Thursday, March 16, 2017
Sprinkling in Silence 20 (Percikan dalam Kesunyian 20) : Destruction of Old City (Runtuhnya Kota Tua)
3/16/2017 11:08:00 PM
Kisah Sunyi
DESTRUCTION
OF OLD CITY
Written
by Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
11 March 2017
RUNTUHNYA
KOTA TUA
Karya
Ikhsan, S.Pd., M.Pd
11 Maret
2017
“Ya. Sudah…,!!! “ teriak
seorang anak yang mengomandoi semua temannya yang sudah ngumpet di tempat yang
tersembunyi. Ada yang naik pohon, ada yang di bawah kurungan ayam, ada pula
yang di kandang kambing, ada yang di rimbunan taman bunga, ada yang menyusup di
bawah tumpukan jerami, bahkan ada yang sembunyi di bibir selokan dekat sampah
sapi pak tua.
Pokoknya sore itu seru
deh. Celotehan dan teriakan anak-anak seusia sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama menjadi hening seketika.
Seorang bocah laki-laki
yang ditinggal sembunyi temannya menjadi sibuk sendirian dan mencari-cari
temannya ke segala arah dan ke semua tempat.
Anak yang pertama kali ditemukan pertanda menjadi korban kekalahan dalam
petak umpet malam itu.
Keanehan muncul malam
itu. Boyidin, si bocah laki-laki yang usia sekolah menengah pertama tidak
bergabung dalam permainan itu. Ia mulai sebel dan jenuh dengan permainan malam
itu.
“Boyidin…, nggak mainan
ta…., sana loh ngumpul sama teman-temanmu!!! Dari siang tadi tidur melulu,
nggak bosan ta….” bentak ibunya setengah kesal.
Boyidin tak menyahut sedikitpun,
justru ia malah membengkokkan punggungnya di tempat tidurnya. Wajahnya
bersungut-sungut, tampak mbesengut dipalingkan dari pandangan sang ibunya..
“Biarkan Bu. Dia nggak
mau mainan kok dipaksa. Biar tidur begitu aja.” jawab bapaknya sambil memegang
cerutu yang mengepulkan asap. Ditemani secangkir kopi ia bersandar di kursi
yang menempel di dinding. Tangan kiri di atas meja panjang sambil memegang
cawan kopi, sedangkan tangan kanan mengapit cerutu dalam posisi lebih tinggi
dari kepala.
Bu Tutrina makin bingung,
perasaan makin sedih, rasanya serba salah. ia termenung sambil menerawang
ucapannya kemarin. Ia telah berjanji membelikan sepatu Boyidin namun janji itu
belum terpenuhi. Ia belum mampu membelikan sepatu Boyidin karena belum ada uang.
Beberapa minggu terakhir Boyidin mengeluhkan perihal sepatunya yang rusak. Ia
merasa malu dengan temannya karena sepatu untuk sekolah tiap hari sudah jebol.
Mungkin ini yang dipikirkan bu Tutrina.
Malam itu pun Boyidin
sudah tidak mau makan hingga ia tertidur lelap di ranjang tidur.
Keesokan harinya Boyidin
bangun lebih awal.
“Ibu…., dimana lentera
tua yang pernah kita nyalakan?” tanya Boyidin kepada ibunya.
“Lhowh…., kok malah nanya lentera segala. Sudah
lama ia tergeletak di kamar belakang tak terawat. Aku lempar ke sana sejak dulu.
Kan sudah ada lampu baru. Buat apa lentera itu?” jawab ibunya.
“Aku ingin nyambangi kandang kambing di malam hari tapi tidak ada
lenteranya. Lentera itu berguna buatku, Bu. Cobalah lihat sendiri. Tadi malam
bulan bersinar terang, cahayanya tidak bisa menembus ke kandang kambing kita.
Kandangnya gelap. Kalau sudah begini, apa gunanya cahaya purnama semalaman.”
sewot Boyidin.
“Beberapa hari terakhir ini aku kesulitan, aku sedih melihat
kambing-kambing yang berisik dengan anak-anak mainan di bawah sinar bulan
purnama, sementara kambing-kambing yang berharga dalam hidupku juga bermanfaat
bagi semua anak mainan menjadi resah karena ulah anak mainan. Dalam kegelapan
kambing gelisah mendengar lompatan dan hentakan kaki-kaki anak-anak bermain di
sekitarnya. Ia butuh lentera sebagaimana kita butuh penerangan.
Kambing-kambingku tidak butuh cahaya purnama malam itu, begitu pula aku,” jawab sang anaknya sambil menarik
sarungnya lalu disampirkan ke kayu samping rumah..
Ibu Tutrina terperanjat
kaget mendengar jawaban Boyidin. Ia anggap Boyidin marah karena Sepatunya yang
jebol, ternyata anggapannya itu salah.
Hati seorang ibu mana sih
yang nggak sedih melihat kelakuan Boyidin semalam yang cemberut, ngambek, nggak
mau makan, dan tidur melulu di ranjang tidur. Kini mencairlah sudah perasaan bu
Tutrina setelah sehari semalam beku karena ulah Boyidin.
Kali ini permintaan
Boyidin segera dituruti.
Bu Tutrina bergegas
menuju kamar belakang yang dijadikan tempat menyimpan barang-barang yang tak
terpakai namun barang itu masih layak pakai. Teriring rasa bahagia, sang ibu ini
tergesa-gesa menuju tempat lentera. yang sudah tahunan mangkrak.
Bu Tutrina membersihkan
batang lentera lalu dituangkan minyak itu ke tabung lentera. Sumbunya diganti kapas
yang memanjang.
Korek api pun diambil
lalu disulutkan api ke ujung kapas memanjang hingga terbakar sedikit. Kini
lentera menyala terang walau pagi itu raja siang menyapa dunia. Senyum mulai
muncul dari bibir Boyidin. Ibu Tutrina mematikan lagi lentera itu saat raja
siang terbit di ufuk timur bersama syahdunya kicau burung pagi bersahutan
dengan kambing-kambing.
“Nak….., matikan ya
lentera ini bila malam-malam telah bersinar cahaya purnama. Ini untuk kandang
kambing-kambingmu dan kamar kita. Yang di luar juga ada bulan purnama.” pinta
ibunya sambil menasehati anaknya yang sedang memasuki usia remaja.
“Ibu…., bulan purnama di atas sana telah menipu kita. Berharap
banyak padanya, tapi kenyataannya ia hilang tak berkesan. Ia telah munafik pada
kita. Kemarin muncul sekarang menghilang. Besok muncul lagi, lusa menghilang,
besok lusa muncul lagi, besok lusanya hilang juga. Sampai kapan ia begini.
Masak harus terus-terusan begini.” jawab Boyidin dengan kesal melihat kelakuan bulan purnama..
Ia pun mulai berucap
lebih jauh,
“Apa tidak sebaiknya kita menghidupkan lentera, lentara yang
jauh lebih berharga. Ia bisa kita perbuat kapan saja dan untuk apa saja? Tuh,
Bu, lentera sudah lama tergeletak di lantai kamar belakang dekat kandang
kambing sampai-sampai sarang laba-laba dan kumbang berkait-kaitan. Saatnya
lentera ini dirawat sekarang juga.
Ibu, lentera ini bisa kita bawa
kemana-mana, tetapi si bulan purnama tidak bisa dibawa kemanapun, malahan ia tak
berdaya menghadapi saat-saat kesulitan kita.
Acapkali ia menghilang saat kita membutuhkannya. .”
Bu Tutrina sejenak
mengerutkan dahinya. Ia merenungkan semua kata-kata anaknya.
“Anakku…., sejak kapan
kau tahu ini…!!!? Bukankah bulan purnama telah lama ada sebelum kamu lahir?”
tanya sang ibu dengan raut muka kecewa dan tak percaya ucapan anaknya.
“Bu…., yang terpenting bukan siapa yang lebih dulu ada,
tetapi apa yang diperbuatnya sudah bermanfaat setiap saat ataukah tidak. Walau
bulan purnama telah ada sebelum aku lahir ke dunia, bahkan ia ada sebelum
lentera ini dibuat, kenyataannya lentera tua ini lebih bermanfaat bagi manusia
dari pada cahaya purnama.” jawab Boyidin.
Sang ibu mulai terdiam
dan berpikir. Mulutnya terkunci rapat. Boyidin menjadi penasaran dengan diamnya
sang ibu. Wajah sang ibu masih menunjukkan rasa tak percaya.
“Kenapa Ibu masih saja seperti orang-orang di sana yang selalu
mengagung-agungkan cahaya bulan purnama. Lihat tuh ia menghilang kala pagi
orang mulai bekerja di sawah. Ia mengebumikan dirinya saat abah Dullah kerja dan
mengawasi kantornya. Ia hanya mendengkur saat Mak Fillah ke pasar membuka dagangan
sayurnya. Lalu apa hebatnya cahaya purnama? Lagian apa yang ia tampilkan selama
ini hanyalah semu belaka. Ia tak punya energi sendiri untuk memancarkan cahaya
di malam hari. Ahhh…., bisanya cuma nebeng doank. Kalau udah begini, lalu siapa
yang bisa menjamin bahwa ia sanggup menghantarkan kejayaan dunia.”
Sang ibu yang semula yakin
dengan kebenaran angan pikirannya dan percaya diri memberikan wejangan pada
anak tersayangnya kini makin diam seribu bahasa. Ia membolak-balik apa yang
semula diyakini kebenarannya.
“Ibu…., dunia tak pernah mengalami kejayaan oleh terangnya cahaya
purnama.
Justru lihatlah kota tua yang selama ini diperebutkan baginda
raja semakin tak karuan hanya karena terangnya cahaya purnama. Mereka enak-enakkan
duduk dengan minum-minumannya di bawah putihnya bulan purnama lalu tertawa
hingga melupakan rakyat yang melarat. Semua itu mereka lakukan hingga larut
malam. Belum lagi maling-maling kondhang berembug untuk menjalankan aksi
liciknya. Ketahuilah Ibu…., mereka semua lakukan di bawah terangnya cahaya purnama.”
Bu Tutrina termangu
sambil mengusap pipinya dengan bajunya. Linangan air mata tak kuasa dibendung.
“Lihatlah Ibu…….,
Mak Fillah yang setiap hari rajin buka dagangan sayurnya di
pasar tradisional lalu pulang, malamnya ia bersujud memohon agar laris dagangannya.
Begitu pula si Bondet tiap malam berzikir memohon kapan ia
bisa lepas dari jeratan derita nistanya. Bahkan si Poniyem yang banting tulang
peras keringat berlari dan berlari dari kemiskinan dengan napas terengah-engah
ia memanggul jamu ke setiap sudut-sudut kampung. Belum lagi kang Darko yang
miskin itu, barusan dari sawahnya yang kering tandus, ia sibuk pada sepertiga
malamnya dengan puja-puji doanya agar kelak anaknya jadi cerdas, berilmu,
beriman, dan menjadi pemimpin kerajaan dunia. Mereka semua lakukan ini bukan di
bawah terangnya cahaya purnama, tapi dari lentera yang ia nyalakan di sudut
ruangan tiap malam.”
Sang Ibu memeluk erat
tubuh Boyidin.
“Kamu benar anakku. Ibu
telah lupa akan pesan sang guru dari para penghuni istana raja pendahulu kita.
Aku ingat kembali semua ini, duhai anakku. Kini ibu tidak akan pernah tertipu
lagi oleh terangnya cahaya purnama yang penuh kepalsuan. Ia tak seindah yang
kubayangkan. Tubuhnya yang tandus dan gersang, sinar matahari yang ia pantulkan
telah berhasil mengubah paradigma manusia hingga semuanya terjerak dalam
pencitraannnya. Walau bulan itu hadir dengan terangnya cahaya purnama, ibu gak
bakalan percaya lagi dengan penampakannya. Selama ini ibu melintasi jalan-jalan
fatamorgana.
Boyidin ikut meneteskan
air matanya sambil berkata dengan terbata-bata.
“Ibu….., Lihatlah di atas sana, sebuah singgasana angkasa.
Bulan purnama itu tersenyum di saat kemarau begitu panjang.
Sementara di sekelilingnya berarak-arak mendung hitam
sesekali menutupinya. Bila ia tertutup awan, lalu dimana kita melangkah kita
tak tahu arah dan tujuan, yang ada hanya gulita malam. Bulan purnama tak kuasa
berbuat apapun.
Sebaliknya saksikan pula, duhai ibu…..,
Saat-saat musim berganti hujan, bulan purnama tiada lagi
bercahaya, ia mati bagai benda mati yang terkubur oleh gundukan tanah hitam.
Kita pun tidak bisa melangkah meraih impian karena segalanya
gelap, lalu dimana cahaya bulan purnama yang dibangga-banggakan oleh setiap
orang?”
Boyidin terlepas dari
dekapan bundanya. Ia mengambil lentera yang baru saja terjatuh dari tangan sang
ibu saat mendekap Boyidin.
“Lihatlah lentera di tanganku, Ibu.
Setiap saat bisa kugenggam. Setiap saat bisa kunyalakan.
Cahayanya bisa mengalahkan terangnya cahaya purnama di atas
sana.
Bila saat kemarau tiba dan mendung sesekali menutupi
cahayanya, saat itu pula aku bisa menyalakan lentera ini.
Bila hujan tiba aku pun bisa berjalan kemana saja, dibawah
payung nan kemilau rintik hujan tak sanggup menyentuh tubuh lalu lentera pun menjadi
hidup bila kusulut. Sementara bulan purnama di atas sana tak punya cahaya hanya
karena hujan.
Ibu….., inilah lentera buat kehidupan kita. Jangan sia-siakan…..
Jangan menghidup-hidupkan harapan pada sebuah kepalsuan bulan purnama biarpun
ia di atas sana lebih tinggi tempatnya dari kita. Aku yakin dan pasti cahaya
lentera ini bisa menembus kegelapan malam hingga esok pagi menjelang.”
Bersambung…….
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa
Istilah:
ngumpet
nyambangi
nebeng
ngambek
sewot
=============================
RUNTUHNYA KOTA TUA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.
RUNTUHNYA KOTA TUA
Diambil dari kisah kehidupan
rakyat desa.
Lokasi Peristiwa:
Ditulis di Surabaya, Sabtu, 11
Maret 2017
Dipublikasikan
pertama kali pada hari Kamis 16 Maret 2017 jam 11.08 malam
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana)
Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan
S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis adalah seorang pengajar, penyair,
dan cerpenis.
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)