Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Tuesday, August 22, 2017

Sprinkling in Silence 22 (Percikan dalam Kesunyian 22) : Inclined Food Stall on the Riverside 3 (Warung Doyong Pinggir Kali 3)

INCLINED FOOD STALL ON THE RIVERSIDE
WARUNG DOYONG PINGGIR KALI
Written and Arranged By Ikhsan, M.Pd.
Ditulis di tepi kali Brantas Karang Pilang Jln Mastrip, Selasa, 5 Juli 2011
SERI 3

“OOOaaa…, aaaa….” teriakan tangisan si kecil berusia kelas dua sekolah dasar terdengar khas dari celah gubuk reyot pinggir kali.
Kesunyian pagi menjelang kuncup-kuncup putri malu bermekaran di sekitar rumah dan pekuburan itu sontak terpecah oleh suara histerisnya.
Aku yang seorang awak rendahan cuma bisa mendengar lengkingan seorang bocah sambil menyusuri tebing kali yang di atasnya mengular jalan-jalan kota pahlawan. Di sini memang beberapa dekade silam menjadi penanda gebyar ditabuh-tabuhkan gong kebesaran Maha Pahlawan di bumi nusantara.
Di sini pula para Maha Pahlawan menenggelamkan ruas-ruas bambu runcing untuk dikirim ke pusat perjuangan. Dengan menggunakan derasnya kali Brantas Jalan Mastrip Karangpilang Surabaya kegigihan mereka begitu deras mengalirkan darah-darah perjuangan. Pusaran arusnya telah menandai tingkat kesulitan menggapai cita-cita pejuangan. Mungkin kali ini pendar-pendar perjuangan pak Pehih terpancar bebas di antara gumpalan asap kendaran bermotor dalam raungan mesin-mesin canggih.
Tak terhentikan sama sekali keadaan ini. Si kecil yang harus memperjuangkan kebebasan berpikir, kebebasan menjalani kehidupan yang sudah beberapa tahun di tinggal pergi ibunya menjadi TKW di Hong Kong. Sementara pak Pehih hanya sekedar menunggu orderan dari para kuli bangunan. Terkadang sepi, terkadang ramai, bahkan terkadang pak Pehih hanya nongkrong menyendiri memandangi kali Brantas Karangpilang di saat istrinya harus bergulat dengan piring-piring Hong Kong.
“Nasi kuniiiiinnnnng…., nasi kuniiiiiiiing…., “ teriak penjual nasi kuning yang membawa beberapa bungkus nasi di boncengan belakang sepeda pancal butut.
“Nasi kuning…., aku beli…aku beli!!!” teriak si kecil anak pak Pehih.
Penjual itu menghentikan sepedanya dan menoleh ke arah si kecil. Kemudian ia balik menghampirinya. Sementara aku dari kejauhan masih memperhatikannya sesekali menyenandungkan syair-syair kemasyhuran cinta dan beberapa lafal bangun yang mengokohkan kehidupan.
Aku harus memutar kembali jalan ini. Pinggir kali karangpilang telah menobatkan diriku sang penyair muda dalam obrolan bangun tua dan gubuk reyot pak Pehih.
“Pak Pehih…, santun pagi, Pak..” sapaku.
“Oh ya ya…, jalan-jalan toh…,” jawabnya sambil mengenakan celana pendek kusam lawas, tanpa secuil baju yang melekat di tubuhnya. Yahh…, cuma celana pendek kusam lawas .
Beberapa bongkahan batu di pinggir kali karang pilang mastrip kebraon ini kududuki sejenak sambil memandangi beberapa sepeda motor yang saling mengejar.
“Ayah…, aku berangkat…” pamit si kecil.
“Ya Nak , Hati-hati di jalan. Rajin-rajinlah belajar di sekolah.” sahut pak Pehih sambil mengecup pipi si kecilnya.
“Kapan istrimu sambang ke Jawa pak Pehih? Rupanya Dia sudah kerasan di Hong Kong.” tanyaku.
“Tahun depan mau sambang ke Jawa.” jawabnya.
“Kemana kamu Lencir?” tanyanya.
“Biasa pak Pehih…, Jalan-jalan kan? Mumpung masih pagi, aku nikmati segarnya pagi. Dingin pagi membuat tubuh ini hidup kembali. Ayo jalan-jalan.” pintaku.
Belum jauh langkahku dari hadapan gubuk reyot. “Bruok… bruok…, bruok…” suara rebahan benda lempengan separuh tenggelam ke sungai.
“Wfuihhh… busyettt…” bikin terkaget-kaget aja.
Dinding reyot yang beberapa lembar seng disandarkan ke gubuk reyot telah rebah. Mereka semua berantakan terkapar ke dasar kali pinggir karang pilang.
Kulihat dari kejauhan pak Pehih cuma sendirian mendirikan dinding rebahan tadi. Ia bangun lagi. Lembar-lembar seng yang bolong sana sini disandarkan kembali ke dinding reyotnya. Tak jauh darinya berhadap-hadapan cangkir gelas piring kopi ote-ote dan para pramunikmatnya. Mereka cuek. Tak peduli dengan apa yang terjadi pada pak Pehih. Wonk mereka cuma butuh kepuasan perut belaka di pinggir kali. Saya tahu tahu isi mie, ote-ote, tempe menjes, pisang goring, telo goreng telah dipasok oleh mbah Emah. Keberadaan mbah Emah sendiri tiada yang tahu kabarnya. Walau beliau udah menapaki masa pikun tapi kegemarannya memasok makanan yang setiap pagi disantap oleh pramunikmat pinggir kali telah berhasil melepaskan diri dari jeratan kepikunannya. Bahkan sang dokter spesialis pikun pun mendiagnosa mbah Emah tidak pikun sama sekali. Ia terbebas dari penyakit yang selama ini ditakuti para pejabat tinggi. Malahan aku sendiri melihatnya mbah Emah pandai menghitung-hitung lembaran fulus dan memperkirakan berapa banyak makanan yang harus disajikan kepada setiap pelanggannya. Usia di atas tujuh puluh tahun baginya jauh lebih segar dan mudah dari pada usia tujuh belas tahun. Ingatan dan tenaganya masih enerjik. Si Bondet yang lihai mengobarkan keperkasaan pun belum ada apa-apanya bila dibandingkan hal ikhwal kebugaran mbah Emah. Si Bondet bertekut lutut merasa kalah sakti dengan pengobatan alternative mbah Emah. Ia sanggup melepaskan kepikunannya dengan memasok ote-ote, telo goreng, pisang goreng, tahu isi.
“Wah…, jalan-jalan terus kang Lencir nih..” celetuk penghuni warung doyong pinggir kali.
“Ya. Benar mbak. Mencari kebebasan cinta. Meraih kemerdekaan angan. Semua gembira menyambut datangnya pagi. Aku pun demikian, Mbak.” sahutku.
“Byuorrrr… byuorrrr…” air bekas cucian piring diguyurkan ke kali Brantas Karang pilang. Nggak ada bedanya dengan lainnya. Ia suka cemplung-cemplung di pinggir kali tiap pagi.
Penghuni warung doyong mengatur-ngatur piring dan gelas yang barus dibilas.
“Kang Lencir nggak sarapan telo goreng ta… Ini makanan andalanmu. Pisang goreng masih kedul-kedul.” panggil kang Bodroh.
Ia sebentar lagi angkat-angkat batu di jalan seberang.  Kang Bodroh lebih menyukai mencicipi semua makanan goreng di sini. Pagi ini bukan nasi pecel atau nasi kuning yang disantap justru ote-ote, tahu isi, telo goreng, pisang goreng, dan Tahu menjes yang dilahapnya.
“Aku masih ngantuk… Semalam nggak tidur. Ndak tahulah.. tiba-tiba nggak bisa tidur.” ungkap kang Bodroh.
“Tiba-tiba ranting pohon besar di kuburan itu sempal, patah. Lha wonk nggak ada apa-apa tiba-tiba rantingnya patah. Bukankah tadi malam sesungguhnya malam jumat legi. Dulu waktu hujan deras disertai angin puting beliung ranting-ranting pohon tua ini nggak patah sama sekali bahkan di sekitarnya pohon-pohon muda-muda tumbang sampai ada yang berjatuhan. Yang lebih mengenaskan, bunga-bunga layu sebelum berkembang. Kenapa tadi malam harus terjadi. Perasaan mengalami kekacauan, pikiran tak tenang. ” terawang dan pikir kang Bodroh.
“Ya benarlah. Itulah yang bikin perasaan was-was. Beberapa tahun lalu juga demikian lalu kuingat wabah menjalar.”
“Ahh.., smoga nggak ada apa-apa.” jawab lelaki tua di sampingnya.

 (bersambung, nantikan seri 4)
Nantikan seri berikutnya………….
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Sambang = berkunjung ke suatu tempat setelah lama tidak berjumpa dengannya.
Orderan = pesanan.
Cemplung-cemplung = buang air besar di kali.
TKW = Tenaga Kerja Wanita
Sempal = patah tak beraturan.

=============================



WARUNG DOYONG PINGGIR KALI (Seri 3)
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

WARUNG DOYONG PINGGIR KALI (seri 3)
Diambil dari kisah kehidupan rakyat desa
Lokasi Peristiwa : Tepi sungai brantas antara Jalan Mastrip Kebraon Karangpilang Surabaya dan jalan Raya Sepanjang, Selasa 5 Juli 2011.
Ditulis di Surabaya, 5 Juli 2011.
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dipublikasikan pertama kali pada hari Selasa 22 Agustus 2017.
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.








Friday, August 4, 2017

Sprinkling in Silence 21 (Percikan dalam Kesunyian 21) : Dew Drop of Pantura (Tetes Embun Pantura)

DEW DROP OF PANTURA
Created by khsan, S.Pd., M.Pd.
TETES EMBUN PANTURA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.

Sial tak dapat ditolak, untung tak dapat direguk. Begitulah rona kehidupan mbak Yisna. Belum genap 20 tahun ia mengecap manisnya kehidupan lewat recehan yang setiap hari numpang pada kedua telapak tangannya.
Wajah ceria bersinergi sopan ramah masih menghias perilakunya. Duduknya beringsut mendekat ke samping kiriku. Di Kursi panjang Bus Pantura di paling belakang menjadi tambah mantep tutur kisahnya. Sementara para penumpang lainnya asing terlena dalam touchscreen handphonenya. Sang Bus tak peduli lagi dengan urusan setiap pribadi penumpang. Sang Bus istiqomah merangkak cepat menuju ibukota Negara. Aku di dalamnya lebih tersihir oleh pesona kisah mbak Yisna. Entah apa maksudnya wanita paruh tua  yang masih berwajah muda ini. Ia lebih khusyuk dengan pemaparan bayang-bayang semu masa lalu.

 “Mas Tramph…., kerjanya apa?” tanyanya.
“Wah…., cuma cari orderan di tepi kota pantura mbak Yisna.” jawabku.
“Ah…, masak iya…. Nggak percaya mas. Kelihatannya seperti wartawan mas langkahnya dan gaya bicaranya.” ujarnya seakan tak percaya.
“Mungkin saja kebetulan mirip wartawan. Cuma sang order. Siapa tahu ada yang mau booking aku.” Itulah jawabku.
“Mbak yisna udah dapat berapa receh pagi ini?”
“Cuma dapet seratus ribu rupiah mas.” sahutnya.
“Sebulan dapet berapa mbak Yisna…?” tanyaku.
“Sejuta lebih mas Tramph.” jawabnya.
“Buohhhh…, Jiahhh….., Cuma sejuta. Padahal temenku yang sarjana kerja tiap hari di kantornya cuma dapet di bawah sejuta. Beruntung sekali kau. Hanya modal ecek-ecek dan suara pas-pasan udah mampu meraup keuntungan sejuta lebih.” Gumam batinku.
 “Lhouw…, kenapa terbengong mas Tramph.” tanyanya.
“Ahhh…, hahh…, iya ya mbak, ndak apa-apa mbak Yisna. Hanya sedikit teringat besarnya uang mbak Yisna.” tersentak diriku dari lamunan. Pikiran melayang teringat kang Johnady yang sarjana kerja di kantor cuma dapat gaji kurang dari sejuta tiap bulan. Dulu kuliahnya di kota metropolitan dengan biaya selangit dan peras otak untuk meraih gelar sarjana dari universitas ternama, kini beliau cuma dapat gaji di bawah sejuta. Malu ah aku mengungkapkannya, lebih baik aku kubur dalam-dalam rahasianya, jangan sampai ketahuan mbak Yisna. Karena aku tahu mbak Yisna hanyalah seorang janda lulusan SD Dusun Ndhesit mampu meraih recehan lebih dari sejuta tiap bulan. Hanya bekal ecek-ecek tutup botol yang dilobangi lalu dirakit ke kayu sedemikian hingga tampak seni rupanya tetes embun pantura telah menyegarkan napas kehidupannya yang sekian lama kering akan kasih sayang  pria pujaan.
Sang Bus semakin merangkak cepat. Kali ini lebih cepat dari semua yang ada di jalan. Tak terasa pembicaraan kami lebih dari 30 menit.
“Udah berapa tahun menggeluti dunia tarik suara di dalam bus?” tanyaku.
“Udah belasan tahun mas Tramph.”
“Mengapa harus begini hidup ini mbak Yisna? Gemerlap kota dan sepoi taman Bunga di ibukota Negara telah melambaikan sebagian tubuhnya pada kita, hanya kita yang tak sanggup berkata buatnya. Burung-burung yang bahagia asyik di pucuk rimbun taman istana berkicau menyanyi lagu kemerdekaan. Tak perlu beban. Ia sudah bisa makan. Tak perlu sedu-sedan kesakitan. Cukup hanya melambaikan sebagian tubuhnya makanan sudah teraihnya. Sementara mbak Yisna harus berdesakan di sini lalu menarik urat-urat lehernya dengan nada memelas kepada setiap wajah-wajah di kru Bus.”kataku dengan sedikit melemah dan penasaran.
Mbak Yisna mulai membuka jejak rekam kehidupannya.
“Apalah artinya sebuah kehidupan. Aku memiliki mimpi kehidupan di lembah-lembah kebahagiaan, namun bukit tandus kering yang menoreh sepi, lebih sunyi dari yang sunyi.   
Dulu aku tinggal di dusun terpencil, yang masih jauh tertinggal dengan kemajuan kabupaten. Keadaanku carut-marut. Maksud hati ingin meraih esok yang lebih baik. Kuputuskan pergi ke kota Pahlawan, Surabaya. Di sana aku bercita-cita menjadi pahlawan sejati bagi keluargaku. Bagaimana ekonomi keluargaku bisa bangkit, itu yang menjadi anganku.

Aku bangun dari keterpurukan.
Aku bangun dari kerendahan.
Aku bangun dari tidur panjang.
Aku bangun dari peradapan.
Biarlah tubuh dilumuri debu dan kotoran jalanan
Asalkan aku sanggup bertahan di kota pahlawan.
Biarlah kaki tanganku diliputi asap dan tanah jalanan
asalkan kebebasan terwujudkan dari belenggu kemiskinan.

Cukuplah tekad dan semangat berkobar-kobar demi cita-cita mulia.
Hanya berbekal bisa masak ala kampungan, semangat kerja, dan beberapa lembar baju lusuh aku masuki jalan-jalan kota yang penuh lampu-lampu hias. Dialah Surabaya, kota pahlawan.
Takjub akan pemandangan kota pahlawan bercampur kegirangan membuatku optimis tanpa berpikir macam-macam.
Tiba-tiba dari sebelahku suara lelaki paruh tua menyapaku. Ia sedikit menyandarkan tubuhnya di kursi Truk bagian sopir. Ia ramah menawarkan kebaikan. Perasaan siapa yang nggak bahagia bila kota yang diidam-idamkan telah menjadi kenyataan apalagi sambutan hangat dan keramahan sang lelaki yang belum pernah kukenal sebelumnya menyentuh selaput telingaku. Belum lagi panas kering kehidupanku  membuatku tak tahan lagi segera berakrab dengannya.
Barangkali inilah tetes-tetes embun hidupku yang semestinya kureguk. “urai mbak Yisna.
“Mbak, mau kemana mbak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang sopir setengah mesra.
“Ya makasih, Om. Aku nggak tau tempat kerja di kota Surabaya. Aku pingin cari kerjaan. Tempat kerja mana yang membutuhkan tenaga kerja wanita?” jawab mbak yisna.
“Wah… kalau itu sih gampang… gampang…, gampang… Serahkan aja padaku. Segala urusan dan kebutuhanmu dijamin terpenuhi lagi menyenangkan. Segalanya dijamin beres. Jangan pusing mikirin kerjaan. Itu sih gampang. Hidup jangan dibuat susah. Hidup ini gampang mbak.” jawab sang sopir truk dengan penuh keyakinan.
“Kebetulan sekali Om. Sungguh menyenangkan. Aku nggak susah-susah mencari kerjaan.”sahut mbak Yisna dengan gembira.
“Ayo, sekarang kita naik truk ini berdua bersama ke tempat tujuan agar mbak segera kerja dan menghasilkan uang.”pinta sang sopir sambil mengayun-ayunkan tangan sesekali matanya berkedip-kedip.
Mereka pun asyik ngobrol di truk sambil memperkenalkan dirinya masing-masing. Canda mesra pun mulai terasa seolah mereka sepasang sejoli yang benar-benar berjodoh. Mbak Yisna bertambah bahagia menatap masa depan. Kehidupan yang telah lama menghimpitnya bagai sembilu direlung kalbu tercampakkan seketika oleh tawaran menggiurkan sang sopir truk.


“Kita kemana mas?“ tanya mbak Yisna
“Biasalah ke jantung kota pahlawan. Aku ini menjadi pahlawan hidupmu walau tidak sepenuhnya. Kita satukan langkah dan tujuan. Biasa di rumah makan.”
Seruit klakson kendaraan mewah di jantung kota pahlawan bersahut-sahutan menyapa kehadiran mbak Yisna. Truk yang sudah lapuk dimakan usia malam itu mulai mendekat ke sebuah rumah lalu menurunkan mbak Yisna. Mereka berjalan mendekati pintu rumah berornamen modern. Mbak Yisna dipertemukan seorang juragan depot SAMARASANYA.
“Malem boss….”sapa sang sopir kepada pemilik depot itu.
“Ada orderan? Jelas ada boss. Lumayan ini. Bisa diajak kerjasama. Aku serahkan ini ke boss. Tapi jangan lupa uang lelah dan bensin truk ini boss.” ujar sang sopir.
“Beres dahhh…., jangan kuatir. Semua akan dibayarkan sesuai keinginan dan harapan. Apa bisa masak juga?” tanya sang boss.
“Wuih, kalau itu dijamin tidak mengecewakan. Boleh dicoba bosss” jawab sang sopir.
“Siapa mbak namanya?” tanya sang boss kepada mbak Yisna.
“Yisna, boss” jawabnya.
“Silahkan istirahat ke kamar peristirahatan dan ganti baju.”
“Permisi, saya pamit dulu boss.” pinta sang sopir undur diri setelah menyerahkan mbak Yisna sembari mencium-cium lembaran uang seribuan lalu dikibas-kibaskan ke langit.
Malam-malam dilalui mbak Yisna di jantung kota pahlawan. Mata tak juga terpejamkan, pikiran mulai teringat antara dusun kampungan dan kota pahlawan. Kegelapan malam sepertinya sirna oleh kerlap-kerlip lampu kamar dan tujuan.

Keesokan harinya mbak Yisna dibawa ke luar kota. Ia diantar ke kota Bojonegoro. Mbak Yisna pun kaget karena pertengahan tahun 80-an Bojonegoro bukanlah kota semewah kota pahlawan. Tapi apa boleh buat cita-cita menjadi pahlawan sejati bagi keluarganya nggak boleh buyar. Gairah sedikit pudar, nggak apa-apalah  ia tidak di kota pahlawan. Tak apalah mungkin ini suratan taqdir yang harus dilalui. Siapa tahu nanti bisa kembali ke kota ini, Kota Pahlawan. Ini jauh lebih baik dari pada hidup di dusun terpuruk hingga rapuh.
“Silahkan kamu ke dapur. Cucilah piring-piring sana.” perintah boss.
“Ya, boss. Baik, aku laksanakan” jawab mbak Yisna.
Mbak Yisna membersihkan dapur dan menata piring-piring yang berserakan. Mencuci beberapa piring yang tertumpuk di pojokan.”
Mbak Yisna pun mulai mandi. Sore itu ia mulai memakai baju yang paling cantik koleksi warung SAMARASANYA.
 “Kok baju begitu yang dipakai. Nggak laris nih warung makan kami. Pakai baju seksi aja ntar pelanggan kami nggak pergi. Pakai baju seksi ini biar pelanggan bakal betah dan kerasan di warung ini. “
“Baju ini yang kamu pakai.” dengan nada kesal sang boss menyerahkan baju yang paling seksi dan romantis.
“Nggak apa-apalah, mungkin ini trend di warung untuk menarik dan memikat para pelanggan. Aku harus menyenangkan keinginan boss. Yang penting aku dapat gajian awal bulan.” gumam batin mbak Yisna.
“Semua permintaan belanggan wajib kau penuhi” perintah wakil boss.” bentak wakil boss sekaligus manager warung SAMARASANYA.
Seorang lelaki yang agak tua renta menghabiskan kopi lalu minta susu telur madu jahe di Warung SAMARASANYA sore itu. Ia menyeruputnya dengan penuh nafsu sambil lirik kiri lirik kanan. Dalam gelas anggun susu telur madu jahe mulai tinggal seperempatnya. Mbak Yisna pun menawarkan,” tambah lagi Om?”
“Ya harus tambah lagi.”sahut lelaki itu. Mbak Yisna menuangkan minuman ke dalam gelas lalu menyodorkan ke lelaki tua.
“Aku tak butuh ini. Jangan susu telur madu jahe. Aku udah bosan. Kali ini tubuhmu aja. Ia sambil memegang jemari mbak Yisna.” pinta lelaki tua dengan penuh nafsu.
“Jangan, Om.. jangan…” tolak mbak Yisna.
“Siapa kamu berani menolak keinginanku. Tidak biasa di warung ini keinginanku ditolak. Bertahun-tahun aku menjadi pelanggan warung ini. Di tempat ini pula aku merasakan syurga dunia. Berani-beraninya kau tolak kesukaanku. Ini sudah menjadi langgananku, tau….!!! Warung ini siap menyervis aku setiap aku butuh. Siapa kau?!!!” geram lelaki yang menjadi pelanggan warung SAMARASANYA.
“Yisna, lakukan…!!! Kenapa kamu menolak. Lakukan saja. Itu kerjaanmu. Berikan segalanya. Berikan tubuhmu. Semua pelanggan di sini harus menikmati segala isi seluruh ruangan ini.” bentak manager.
“Besok aja kembali ke sini. Aku memenuhi segala permintaanmu. Kali ini tubuhku agak sakit. Aku janji besok lagi. Maaf tuan…. Besok aku layani sepenuh nafsumu. Jangan kuwatir, segala maumu tentu aku nurut.” jawab mbak Yisna.
Malam itu semakin gelap. Di sisi kiri kanan warung hanya hamparan belukar dan di belakang warung terbentang luas hutan walau di depan warung jalan raya. Mbak Yisna mulai gelisah memikirkan apa yang harus diperbuat keesokannya. Bukan ini tujuan mbak Yisna, bukan pula warung kegelapan. Malam-malam kegelapan menjadi panjang. Tubuh yang layu dan lusuh tak jua mau direbahkan. Mata tak mau terpejamkan.
Denting gerobak yang membawa potongan bambu terdengar melaju di depan warung SAMARASANYA. Longlongan anjing malam mulai terdengar pertanda tengah malam tiba.
Manager kelihatan tergesa-gesa akan keluar warung untuk membeli barang-barang kebutuhan makanan yang dibutuhkan warung SAMARASANYA keesokan harinya sambil jalan-jalan ke kota Bahagia Malam.
“Kunci rapat-rapat pintu ini. Jangan sampai binatang buas masuk warung. Dulu warung ini pernah diobrak-abrik binatang buas dari hutan. Kamu jangan ke luar rumah. Malam ini aku harus ke luar.”pesan Manager.
Manager tidak tahu mbah Yisna adalah janda kampungan yang tinggal di dusun pertengahan hutan. Manager mengira mbak Yisna takut dengan binatang hutan atau longlongan anjing malam, padahal mbak Yisna akrab dengan hutan-hutan.
Kesempatan ini tak disia-siakan mbak Yisna. Ia pun melarikan diri menuju hutan belantara. Ia meninggalkan warung SAMARASANYA.
Ia lari sekencang-kencangnya. Ia terobos kegelapan malam hutan pinus dan jati. Tak tahu arah dan tujuan dalam kegelapan malam. Yang penting tak seorang pun di sekitar warung SAMARASANYA mengetahui pelariannya. Jauh sudah ia melangkah sampai ke tengah hutan. Tubuh tergores luka parah. Hanya beberapa kain kumal yang dipeluknya. Ia rasakan kebebasan jauh lebih mahal dan harus ditebus dengan jiwa raga sekalipun nyawa taruhannya. Tangis tak terdengar lagi, terasa keringlah sudah air mata. Ia pun lari hingga belasan kilometer dari warungnya. Namun hutan belantara masih saja menampakkan wajah-wajah garangnya.
Fajar pun datang. Hanya kilauan bintang di angkasa yang sesekali menampakkan sinarnya. Kemarau begitu panjang, kaki tak beralas terasa menginjak batu hutan dan kerasnya tanah hutan.
Tetes-tetes embun fajar datang membasahi rambut yang padanya sudah bersarang beberapa duri dan daun kering.
Tiba-tiba hamparan sawah yang kering kerontang menampakkan bentangannya. Kelap-kelip nun jauh di sana di pesisir pantura mulai nampak. Mbak Yisna makin mempercepat larinya. Menuju arah sorot lampu. Sejenak ia mencuci muka dan tubuhnya ke telaga kecil.
Pagi itu tetes-tetes embun pantura berjatuhan. Langit tampak terang walau bintang berangsur-angsur mulai meninggalkan kegelapan. Hanya kepergian derita di atas goresan luka menganga di tubuh Yisna yang meleleh basah oleh beningnya tetesan embun pantura.
Terlalu jauh sudah kali ini ia melangkah dari warung SAMARASANYA. Tanah yang diinjak sudah mulai berbeda dari tanah warung ITU. Mbak Yisna mulai memperlambat larinya. Pelan-pelan ia melintasi pematang kering nan tandus.

Aku rindu
Jalan-jalanmu yang subur
Aku rindu
tetes-tetes embun penyejuk qolbu.
Aku rindu
Terangnya langitmu bersama terbit esok menyambut waktu

Tetes-tetes embun
Halus turun beriringan
melepas kegelapan malam kekeringan
Tetes-tetes embun
Maukah membasuh tubuh
Menyegarkan jiwa-jiwa yang gelisah
Menghilangkan luka dan derita.
Berikan ketenangan walau putaran dunia
Penuh rona derita bersua bahagia.

Esok itu mbak Yisna sampai di jalan raya Tuban. Ia pun mencari kendaraan yang lewat untuk dinaiki menuju kota pahlawan.
“Berhenti…., aku numpang sopir….” Teriak mbak Yisna. Sopir truk yang melaju kencang mendadak menghentikan truknya.
“Ada apa, Mbak? Pagi-pagi begini sudah berdiri di tepi hutan ini.” tanya sopir.
“Saya minta tolong, mau numpang menuju Surabaya.” pinta mbak Yisna.
“Mbak kok terluka tubuhnya. Kenapa mbak.” tanya Sopir.
“Ya. Saya terluka mencari kayu di hutan. Terkena duri tajam. Hingga menggores tubuhku. Aku mau ke Surabaya mencari obatnya. Saya minta tolong sopir antarkan saya ke Surabaya. Biar saya dapat perawatan ke dokter yang ahlinya. Di dusunku nggak ada dokter yang bisa menangani lukaku.” pinta mbak Yisna.
Mbak Yisna pun menyembunyikan apa yang baru saja dialaminya. Ia tidak berani menceritakan apa yang baru saja dialaminya karena di perjalanan masih terlihat kanan kirinya hutan. Ia khawatir kejadian yang serupa terulang lagi. Khawatir sang sopir truk yang baru dikenalnya berbuat jahat padanya kali ini mbak Yisna diam dan berhati-hati dalam bicara dengannya. Kota pahlawan yang selama ini menjadi incarannya harus dibayar dengan luka parah di sekujur tubuhnya. Inilah sesungguhnya pahlawan sejati yang menjadi impian sejak semula. Berlari hingga hilang perih untuk melepas kemiskinan dan penderitaan haruslah dibayar mbak Yisna dengan perjuangan dan pengorbanan jiwa raga, bukan ucapan belaka yang kerap membasahi bibirnya. Cita-cita luhurnya menuntut pembuktian, bukan sekedar omong kosong belaka. Butuh perjuangan dan pengorbanan segala apa yang ia punya.

S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Pantura = Pantai Utara Jawa.
Ecek-ecek = alat music yang terbuat dari logam tutup-tutup botol. Semua tutup tersebut dilempengkan lalu ditancapkan ke gagang yang berupa kayu. Untuk membunyikannya gagang tersebut dipukulkan pelan-pelan ke telapak tangan atau ke paha sambil menyanyikan lagu-lagu kesayangannya.
Touch screen = layar sentuh.

=============================
TETES EMBUN PANTURA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

TETES EMBUN PANTURA
Diambil dari kisah kehidupan rakyat desa
Lokasi Peristiwa : Surabaya, Bojonegore, Tuban. 1980.
Ditulis di Gresik -  Surabaya, Jumat 15 Mei 2015.
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dipublikasikan pertama kali pada hari Jumat, 4 Agustus 2017.
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika di Program Studi Pendidikan Matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.








All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)