Tuesday, August 22, 2017
Sprinkling in Silence 22 (Percikan dalam Kesunyian 22) : Inclined Food Stall on the Riverside 3 (Warung Doyong Pinggir Kali 3)
8/22/2017 09:51:00 PM
Kisah Sunyi
INCLINED FOOD STALL ON THE RIVERSIDE
WARUNG
DOYONG PINGGIR KALI
Written and Arranged By Ikhsan,
M.Pd.
Ditulis
di tepi kali Brantas Karang Pilang Jln Mastrip, Selasa, 5 Juli 2011
SERI
3
“OOOaaa…,
aaaa….” teriakan tangisan si kecil berusia kelas dua sekolah dasar terdengar
khas dari celah gubuk reyot pinggir kali.
Kesunyian pagi menjelang
kuncup-kuncup putri malu bermekaran di sekitar rumah dan pekuburan itu sontak
terpecah oleh suara histerisnya.
Aku yang seorang awak
rendahan cuma bisa mendengar lengkingan seorang bocah sambil menyusuri tebing
kali yang di atasnya mengular jalan-jalan kota pahlawan. Di sini memang
beberapa dekade silam menjadi penanda gebyar ditabuh-tabuhkan gong kebesaran Maha
Pahlawan di bumi nusantara.
Di sini pula para Maha Pahlawan
menenggelamkan ruas-ruas bambu runcing untuk dikirim ke pusat perjuangan. Dengan
menggunakan derasnya kali Brantas Jalan Mastrip Karangpilang Surabaya kegigihan
mereka begitu deras mengalirkan darah-darah perjuangan. Pusaran arusnya telah
menandai tingkat kesulitan menggapai cita-cita pejuangan. Mungkin kali ini
pendar-pendar perjuangan pak Pehih terpancar bebas di antara gumpalan asap
kendaran bermotor dalam raungan mesin-mesin canggih.
Tak terhentikan sama
sekali keadaan ini. Si kecil yang harus memperjuangkan kebebasan berpikir, kebebasan
menjalani kehidupan yang sudah beberapa tahun di tinggal pergi ibunya menjadi
TKW di Hong Kong. Sementara pak Pehih hanya sekedar menunggu orderan dari para
kuli bangunan. Terkadang sepi, terkadang ramai, bahkan terkadang pak Pehih
hanya nongkrong menyendiri memandangi kali Brantas Karangpilang di saat
istrinya harus bergulat dengan piring-piring Hong Kong.
“Nasi kuniiiiinnnnng….,
nasi kuniiiiiiiing…., “ teriak penjual nasi kuning yang membawa beberapa
bungkus nasi di boncengan belakang sepeda pancal butut.
“Nasi kuning…., aku
beli…aku beli!!!” teriak si kecil anak pak Pehih.
Penjual itu menghentikan
sepedanya dan menoleh ke arah si kecil. Kemudian ia balik menghampirinya.
Sementara aku dari kejauhan masih memperhatikannya sesekali menyenandungkan
syair-syair kemasyhuran cinta dan beberapa lafal bangun yang mengokohkan
kehidupan.
Aku harus memutar
kembali jalan ini. Pinggir kali karangpilang telah menobatkan diriku sang
penyair muda dalam obrolan bangun tua dan gubuk reyot pak Pehih.
“Pak Pehih…, santun pagi,
Pak..” sapaku.
“Oh ya ya…, jalan-jalan
toh…,” jawabnya sambil mengenakan celana pendek kusam lawas, tanpa secuil baju
yang melekat di tubuhnya. Yahh…, cuma celana pendek kusam lawas .
Beberapa bongkahan batu
di pinggir kali karang pilang mastrip kebraon ini kududuki sejenak sambil
memandangi beberapa sepeda motor yang saling mengejar.
“Ayah…, aku berangkat…”
pamit si kecil.
“Ya Nak , Hati-hati di
jalan. Rajin-rajinlah belajar di sekolah.” sahut pak Pehih sambil mengecup pipi
si kecilnya.
“Kapan istrimu sambang
ke Jawa pak Pehih? Rupanya Dia sudah kerasan di Hong Kong.” tanyaku.
“Tahun depan mau sambang
ke Jawa.” jawabnya.
“Kemana kamu Lencir?”
tanyanya.
“Biasa pak Pehih…,
Jalan-jalan kan? Mumpung masih pagi, aku nikmati segarnya pagi. Dingin pagi
membuat tubuh ini hidup kembali. Ayo jalan-jalan.” pintaku.
Belum jauh langkahku
dari hadapan gubuk reyot. “Bruok… bruok…, bruok…” suara rebahan benda lempengan
separuh tenggelam ke sungai.
“Wfuihhh… busyettt…”
bikin terkaget-kaget aja.
Dinding reyot yang
beberapa lembar seng disandarkan ke gubuk reyot telah rebah. Mereka semua
berantakan terkapar ke dasar kali pinggir karang pilang.
Kulihat dari kejauhan pak
Pehih cuma sendirian mendirikan dinding rebahan tadi. Ia bangun lagi.
Lembar-lembar seng yang bolong sana sini disandarkan kembali ke dinding
reyotnya. Tak jauh darinya berhadap-hadapan cangkir gelas piring kopi ote-ote
dan para pramunikmatnya. Mereka cuek. Tak peduli dengan apa yang terjadi pada
pak Pehih. Wonk mereka cuma butuh kepuasan perut belaka di pinggir kali. Saya
tahu tahu isi mie, ote-ote, tempe menjes, pisang goring, telo goreng telah
dipasok oleh mbah Emah. Keberadaan mbah Emah sendiri tiada yang tahu kabarnya.
Walau beliau udah menapaki masa pikun tapi kegemarannya memasok makanan yang
setiap pagi disantap oleh pramunikmat pinggir kali telah berhasil melepaskan
diri dari jeratan kepikunannya. Bahkan sang dokter spesialis pikun pun mendiagnosa
mbah Emah tidak pikun sama sekali. Ia terbebas dari penyakit yang selama ini
ditakuti para pejabat tinggi. Malahan aku sendiri melihatnya mbah Emah pandai
menghitung-hitung lembaran fulus dan memperkirakan berapa banyak makanan yang
harus disajikan kepada setiap pelanggannya. Usia di atas tujuh puluh tahun
baginya jauh lebih segar dan mudah dari pada usia tujuh belas tahun. Ingatan
dan tenaganya masih enerjik. Si Bondet yang lihai mengobarkan keperkasaan pun belum
ada apa-apanya bila dibandingkan hal ikhwal kebugaran mbah Emah. Si Bondet
bertekut lutut merasa kalah sakti dengan pengobatan alternative mbah Emah. Ia
sanggup melepaskan kepikunannya dengan memasok ote-ote, telo goreng, pisang
goreng, tahu isi.
“Wah…, jalan-jalan terus
kang Lencir nih..” celetuk penghuni warung doyong pinggir kali.
“Ya. Benar mbak. Mencari
kebebasan cinta. Meraih kemerdekaan angan. Semua gembira menyambut datangnya
pagi. Aku pun demikian, Mbak.” sahutku.
“Byuorrrr… byuorrrr…”
air bekas cucian piring diguyurkan ke kali Brantas Karang pilang. Nggak ada
bedanya dengan lainnya. Ia suka cemplung-cemplung di pinggir kali tiap pagi.
Penghuni warung doyong
mengatur-ngatur piring dan gelas yang barus dibilas.
“Kang Lencir nggak
sarapan telo goreng ta… Ini makanan andalanmu. Pisang goreng masih
kedul-kedul.” panggil kang Bodroh.
Ia sebentar lagi
angkat-angkat batu di jalan seberang.
Kang Bodroh lebih menyukai mencicipi semua makanan goreng di sini. Pagi
ini bukan nasi pecel atau nasi kuning yang disantap justru ote-ote, tahu isi,
telo goreng, pisang goreng, dan Tahu menjes yang dilahapnya.
“Aku masih ngantuk…
Semalam nggak tidur. Ndak tahulah.. tiba-tiba nggak bisa tidur.” ungkap kang
Bodroh.
“Tiba-tiba ranting pohon
besar di kuburan itu sempal, patah. Lha wonk nggak ada apa-apa tiba-tiba
rantingnya patah. Bukankah tadi malam sesungguhnya malam jumat legi. Dulu waktu
hujan deras disertai angin puting beliung ranting-ranting pohon tua ini nggak
patah sama sekali bahkan di sekitarnya pohon-pohon muda-muda tumbang sampai ada
yang berjatuhan. Yang lebih mengenaskan, bunga-bunga layu sebelum berkembang.
Kenapa tadi malam harus terjadi. Perasaan mengalami kekacauan, pikiran tak
tenang. ” terawang dan pikir kang Bodroh.
“Ya benarlah. Itulah
yang bikin perasaan was-was. Beberapa tahun lalu juga demikian lalu kuingat
wabah menjalar.”
“Ahh.., smoga nggak ada
apa-apa.” jawab lelaki tua di sampingnya.
(bersambung, nantikan seri 4)
Nantikan
seri berikutnya………….
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa
Istilah:
Sambang
= berkunjung ke suatu tempat setelah lama tidak berjumpa dengannya.
Orderan
= pesanan.
Cemplung-cemplung
= buang air besar di kali.
TKW
= Tenaga Kerja Wanita
Sempal
= patah tak beraturan.
=============================
WARUNG DOYONG PINGGIR KALI
(Seri 3)
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH
SUNYI.
WARUNG DOYONG PINGGIR KALI (seri
3)
Diambil dari kisah
kehidupan rakyat desa
Lokasi Peristiwa : Tepi
sungai brantas antara Jalan Mastrip Kebraon Karangpilang Surabaya dan jalan
Raya Sepanjang, Selasa 5 Juli 2011.
Ditulis di Surabaya, 5
Juli 2011.
Dipublikasikan
pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dipublikasikan
pertama kali pada hari Selasa 22 Agustus 2017.
Penulis cerpen ini lulusan
S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan
lulusan S2 (Magister) Pendidikan
Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai
dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi
instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun
syair.
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)