Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Tuesday, August 22, 2017

Sprinkling in Silence 22 (Percikan dalam Kesunyian 22) : Inclined Food Stall on the Riverside 3 (Warung Doyong Pinggir Kali 3)

INCLINED FOOD STALL ON THE RIVERSIDE
WARUNG DOYONG PINGGIR KALI
Written and Arranged By Ikhsan, M.Pd.
Ditulis di tepi kali Brantas Karang Pilang Jln Mastrip, Selasa, 5 Juli 2011
SERI 3

“OOOaaa…, aaaa….” teriakan tangisan si kecil berusia kelas dua sekolah dasar terdengar khas dari celah gubuk reyot pinggir kali.
Kesunyian pagi menjelang kuncup-kuncup putri malu bermekaran di sekitar rumah dan pekuburan itu sontak terpecah oleh suara histerisnya.
Aku yang seorang awak rendahan cuma bisa mendengar lengkingan seorang bocah sambil menyusuri tebing kali yang di atasnya mengular jalan-jalan kota pahlawan. Di sini memang beberapa dekade silam menjadi penanda gebyar ditabuh-tabuhkan gong kebesaran Maha Pahlawan di bumi nusantara.
Di sini pula para Maha Pahlawan menenggelamkan ruas-ruas bambu runcing untuk dikirim ke pusat perjuangan. Dengan menggunakan derasnya kali Brantas Jalan Mastrip Karangpilang Surabaya kegigihan mereka begitu deras mengalirkan darah-darah perjuangan. Pusaran arusnya telah menandai tingkat kesulitan menggapai cita-cita pejuangan. Mungkin kali ini pendar-pendar perjuangan pak Pehih terpancar bebas di antara gumpalan asap kendaran bermotor dalam raungan mesin-mesin canggih.
Tak terhentikan sama sekali keadaan ini. Si kecil yang harus memperjuangkan kebebasan berpikir, kebebasan menjalani kehidupan yang sudah beberapa tahun di tinggal pergi ibunya menjadi TKW di Hong Kong. Sementara pak Pehih hanya sekedar menunggu orderan dari para kuli bangunan. Terkadang sepi, terkadang ramai, bahkan terkadang pak Pehih hanya nongkrong menyendiri memandangi kali Brantas Karangpilang di saat istrinya harus bergulat dengan piring-piring Hong Kong.
“Nasi kuniiiiinnnnng…., nasi kuniiiiiiiing…., “ teriak penjual nasi kuning yang membawa beberapa bungkus nasi di boncengan belakang sepeda pancal butut.
“Nasi kuning…., aku beli…aku beli!!!” teriak si kecil anak pak Pehih.
Penjual itu menghentikan sepedanya dan menoleh ke arah si kecil. Kemudian ia balik menghampirinya. Sementara aku dari kejauhan masih memperhatikannya sesekali menyenandungkan syair-syair kemasyhuran cinta dan beberapa lafal bangun yang mengokohkan kehidupan.
Aku harus memutar kembali jalan ini. Pinggir kali karangpilang telah menobatkan diriku sang penyair muda dalam obrolan bangun tua dan gubuk reyot pak Pehih.
“Pak Pehih…, santun pagi, Pak..” sapaku.
“Oh ya ya…, jalan-jalan toh…,” jawabnya sambil mengenakan celana pendek kusam lawas, tanpa secuil baju yang melekat di tubuhnya. Yahh…, cuma celana pendek kusam lawas .
Beberapa bongkahan batu di pinggir kali karang pilang mastrip kebraon ini kududuki sejenak sambil memandangi beberapa sepeda motor yang saling mengejar.
“Ayah…, aku berangkat…” pamit si kecil.
“Ya Nak , Hati-hati di jalan. Rajin-rajinlah belajar di sekolah.” sahut pak Pehih sambil mengecup pipi si kecilnya.
“Kapan istrimu sambang ke Jawa pak Pehih? Rupanya Dia sudah kerasan di Hong Kong.” tanyaku.
“Tahun depan mau sambang ke Jawa.” jawabnya.
“Kemana kamu Lencir?” tanyanya.
“Biasa pak Pehih…, Jalan-jalan kan? Mumpung masih pagi, aku nikmati segarnya pagi. Dingin pagi membuat tubuh ini hidup kembali. Ayo jalan-jalan.” pintaku.
Belum jauh langkahku dari hadapan gubuk reyot. “Bruok… bruok…, bruok…” suara rebahan benda lempengan separuh tenggelam ke sungai.
“Wfuihhh… busyettt…” bikin terkaget-kaget aja.
Dinding reyot yang beberapa lembar seng disandarkan ke gubuk reyot telah rebah. Mereka semua berantakan terkapar ke dasar kali pinggir karang pilang.
Kulihat dari kejauhan pak Pehih cuma sendirian mendirikan dinding rebahan tadi. Ia bangun lagi. Lembar-lembar seng yang bolong sana sini disandarkan kembali ke dinding reyotnya. Tak jauh darinya berhadap-hadapan cangkir gelas piring kopi ote-ote dan para pramunikmatnya. Mereka cuek. Tak peduli dengan apa yang terjadi pada pak Pehih. Wonk mereka cuma butuh kepuasan perut belaka di pinggir kali. Saya tahu tahu isi mie, ote-ote, tempe menjes, pisang goring, telo goreng telah dipasok oleh mbah Emah. Keberadaan mbah Emah sendiri tiada yang tahu kabarnya. Walau beliau udah menapaki masa pikun tapi kegemarannya memasok makanan yang setiap pagi disantap oleh pramunikmat pinggir kali telah berhasil melepaskan diri dari jeratan kepikunannya. Bahkan sang dokter spesialis pikun pun mendiagnosa mbah Emah tidak pikun sama sekali. Ia terbebas dari penyakit yang selama ini ditakuti para pejabat tinggi. Malahan aku sendiri melihatnya mbah Emah pandai menghitung-hitung lembaran fulus dan memperkirakan berapa banyak makanan yang harus disajikan kepada setiap pelanggannya. Usia di atas tujuh puluh tahun baginya jauh lebih segar dan mudah dari pada usia tujuh belas tahun. Ingatan dan tenaganya masih enerjik. Si Bondet yang lihai mengobarkan keperkasaan pun belum ada apa-apanya bila dibandingkan hal ikhwal kebugaran mbah Emah. Si Bondet bertekut lutut merasa kalah sakti dengan pengobatan alternative mbah Emah. Ia sanggup melepaskan kepikunannya dengan memasok ote-ote, telo goreng, pisang goreng, tahu isi.
“Wah…, jalan-jalan terus kang Lencir nih..” celetuk penghuni warung doyong pinggir kali.
“Ya. Benar mbak. Mencari kebebasan cinta. Meraih kemerdekaan angan. Semua gembira menyambut datangnya pagi. Aku pun demikian, Mbak.” sahutku.
“Byuorrrr… byuorrrr…” air bekas cucian piring diguyurkan ke kali Brantas Karang pilang. Nggak ada bedanya dengan lainnya. Ia suka cemplung-cemplung di pinggir kali tiap pagi.
Penghuni warung doyong mengatur-ngatur piring dan gelas yang barus dibilas.
“Kang Lencir nggak sarapan telo goreng ta… Ini makanan andalanmu. Pisang goreng masih kedul-kedul.” panggil kang Bodroh.
Ia sebentar lagi angkat-angkat batu di jalan seberang.  Kang Bodroh lebih menyukai mencicipi semua makanan goreng di sini. Pagi ini bukan nasi pecel atau nasi kuning yang disantap justru ote-ote, tahu isi, telo goreng, pisang goreng, dan Tahu menjes yang dilahapnya.
“Aku masih ngantuk… Semalam nggak tidur. Ndak tahulah.. tiba-tiba nggak bisa tidur.” ungkap kang Bodroh.
“Tiba-tiba ranting pohon besar di kuburan itu sempal, patah. Lha wonk nggak ada apa-apa tiba-tiba rantingnya patah. Bukankah tadi malam sesungguhnya malam jumat legi. Dulu waktu hujan deras disertai angin puting beliung ranting-ranting pohon tua ini nggak patah sama sekali bahkan di sekitarnya pohon-pohon muda-muda tumbang sampai ada yang berjatuhan. Yang lebih mengenaskan, bunga-bunga layu sebelum berkembang. Kenapa tadi malam harus terjadi. Perasaan mengalami kekacauan, pikiran tak tenang. ” terawang dan pikir kang Bodroh.
“Ya benarlah. Itulah yang bikin perasaan was-was. Beberapa tahun lalu juga demikian lalu kuingat wabah menjalar.”
“Ahh.., smoga nggak ada apa-apa.” jawab lelaki tua di sampingnya.

 (bersambung, nantikan seri 4)
Nantikan seri berikutnya………….
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Sambang = berkunjung ke suatu tempat setelah lama tidak berjumpa dengannya.
Orderan = pesanan.
Cemplung-cemplung = buang air besar di kali.
TKW = Tenaga Kerja Wanita
Sempal = patah tak beraturan.

=============================



WARUNG DOYONG PINGGIR KALI (Seri 3)
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

WARUNG DOYONG PINGGIR KALI (seri 3)
Diambil dari kisah kehidupan rakyat desa
Lokasi Peristiwa : Tepi sungai brantas antara Jalan Mastrip Kebraon Karangpilang Surabaya dan jalan Raya Sepanjang, Selasa 5 Juli 2011.
Ditulis di Surabaya, 5 Juli 2011.
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dipublikasikan pertama kali pada hari Selasa 22 Agustus 2017.
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.









All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)