di
warung-warung kecil yang menyebar di sekitar terminal Purabaya.
Asyiknya memikat para
pengendara yang lalu lalang mengitari terminal Purabaya.
Keinginan melihat-lihat
pemandangan malam di sekitar bunderan Waru atau tepi Bungurasih dekat jalan tol
terasa menggebu. Tidak sebagaimana yang lalu, malam ini daku ingin menikam
beberapa angin malam dan kelelahan yang menggoda. Diiringi dering mesin yang
salip menyalip daku merasakan puasnya keliling-keliling malam yang penuh
harapan.
Memutari gedung
menjulang Graha Pangeran lalu tembus ke Gedung Balai Latihan Kerja Surabaya ini
lain dari yadng lain. Puaslah hati. Kuterobos beberapa jalan tembus kecil
hingga menuju masjid Al Akbar Surabaya.
“Ahhh….., terasa penat
juga. Ada kelelahan yang menggandol di punggung dan bokong. “ gumam batinku.
Sebaiknya daku mencari
jalan pintas. Di sebelah selatan masjid Al Akbar lalu lalang kendaraan juga
terasa. Keras dan kencang mobil mewah yang keluar dari tol masjid Al Akbar
menuju jalan pusat Kota Pahlawan sangat terasa juga. Kali ini daku istirahat
sejenak. Sepeda yang kutumpangi kusandarkan ke trotoar untuk melihat sela-sela
longgarnya kendaraan.
Daku memilih mepet-mepet
ke trotoar masjid Al Akbar sambil melihat-lihat para pejalan kaki yang asyik
menyeruput es dhawet mbak Inem dan pisang goreng mbah Bijo.
Perlahan namun penuh
kepastian. Sepeda kulajukan menuju terwongan bawah tol. Kali ini sedikit remang
atau temaram di sebelah selatan masjid Al Akbar tepat di pintu pagar utama
selatan. Agak luas jalan depan pintu pagar utama selatan dan tidak ada
pengendara yang parkir di sini. juga tidak ada pedagang yang nangkring.
Daku harus hati-hati
karena daku berlawanan arus dengan beberapa kendaraan ditambah lagi suasana
remang kental terasa di sini. Sorot lampu terang tak sanggup menembus
kegelapan. Daun-daun begitu rimbun serimbun qalbu yang sanggup merunduk dan
tawadlu. Tiba-tiba suara dari depan pintu pagar dari belakang ku terdengar…
“Maaaassss…..,
maaaaasss…., maaaaas….!!!!” teriakan itu kuat di bawah rindang pohon yang
menambah mantapnya remang. Seketika itu pula daku menoleh ke kanan kearah
suara.
Aku lihat cuma sepeda
motor yang ditumpangi tiga nyawa.
Daku nggak peduli.
Mungkin bukan aku yang dipanggil dari sesepeda motor tiga nyawa.
Kucoba memutar roda
sepeda perlahan.
“Maaaaas…., maaaasss
Ikhsan…..”
“Maaaaas Ikhsaaaaaan…,
lhoh lhah udah lupa. Aku muridmu mas ikhsan. Aku dulu menjadi murid les
privatmu mas Ikhsan…” teriaknya.
Aku berhenti sejenak dan
tertegun.
Berfikir dalam hati,
“Siapa dia sebenarnya?” “Aku tidak merasa
punya murid les setampan itu, sekekar itu, segendhut itu. Lagi pula dia tampak
kaya parlente, tampak pebisnis muda yang sukses. Tas kecil yang mirip milik
pengusaha papan atas dicangklong di sebelah punggung kiri.“ pikirku dalam-dalam
tanpa berucap suatu apa.
Ingin ku tahu rasanya.
Sepeda kumundurkan di antara remang-remang malam. Suara kami pun timbul
tenggelam oleh raungan mesin kendaraan yang memasuki masjid Al Akbar, hotel
menjulang, rumah makan, dan beberapa kendaraan mewah yang keluar dari jalan
tol.
“Siapa kamu, Bung?” tanyaku.
Tangan lelaki tampan nan
kaya ini dijulurkan demi meraih tangan kananku lalu diciumnya. Aku perhatikan
dalam rimbunan temaram.
“Maas Ikhsan…, Aku
muridmu yang dulu. Namaku Jawaniy. Aku anaknya pak Syahbano. Ayahku PNS dosen
teknik elektro di perguruan tinggi negeri Malang. Dulu mas Ikhsan akrab sekali
sama ayah. Masak sudah lupa. “ terang mereka.
“O o oo oooh …, itu …”
jawabku.
“iy …, iya…, yay a.. aku
ingat sekarang. Apa kabar mas Jawaniy.” tanyaku.
“Baik-baik, mas ikhsan.”
jawabnya.
“Maaf aku udah panggling,
udah lupa wajahmu. Sekarang kamu udah berubah. Tidak seperti dulu. Kelihatan
sekali pebisnis muda yang sukses. Sekarang kamu kerja di mana?” ucapku.
“Ahhh …, nggak kerja mas
…., pengangguran maas…” jawabnya dengan senyum ramah dan sopan terlihat nyantai.
Sikapnya tampak tawadlu dan sopan serta tidak membanggakan diri. Daku mengerti
dia sesungguhnya pebisnis sukses, namun tidak mau menampakkan kebolehannya di
hadapanku. Ia memilih berkata merendah di hadapan gurunya.
“Nggak apa-apa mas
Jawaniy…, pengangguran asalkan sukses dan dhuwit menumpuk. Wong mas Jawaniy
keliling-keliling kayak gini aja dapat dhuwit.“ jawabku sambil gurauan.
“Kamu lulusan apa?” tanyaku.
“Aku udah sarjana perhotelan.”
jawabnya.
“Bagaimana kabar abahmu
dan umimu?” tanyaku.
“Ayah akan segera pensiun
dari PNS Dosen Teknik Elektro.” jawabnya.
“Apa sehat-sehat juga?”
sahutku.
“Baik-baik, ayah sehat-sehat.”
jawab mas Jawaniy.
“Mas Ikhsan kerja
dimana? Mengajar di mana?” tanyanya.
“Kerjaku di dosen swasta
(dosen matematika), guru swasta di Ma’hadz Tahfidzul Quran, dan masih ajeg
memberikan les privat.” terangku.
“Wah, enaknya mas
Ikhsan.” sahutnya.
“Sama saja dengan
kerjaanmu mas Jawaniy. Semua pekerjaan tetaplah membutuhkan
perjuangan-pengorbaan-pengabdian.” ungkapku.
“Pokoknya ngajar di
dosen swasta dan di guru swasta saya rasakan sebagai tempat mengamalkan ilmu
dengan keikhlasan dan kesabaran. Targetnya bukan materi finansial atau jabatan,
namun hanya mengharap keridhaan sang Maha Penguasa Jagat dan membuka
pintu-pintu keberkahan dan kebaikan. Yang daku rasakan hanyalah apa yang
kukerjakan sebagai dosen swasta dan guru swasta adalah serasa tidak pernah
terjadi dalam hidup. Biarlah keberkahan dan keridhaan nantinya terbuka dan
mengalir dengan sendirinya tanpa terpikirkan olehku. Cuma itu yang bisa
kulakukan.” terangku kepada mas Jawaniy. Ia pun mengangguk dan melepas senyuman
ramah.
“Siapakah wanita yang
duduk di belakangmu?” tanyaku.
“Ini istriku dan ini
anakku.” jawabnya. Sang istri pun memperkenalkan dirinya.
“Lho kamu yang dulu
pacaran waktu mas Jawaniy duduk di bangku SMA?” tanyaku. “Ya, mas.” Jawabnya sambil
tersenyum.
“Ya ampuuuun…, mbak. Kau
harus tahu mbak. Dulu waktu mas Jawaniy belajar Matematika Fisika Kimia padaku
sempat cerita kamu sebagai pacarnya. Ingatlah mbak. Mas Jawaniy itu anak
kesayangan bundanya dan abahnya. Pernah suatu ketika suamimu keasyikan mainan
dengan teman sekampungnya hingga telat nggak les privat aja bundanya sedih
sempat juga meneteskan air mata.” ungkapku.
“Sekarang saatnya mbak,
dirimu harus mengajak suaminu mas Jawaniy untuk menghapus air matanya. Kau
harus merubah air mata kesedihannya menjadi linangan kebahagiaan. Di dada sang
bundanya tersimpan sejuta harapan pada anak yang dicinta.” pintaku.
“Bagaimanapun juga
engkau mas Jawaniy sudah sarjana perhotelan. Tentu engkau punya banyak cara untuk
membahagiakan sang bunda. Kebahagiaan bundamu bukan diukur oleh limpahan harta
atau tingginya pangkatmu, tapi ada pada akhlakmu dan semangat hidupmu serta keinginan
kuat untuk berubah menjadi lebih baik. Itu harus terealisasi dalam kehidupan
sehari-hari.”pintaku lagi.
“Datanglah kepada
bundamu dan abahmu dengan tawadlu. Persembahkan kehormatan hidupmu padanya.
Niscaya segalanya bakal terhampar. Bundamu bagai malaikat kecil hidupmu. Bahkan
padanya tersimpan surga yang tidak dimiliki para malaikat. Tidakkah segalanya kau dapatkan di sana.” pintaku
“Mas Jawaniy…, ingatlah
mumpung maut belum menjemput. Bahagiakan Bunda dan Abahmu. Segeralah bertekuk
lutut setelah menyembah Tuhan Pemilik Hidup.”
“Siap-siap…., mas
ikhsan…, aku jalankan…” jawabnya tegas dan meyakinkan.
“Bakal terasa segalanya setelah
kepergian bunda dan abahmu ke alam baka. Karena itu perbuatlah untuk
kebahagiaan bunda dan abahmu. Jangan terlambat menempatkan kebahagiaan ayah
bundamu di atas kebahagiaan rumah tanggamu. Beliau di atas segalanya bagi
hidupmu. Seberkas harapan yang engkau impikan selama ini bakal terbit. Dulu daku
sering ngobrol-ngobrol sama abahmu.” kataku lagi.
“Siap-siap mas ikhsan. Senang
bisa ketemu mas ikhsan.” jawab mas Jawaniy.
“Daku pun demikian
merasa senang karena engkau sempat menyapaku. Nanti kalau sudah bisa beli mobil
mewah, jangan lupa sapa aku ya.” pintaku sambil kelakar.
“Pasti ingat mas ikhsan
sampai ajal. Kebaikan dan ilmunya mas ikhsan sudah menancap kuat di otak dan di
qalbu.
“terima kasih.” jawabku.
“Mau keliling kemana
lagi nih?” tanyaku.
“Ini lhoh mas…., si
kecil mintanya keliling-keliling melulu lihat kambing dan sapi. Masak tiap sore
sampai malem begini selalu minta lihat-lihat kambing dan sapi. Aku sampai capek
putar-putar..” jawabnya
“Ahhh.., nggak
apa-apalah mas Jawaniy. Anakmu memang benar, ia minta keliling-keliling melihat
kambing-kambing untuk menghibur diri dan untuk membuka harapan bersinar lagi.
Siapa tahu dengan keliling-keliling begini rejekimu dan pesananmu berdatangan
dan beriringan seperti ramainya kendaraan di sekitar ini. Turuti aja si kecil
ini. Dari pada tidur sore-sore di kamar sumpek mendingan bersama si kecil
ramai-ramai menikmati gelak tawa sapi dan kambing.” harapanku.
“Cukup sekian dulu. Daku
mohon diri pulang. Udah malam daku harus makan malam dan istirahat karena daku
udah lelah. “terangku.
“Ya mas ikhsan. Terima
kasih. Selamat jalan. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan.” jawab mas Jawaniy.
Obrolan kami cukup lama
dan puaslah melepas kerinduan setelah enam belas tahun lamanya kami berpisah.
Waktu telah menyatukan perjumpaan kami di malam itu. Kami pun meneruskan
langkah-langkah perjuangan di jalan yang berbeda. Kami yakin kelak di
persimpangan jalan kehidupan mendatang masih ada perjumpaan dan saling sapa. Daku
pun meninggalkan jalan sebelah selatan masjid al Akbar Surabaya. Beberapa
pedagang malam di pinggir jalan masjid al Akbar berderet-deret harus
kutinggalkan pula. Terowongan bawah jalan tol masjid al Akbar harus kutembus
menuju tempat peraduan.
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa
Istilah:
Mepet-mepet
= Mendekat merapat.
Dicangklong
=
Panggling =
Dhuwit = Fulus = uang.
Sumpek =
=============================
A
BEAM OF HOPE
SEBERKAS
HARAPAN
Karya
Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil
dari kumpulan KISAH SUNYI.
SEBERKAS
HARAPAN
Diambil
dari kisah kehidupan Kota
Lokasi
Peristiwa : Kota Bunder Gresik – Terminal Purabaya – Surabaya – Masjid Al Akbar
Surabaya, Selasa 29 Agustus 2017..
Ditulis
di Surabaya, Rabu 30 Agustus 2017.
Dipublikasikan
pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.com
Dipublikasikan
pertama kali pada hari Sabtu 2 September 2017.
Penulis
cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan
lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis
masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis
masih aktif menjadi instruktur matematika di Ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat
SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis
masih aktif menyusun syair.
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)