Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Wednesday, January 25, 2017

Sprinkling in Silence 17 (Percikan dalam Kesunyian 17) : Poet on the Riverside (Pujangga Pinggir Kali)

القصة القصيرة :

الشاعر على  Ø´Ø§Ø·Ø¦ النهر
POET ON THE RIVERSIDE
PUJANGGA PINGGIR KALI
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
SECOND REVISION (REVISI KEDUA)
Tahun berganti, musim pun berganti. gerimis kian menjadi-jadi seolah menurunkan percikan kata-kata bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya itu yang kepanasan seketika menjadi dingin dibuatnya, bahkan tumbuhan yang sekian bulan hanya mengerutkan bibir-bibir daunnya ketika ditimpa angin lalu kini mulai membukakan lembaran-lembaran kehidupannya. Ia buka lebar-lebar menadahkan rezki yang mengguyur dari langit. Yang pasti, bagi siapa saja yang peduli mengambil maknanya.

Manusia yang konyol pun larut dalam euphoria gerimis datang menjelang. Manusia yang pintar bersyair ikut menuliskan kata puitisnya. Demikian juga manusia yang tak konyol dan tak pandai bersyair juga ketiban dinginnya gerimis di awal januari hingga menjadi pujangga dadakan yang puas menlukiskan titik-titik air yang berjatuhan dari langit. Pendek kata, Januari kali ini bukanlah Januari-Januari terdahulu atau sebelumnya, bahkan bukanlah Januar-Januar sebagaimana biasanya.

Di sisi lain manusia yang tempatnya berlangganan banjir hanya bisa mengernyitkan dahi, tampak kerisauan yang mendalam jangan-jangan gerimis datang membawa banjir yang memasuki ruang tamu. Padahal semua orang tahu ruang tamunya hanya bisa dimasuki oleh kolega yang parlente dan berduit serta konglomerat.  Yang melarat tak perlu singgah ke ruang tamunya. Paling-paling puas memandang kemewahan rumahnya dari balik pagar pinggir jalan. Puaslah sampah-sampah dan kotoran selokan yang menjadi tamu istimewa yang kerap membasahi dan menyegarkan kaki kursi dan meja yang sudah dibeli dengan ratusan juta rupiah dari luar negeri. Simbol kejayaannya terukir di ukiran meja hias dan lampu gantung kerlap-kerlip temaram dan remang-remang mesra.
Ahh ….. apa peduliku dengan semua itu. Bukankah itu semua fenomena alam yang menjadi bagian kehidupan dan memang harus dirasakan dan dialaminya agar menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan setiap manusia. Buat apa takut dan risau. Sebaiknya jalani saja, alami saja, agar semuanya menjadi berkah.

Aku terbias oleh perasaan betapa dinginnnya gerimis di awal Januari 2017. Gundukan kering tanah yang mongering kini berakhir bersama percikan air dari langit. Ia bersamaku menerima kadar kehidupan yang baru dan segar. Pada sisi lain kehidupan, kucoba merasakan apa yang kuterima dari Januari 2017. Apakah sama dengan yang diterima oleh para pejabat teras dan konglomerat ketika menapaki tahun berganti seiring musim beralih Tidak juga, justru pikiranku tersentak, dikagetkan oleh dering ponsel tulalit tulilat telolet tholet tholet…..
Mataku terbelalak menjadi tertegun kalbu saat-saat folder ponsel terbuka. Kini yang kudapat hanyalah untaian kata yang dimirip-miripkan karya sastra fenomental. Kubaca tulisan itu dengan harap-harap bahagia
“Ketika virus kata-kata kau tabor, maka imajinasiku jelas tanpa kabur. Bakat yang lama terkubur mulai tumbuh bersemi subur.. Berteman dengan penjual minyak wangi tentulah akan mencium aroma kesturi  suatu konsekuensi.
Dekat berdiri….
Seorang pujangga telah memberi inspirasi kata-kata dari penyair pemula seberang kali yang masih perlu belajar dan menimba. (Dari Pujangga Tua, Pujangga Pinggir Kali)“
Ada senyum, rupanya seorang Pujangga Pinggir Kali sedang mengisi ruang folder awal januari. Biarlah Januari ini menjadi ruang tersendiri baginya. Lalu kututup folder ponsel hingga beberapa waktu.
Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel terdengar keras di perjalanan. Ku pinggirkan sepeda, berhenti sejenak lalu kubaca pesan itu.
 “Rojen dan Barkoh membawaku ke desa Kedung Pengkol dengan motor corot thronthong throntong nggreng ngeeeeeng dan segelas es serta kerupuk dari rombong reyot mbak inem sampkng pos ronda jati tua berdebu. (Sepenggal cerita penawar rindu membara)”
Ya ampuuuun…, Pujangga Pinggir Kali telah mengambil isi cerpen yang pernah kuterbitkan di Blogger beberapa bulan sebelum untain kata-kata tersebut dikirim padaku. Tepatnya cerpen berjudul BARA CINTA (LOVE COALS OF LOVE). Sang Pujangga Pinggir Kali telah memiliki insting yang kuat kalau cerpen yang bertitel BARA CINTA sempat dibaca teman facebook dari barat dan dari jazirah arab. Biarlah mereka nikmati cerpen yang sengaja kuberikan Cuma-Cuma. Kututup lagi folder ponsel. kulanjutkan pekerjaaanku.
Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel memanggil-manggil.
Kuambil ponsel dari saku celana lalu kubuka foldernya.
Dalam keramaian kutemukan kesunyian.
Dalam gemerlapnya sinar kutemukan kegelapan.
Dalam kesunyian kutemukan cahaya.”
Sejenak kurenungkan makna tulisan yang ia buat. Kembali kututup folder ponsel, ah pekerjaanku masih menumpuk harus diselesaikan secepatnya dengan sebaik-baiknya. Kubiarkan berlalu begitu saja kata-kata Pujangga Pinggir Kali’. Keesokan harinya, Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel memanggil-manggil.
“Masih kucari bagaimana kutemukan formula hitung berapa maksimum luasnya cinta.
Ada kebimbangan di dada…..
kugunakan differensial…., integral…., atau Sn deret tak hingga
Semakin kudiam dalam sepi malam dan pagi.
Baru kutahu….., Betapa luasnya cintaku padamu….
tanpa ragu, tanpa perlu kuukur lagi itu.
Cintaku padamu seluas samudera biru jawabku…(Dari Pujangga Pinggir Kali 2017).
Kali ini aku termangu usai membaca fatwa keluasan dan kedalaman cinta Pujangga Pinggir Kali. Aku makin tersenyum, melihat Pujangga yang baru saja menemukan berkah rintik-rintik gerimis.
Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel
Kubuka folder ponsel, lalu kubaca
“Masa kecilku berlari menjauh sudah.
Seribu kenangan indah di sungai dan sawah…
di bawah langit biru tinggi megah…..

Masih kuingat kemarin masih muda
sekarang menua lemah……….
hanya waktu yang bisu menjawab lelah……….
terus berjuang atau pasrah mengalah…
mengawal bocah-bocah menggapai cita-cita
demi masa depan bangsa yang cerah
masa depan di tangan kita yang tetap harus berdiri gagah….
(Dari Pujangga Pinggir Kali untuk sang Raja Penyair Masa Kini)”
Kurenungkan untaian kata Pujangga Pinggir Kali hanya beberapa menit. Tengah malam tulisan ini masuk ke folder ponsel menjelang bobok. Tak terasa kantuk pergi menjauh. Ketakutan kantuk akan beban sarat moral yang terkandung dalam kata pujangga kali ini tak bisa didiamkan. Aku merenungi. Sang pujangga sadar bahwa adanya diriku dalam kesunyian di antara percikan gerimis hanyalah penggemblengan anak bangsa dengan beragam cobaan dan kesulitan. Tiada pilihan lain selain berjuang dan mengabdi dengan lentera berenergi seadanya walau sulit dan sunyi silih berganti.

Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel
Kubuka folder ponsel.
“Orang-orang rela mengantre panjang, mengular berjubel lebih dari satu jam hanya untuk membeli dan mendapatkan dua porsi makanan ayam goreng siap saji yang hanya habis disantap sekitar tujuh menit….di mall Malioboro kota Djogdja. Yang sudah terjebak antre tidak bisa balik. Mau tak mau harus sabar sampai gilirannya, sudah terlanjur sampai titik darah penghabisan.
Kalau gini jadi ingat dua sejoli yang sudah terlanjur bersanding duduk di pelaminan dengan penuh keterpaksaan…… Demikianlah sepenggal larik-larik kata yang kurangkai untukmu wahai temanku sang Raja Penyair. Kutunggu-dan terus kutunggu kalimat bersayap indah dalam syairmu.sekedar menghilangkan dahaga kata yang indah. (Dari sang Pujangga Pinggir Kali).”
Hmmmm….., kali ini sang Pujangga Tua hanya ingin menunjukkan posisinya yang lagi asyik bergebyar-gebyar di mall Malioboro. Ia sengaja menghabiskan hari-harinya hanya dengan kesenangan bersama konglomerat dan pejabat kaya, tak peduli si miskin di belahan bumi lain, pun tak peduli esok lagi ada kehidupan panjang menanti. Ya tuhaaaaaan….., ulah sang Pujangga Pinggir Kali bikin aku jadi kepincut. Sihir-sihir kesenangan dan gemerlapan kemewahan dunia ia pertontonkan di saat dunia makin menua di ambang senja. Apa boleh buat aku hanya disuguhi cerita-cerita senangnya saja, sementara kehadiranku dalam kesenangannya tak dibutuhkan. Biarlah……………, pada sebuah hidupku semua akan bahagia dan mempesona pada waktunya (Everything will be nice and happy in due course…).

Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel. Kembali kubuka folder ponsel yang sedang terhubung kuat dengan internet.
“Apakah ada bedanya…?
Memburu bayang-bayang semu dengan duduk diam membisu pikiran jauh melayang menyusuri batas-batas langit…?
Sama-sama kosoooonnnng………!!!
Tinggal bagaimana kita menyikapi. (Dari Pujangga Pinggir Kali)”
Saya pun tak berpikir akan hal ini. Kugeletakkan ponsel begitu saja ke bantal pembaringan. Yang kutahu hanya percikan gerimis yang mendingin dan membanjiri ruang-ruang kehidupan para hartawan, pejabat teras, dan konglomerat. Aku tak kuasa apa-apa. Batas-batas langit tak mampu dijangkau lagi oleh pemilik dhuit, langit beserta seluruh penghuni mencurahkan gerimis ke bumi. Pikiran manusia tak sanggup menyusuri batas-batas langit. Kini di bawah langit telah terhijab gumpalan awan yang tak sanggup ditembus sekalipun pesawat terbang atau sinyal suatu radar membubung nun tinggi jauh. Butuh waktu dan doa untuk memecahkan persoalannnya. Bukan saatnya menyusuri batas-batas langit. Tidakkah kau sadari akibat kerusakan bumi kini batas-batas langit memercikkan air mata yang menyiram ke bumi, lalu penduduk bumi mengira ini berkah berjatuhan dari langit, dan dalam waktu bersamaan mereka tenggelam separuh raga, separuh nyawa, atau bahkan keseluruhan jiwa raga, padahal sebenarnya itu hanyalah murka manusia terhadap harta, tahta, dan wanita.
Dering ponsel tak berselang lama, keayunkan tangan kearah bantal, ponsel kejepit di bawah bantal. Haaaesss…., susah amat kemana ponsel tuh, pakai sembunyi segala.
“Ketika dunia membawa jiwa
Ketika semua menjadi terlena karenanya.
saat itulah sebenarnya kita menjadi tersandera.
mengejar harta, tahta, atau wanita.
kita tukar bahgaia hakiki dengan yang semu menggoda jiwa. Logika matematika dimensi ke-n perlu dikaji kembali tentang suatu masa dimana kita belum ada dan setelah kita tiada…., tinggal dimana pilihan kita.(Dari Pujangga Pinggir Kali)”
Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel
Sejenak kuhientikan pekerjaanku, aku teringat pabila masa diperhitungkan sebagai pertimbangan akan seberapa besar tumpukan harta yang didapat atau berapa banyak anak yang dimiliki atau bahkan berapa kecantikan yang sudah dirampas hingga menjadi milik pribadi, maka tiada bedanya antara ada dan tiada. Keberadaan manusia yang sehakikatnya adanya sama saja dengan ketiadaannya. Kehadirannya haruslah diperhisabkan sebagai hadirnya kehidupan sekarang dan akan datang, agar manusia tahu akan hakikat perbedaan antara antara ada dan tiada.
Dering ponsel menyusul dengan cepat.
“Ketika rindu menerpa….
Ketika cinta menggoda….
ketika hati bicara…
ketika dua manusia terpanah asmara, dunia menjadi penuh mesra.
Dunia menjadi milik mereka berdua…
Teringat cinta sepasang muda-mudi …(Dari Pujangga Pinggir Kali)”
Sambil meresapi rangkaian kata-kata pujangga pinggir kali, aku terus mempercepat kencangnya sepedaku agar tidak terlambat mengajar.
Keesokan harinya ponsel itu bordering kesekian kali
“Seraut wajah bersinar….
tersungging senyuman manis penuh manja…
kau tawarkan sejuta harapan dan asa…
bagi diriku yang baru mengenal tentang apa artinya cinta
Kau hunjamkan panah asmara ke dalam dada…
kau pancarkan sinaran mata…..
jantungku mendadak berhenti seketika…
pada pujangga tua yang telah dimakan usia
sebuah penantian panjang menghapus duka….
(Dari Pujangga Pinggir Kali 2017)”
Senyumku juga lepas, ha ha ha haaaaa….., sang Pujangga Pinggir Kali mengerti apa yang sudah kutuliskan di Blogger Ikhsan Falihi I Love You, Aku ajarkan cinta kepada sesama, Pada pikiran, ucapan, perasaan, dan tindakan haruslah cinta kasih tersemai agar tumbuh bersemi. Ketahuilah wahai semua kawan, “Mencintai tidak harus memiliki." Ketahuilah olehmu wahai manusia, “Bercinta bukanlah berlandaskan nafsu birahi semata. Karena cinta adalah sesosok makhluk yang bersih putih nan suci adanya. Ia dibangun oleh sang MahaKuasa sejak lahir hingga ajal tiba. Kini mulai sekarang ajarkan cinta pada sesama. Senyumlah bersama cinta…...”
Folder kututup, ponsel kugeletakkan begitu saja.
Beberapa hari kemudian untaian kata Pujangga Pinggir Kali nongol kembali.
“Bayanganmu kini hadir kembali…
setelah sribu tahun kumenanti…
senyummu masih seperti yang dulu…
masih kusimpan di dalam kalbu yang lama membeku.
jangan pernah kau pergi lagi dariku.
karena aku lemah dan akan mati tanpamu….
jangan pernah lagi tinggalkan aku…
betapa aku rindu dan sayang padamu
Aku mengerti Pujangga Pinggir Kali benar-benar mulai berlatih menjadi Pujangga Cinta, Ia mulai asyik menjadi pujangga dadakan yang berusaha keras menyejajarkan dirinya pada tahta kemasyhuran pujangga masa silam. Bait-baitnya mulai mengalir seperti gemercik air pinggir kali yang kandas bebatuan terjal. Saya tak mau tahu tulisannnya hasil menjiplak, hasil menyadur, hasil imajinasinya sendiri, atau bahkan hasil bertapa diri. Di akhir tulisan yang dikirimkan ke saya hingga masuk ke inbox adalah
“Bisikan daun jati di tengah senja.
Mengajak hati untuk berkata-kata
Ada kenangan manis masa lalu yang tertulis indah.
Bagai kata puitis dari para pujangga…
Masa lalu memang telah pergi jauh
namun gambara itu masih tetap utuh
dalam simpul-simpul ingatan yang tak akan pernah musnah dan luluh
tetap terjaga sampai kita menjadi tua dan rapuh.
(Demikian Bisikan Daun Jati 2017).”
Walah…., walah…, walaaahhh…,  sang Pujangga Pinggir Kali rupanya mendapatkan bisikan dari daun jati. Ia meleburkan pikiran bersama ayunan daun jati ketika gerimis berjatuhan ke bumi, maklum daun jati tak sanggup menampung apa yang gerimis runtuhkan. Namun apalah daya daun jati hanya bisa membolak-balikkan lembarannya bagai telapak tangan manusia dalam tarian kegembiraan menyambut datangnya musim tanam padi dan musim panen padi.

S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Ketiban = kejatuhan.
Dhuit = dhuwit = nuqud = fulus = uang.
Haaaesss…. = ungkapan membentak dengan nada kesal.
Walah…., walah…, walaaahhh…,  = ungkapan untuk menggambarkan keadaan perasaan yang tersentuh oleh ucapan atau kejadian yang berbeda dari biasanya.
=============================
PUJANGGA PINGGIR KALI
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

PUJANGGA PINGGIR KALI
Kisah yang tercipta dari kehidupan nyata rakyat Surabaya.
Kejadian di : -
Ditulis di Surabaya, Senin 2 Januari 2017
Dipublikasikan pada hari Rabu, 25 Januari 2017
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id

Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika di perguruan tinggi swasta.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.

Penulis masih aktif menyusun syair.


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)