Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Thursday, January 1, 2015

Sprinkling in Silence 9 (Percikan dalam Kesunyian 9) : Romantic Love Cleaved by Thunderclap (Asmara Terbelah Petir)


ROMANTIC LOVE CLEAVED BY THUNDERCLAP
ASMARA TERBELAH PETIR
Tepat jam dua siang saatnya aku pulang dari perkuliahan. Aku bergegas menuju parkir belakang, di sana berjajar mobil-mobil. Agak keluar sedikit dan menepi merapat pagar besi parkir kusandarkan sepeda pancalku. Ku tunggu beberapa menit sahabat setia, Iyoh dan Huwie namanya. Lama sudah aku menunggu. Maksud hati ingin segera pergi ke sumur tua belakang gedung berlantai tiga tapi batin bergetar masih ketakutan karena tempat itu tampak angker dan tak bertuan meski berada di antara gedung-gedung mewah dan rumah mewah. Hari makin sore, sebentar lagi petang datang menjelang.
Kekhawatiran makin menjadi-jadi saat dua sahabat setia yang sekian lama berteman akrab denganku tak kunjung datang.
Selang beberapa kemudian, mereka berdua datang dengan senyum mesra-mesra. Dengan menuntun sepeda pancalnya mereka berjalan senada seirama. Dengan wajah segar bugar dan bibir yang klemis pertanda sudah makan siang mereka tak peduli berapa lama diriku dalam penantian.
Aaaaahhhhhhhhhh…….…, dia tak tahu gejolak jiwa yang sudah sekian lama mendera. Bahkan kemroncong kemruncung perut yang semestinya harus terisi kini kunistakan. Ia kupadamkan. hasrat untuk menyantap makanan serta merta tak terasa karena kantong lagi kempes, serupiah pun tak berlabuh di kantong-kantong celana. Cuma keinginan sebentar lagi aku bisa mencari keres di atas sumur tua. Keres-keres hijau kemerah-merahan lalu memerah sebagai tanda sudah matang untuk siap disantap. Ia yang kudamba.
Mereka tampak santai dan tak merasa terlambat sudah kedatangannya yang sudah dijanjikan sebelumnya.

Dua anak manusia yang sekian lama setia bersahabat kini makin mendekat. Senyum sapanya menyebar dari bibir klemis-klemis nan mulus. “Sudah lama ta Shan? Kok diam aja, tampak lemas begitu?” Sapa mereka berdua. “Dari tadi kutunggu, gak nongol-nongol, kemana saja? Lihat ini makin sore. Kita belum ke sumur tua  tempat pohon-pohon petai itu.”sungut-sungut wajahku sambil menyahut.
“Hayo, ayo, ayo……, cepet ke sana?” ajak mereka.
Aku pun bergegas meninggalkan tempat dimana sepeda pancal kuparkir. Segera kami bertiga menuju sumur tua dimana pohon keres tua berdiri tegak dan petai-petai liar tumbuh menjulang yang ketinggiannya melebihi gedung-gedung berlantai tiga.
Kami memasuki lahan kosong angker itu, ia tak terawat, memang rumput-rumput liar tumbuh di sini, di antaranya berjajar-jajar pohon petai tua yang tumbuh liar juga. Kami berada di dalamnya, tampak agak gelap dan sunyi. Kami bertiga menjadi bagian kesunyian dan keangkeran sumur tua. Kupandangi atas. Langit tak kelihatan. Ia tertutupi oleh daun petai dan pohon besar. Sinar matahari tak sanggup menembus kegelapan tempat ini. Sumur tua makin tampak angker. Kami tak tahu saat itu untuk apa sumur itu dibangun masa lalu? Untuk siapa sebenarnya? Tampak sedikit airnya. Ia dipenuhi onggokan sampah daun keres dan daun petai. Ia sudah lama tak berpenghuni, Cuma rumput liar setinggi bokong yang tumbuh di sekelliling sumur tua dan beberapa hewan merayap. Beberapa burung kecil riang berdendang di antara ranting-ranting pohon. Mereka bersiul dan bernyanyi dari ranting ke ranting.
Kami mendekati pohon keres. Pohon yang makin menua menebarkan bunga, ia menampakkan buah-buahnya. Yang sudah setengah matang tampak mulai memerah. Yang sudah tua benar-benar merah merekah diantar hijau daun-daun. Daun-daunnya tak pernah kekeringan. Pucuk-pucuknya tumbuh bersemi semi menjuntai ke angkasa, sebagian lagi merendah seolah menyatu dengan bumi. Tidak perlu memanjat pohonnya, cukup dengan ayunan tangan ke angkasa lalu jari-jemari menuju buah-buahnya kami bisa memetiknya. Berlimpahan buah keres tidak membuat kami berebutnya. Kami puas menikmatinya.
Kini perutku terisi buah keres-keres setelah sekian lama keroncongan menyanyikan lagu-lagu perjuangan.

“Shan, di sini yang matang banyak Shan.” ungkap Iyoh dan Huwie. “Ya, di sini juga banyak kok.” jawabku sambil mengunduh buah dan memasukkan ke dalam mulut. Lumayan lama kami menikmati buah keres di sini.

“Shan, gak mencari petai ta? Sudah sore!!! Tadi bilangnya sudah lama nunggu, sudah makin sore, malahan sekarang cari buah keres. Katanya tadi sudah terlambat.” perintah Huwie.
“Iya. Aku harus memanjat petai itu.”sahutku.
Kuletakkan tas dan buku di tanah dekat sumur tua di bawah pohon keres.
Kali ini aku peluk pohon petai sebesar paha kiri Bang Dullah. Kupilih pohon ini karena banyak petai yang sudah tua dan mengering di pohon ini walau tidak sebesar lainnya. Kupeluk kuat dan kugerak-gerakkan kaki dan tanganku. Aku merayap mirip ular yang membelit-mbelit pohon hingga ke ranting-ranting atas. Ranting-ranting dimana bergerombol petai-petai kering. Kugerakkan tubuh melompat-lompat dari ranting ke ranting mirip sang monyet di pohon. Aku beraksi di antara ranting-ranting petai.
Kupetik satu dompyong dompol lalu kujatuhkan ke tempat dekat Huwi dan Iyoh.
“Shan, hati-hati jangan tinggi-tinggi. Nanti jatuh Shan.” tegur Huwie.
“Iya, Huwie. “ sahutku.
“Krosak…, krosakkk…., krosakkk….” Suara petai tua kering yang kulempar dari atas ternyata jatuh di tengah rumput lebat.
“Shan, jangan dijatuhkan di sana. Gak bisa ditemukan, ia masuk ke dalam rumput-rumput itu. Susah diambil. Sulit dicari.” kata Huwie.
“Aaaaaaaah gitu aja gak mau ambil, tinggal ambil di rumput aja kok rewel.” jawabku.
“Ambillah, petai itu.” pintaku.
“Nggak mau, ahh. Siapa yang mau mengambili petai di rumput yang ketel? Ya ambil sendiri nanti.” jawab Huwie dan Iyoh serentak. Makin genit aja suaranya.

Mereka makin tak mau mendengar jawabku. Justru mereka asyik ngobrol santai mesra berdua dibuai asmara sementara aku hanya asyik memeluk pohon petai dengan nafas terengah-engah.
Mereka asyik dalam lautan asmara dengan megang-megang petai kering sesekali mainan keres-keres merah merekah. Di hadapan mereka sumur tua tak bertuan. Mereka asyik menyatakan janji-janji asmara masa depan. Tawa mesranya terdengar dari atas pohon petai.  Aku tak menggubris mereka walau mereka memadu asmara. Yang penting aku ditunggui, yang penting aku tidak ditinggal pergi, aku takut dengan keangkeran sumur tua.

Kini aku sudah di ranting paling atas. Ketinggiannya tiga meter lebih tinggi dari gedung yang berlantai tiga. Hari makin sore. Kulihat dari pucuk pohon sang surya makin merendah di barat sana. Mendung-mendung berarak-arakan dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Ia menutupi birunya langit yang dari siang tadi membentangi sumur tua.
Angin makin kencang, awan sudah mengumpul, serasa hujan akan datang, aku masih tetap di atas pohon,

Tak lama kemudian gerimis lembut sudah mulai membasahi daun-daun petai dan rimbunan daun lainnya. Dua sahabatku yang sekian lama dilanda asmara tidak peduli dengan gerimis itu, mereka masih bisa berlindung di bawah pohon keres, tempat yang aman untuk berteduh.
“Shan, hujan, Shan.” jeritan Huwie dan Iyoh.
“Sudah, Shan. Besok lagi Shan.” larang Iyoh.

Aku diam. Aku cuek. Tak berucap sepatah kata pun. Ku peluk pohon itu kuat-kuat, tubuhku berayun-ayun bersama pucuk-pucuk daun. Kaki bergoyang-goyang hingga beberapa ranting yang kuinjak kini patah. Hampir-hampir terjatuh, angin berhembus amat kencang. sudah tak bersahabat lagi.
“Krak………., pyokk……………, byokkkkkkk…………...!!!!!!!!!” suara ranting yang patah jatuh lalu tersangkut di antara pohon petai yang masih rendah.
“Shaaaaaaaaaaaaannnnnnnnn……….., awas jatuh. Hati-hati……….,!!!!!!!!! Shaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnn………..!” jeritan mereka berdua makin menyayat hati. Mereka mengira aku sudah jatuh dari pohon. Mereka bubar dari tempat duduknya mencariku ke sekelilingnya. Mereka berkata-kata seraya mendongak ke atas memandangi tubuhku di pucuk pohon petai. Melihat keadaanku masih di atas pohon petai dan tidak terjatuh, mereka kembali mencari perlindungan ke bawah pohon keres.
Ku tak kuasa menahannya. Ku tak mampu berbuat. Awan tebal di atas kepala. Angin bertambah sangat kencang. Ia menerjang tubuhku.
Sesaat kemudian.
“Tharrrr……!!!!!!!!!!” petir menyambar-nyambar pohon sekitar.
“Shaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnnnn………………………………..” suara Huwie dan Iyoh memangil-manggil namaku. Suara mereka keras lantang namun tak terdengar jelas olehku. Jeritan mereka hilang ditelan halilintar dan gemricik hujan.
Bersahut-sahutan petir membelah asmaranya. Menghancurkan sendi-sendi asmara yang sekian lama dibangun. Membuat mereka semburat mencari perlindungan. Kali ini suara halilintar menggelegar benar-benar memecah kesunyian. Bahkan tidak hanya itu, terkejut aku tiba-tiba. Aku tak tahu apa yang terjadi. Ketakutan menghimpit pikiran dan perasaan. Basah kuyup tubuhku. Aku mencoba tidak bergerak. Tubuhku bergoyang hebat bersama kencangnya angin. Angin yang kuat menerjang pucuk-pucuk pohon petai. Rasanya ini akhir sebuah kehidupan. Hanya kepasrahan aku sandarkan. Hanya keterpaksaan ini semua kulakukan.  Kupeluk erat pohon petai ini walau sebesar paha kiri bang Dullah. Kupeluk, kupeluk, dan kupeluk erat dalam kedinginan dan kengerian tak tertahankan.

Tiba-tiba………..
Suara lelaki besar dan tua terdengar kukuh menggema dari langit. Menembus tajam ke pikiran dan perasaan. Ia memanggilku hingga merasuk ke sukma.
“Turunlah.., kau sudah mendapati apa yang selama ini kau impikan. Kau sudah kuat menjalani keadaan ini. Kelak kau meraih tempat yang lebih tinggi dari saat ini walau badai kehidupan menimpamu seperti kuatnya angin dan petir menerjang. Turunlah….. “ ucap suara lantang dari angkasa yang tampak jelas di telinga. Lalu suara itu hilang disambar petir berseling hujan.
Akhirnya aku putuskan untuk turun dari pohon. Perlahan aku turun. Licin dan berayun-ayun pohonnya walau tak sekencang ayunan tadi. Aku sudah mendapatkan petai tua kering sebagai benih untuk kehidupan manusia walau petai yang kudapat tak seberapa. Ia akan kelak berguna bagi manusia lainnya dan para binatang.
Hari makin gelap, Kami bertiga tak memiliki arloji atau sejenisnya sebagai penanda waktu. Kami  hanya mengira-ngira saja soal waktu yang bergulir sedemikian cepat. Hanya petir menyambar-nyambar pohon petai menandai saat berakhirnya siang. Petir yang kini membelah asmara dua insan. Tak hanya itu Ia menghancurkan suasana sumur tua, Ia mengusir kami dari tempat itu. Percikan air hujan tak kami hiraukan. Percikan demi percikan hujan menetes dalam kelelahan. Butir-butir asmara kini berjatuhan bersama percikan hujan. Tinggallah puing-puing reruntuhan oleh kejamnya halilintar. Kami berucap selamat tinggal sumur tua diselingi suara halilintar bersahut-sahutan. Saatnya kami undur diri dari sini menuju kehidupan yang membentang di sana.
  

Lokasi Cerita Pendek Aktual di Dekat Pojok Tenggara Jalan Ketintang Wiyata.
Tanggal peristiwa actual pada 3 Januari 1999,
Ketintang, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.
Serial Kisah Sunyi yang ditulis pada tanggal 1 Januari 2000.
Dipublikasikan pertama kali di blogspot pada tanggal 1 Januari 2015 dengan alamat http://ikhsanfalihi.blogspot.com


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)