Life is the struggle

The struggle needs the sacrifice of the body, the soul, and everything to actualize the hope, the dream, and the love.
Hidup ini Sebuah Perjuangan.
Perjuangan Perlu Pengorbanan atas Jiwa, Raga, dan Segala Kepunyaan demi Terwujudnya Harapan, Impian, Cita-cita, dan Cinta.

Putaran Kehidupan (Rotation of Life)

Life in the World rightly rotates and Walks; it is certainty.
Kehidupan Dunia Berputar dan Berjalan; ialah Keniscayaan

Jembatan Kehidupan (The Bridge of the World)
Ikhsan Falihi pada Sebuah Jembatan

Andai Jembatan ini adalah Penghubung Tujuan. Niscaya Lautan Luas Ini Adalah KEILMUAN. Ijinkan Kuberpijak dan Kumelalui Jembatan Keilmuan tuk Meraih Keselamatan dan Keberhasilan.

IKHSAN Falihi di Pinggir Laut.
(IKHSAN Falihi On The Seaside)

Andai Lautan Itu Luasnya Rinduku, Maka Bentangan Rindu Tiada Surut. Begitu pun Jua Kalian Puas Melarungkan Berjuta IMPIAN.

Penangkal Covid-19

Makanan Penambah Kekebalan Tubuh untuk Menangkal Covid-19

Tuesday, June 7, 2016

Sprinkling in Silence 15 (Percikan dalam Kesunyian 15) : Strewn Dew (Embun Menabur)

EMBUN MENABUR
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Usai subuhan kuambil sepeda santai, sepeda yang berwarna orange baru kubeli beberapa bulan yang lalu. Kukayuh sepeda ke jalan yang terlentang di antara rel sepur dan jalan tol Pagesangan.
Kususuri jalan itu, masih gelap fajar itu. Ku kayuh sekencang-kencangnya pada bujuran jalan. Di sebelahnya tepat antara tol dan jalan berjajar lampu kuning dan putih-putih menyinari jalan walau beberapa rimbun daun menghalangi pancaran sinarnya.
Kesejukan pagi makin mantap dengan hiasan titik-titik embun yang menebal di pucuk rimbunan. Jalan aspal tampak basah. Basah-basah itu menebarkan dingin pagi sampai meresap ke kulit. Ujung-ujung rambutku basah oleh tabur-tabur embun. Kiranya alam menyegarkan tubuhku lewat tabur-tabur embun sejuk. Serasa dingin sedingin salju hingga merasuk ke qalbu. Barang kali ini yang dicari oleh setiap pejalan kaki saat tiap kali fajar shadiq hadir hingga datang terangnya bumi. Bagi mereka-mereka mungkin ini bisa mengobati qalbi ruh hati yang sekian lama mati
Pada jalan ini praktis kendaraan lalu lalang tak terlihat, tampak lengang. aku pun memutar sepedaku ke rute jalan Pagesangan Asri. Sepanjang jalan ini berderet perumahan megah yang tampak sunyi, tidak ada satu pun pintu yang terbuka. Kuputar terus roda sepeda sampai di depan rumah jauh di sana. Nah, sunyi lagi kan.
Nggak apalah sunyi sepi masih hadir di sekitar sini. Sepedaku bisa leluasa oleng kiri oleng kanan. Sekarang aku harus menyeberangi rel sepur. kutengok kiri kanan. tidak ada sepur lewat yaa aku harus menyeberang.
Di jalan sebelah tenggara lapangan pagesangan kuhentikan sebentar putaran roda sepeda. kuhirup udara segar dari hamparan rumput di lapangan Pagesangan. Puaslah menghirup kesegaran pagi. Aku harus melajukan sepeda lagi. Sepanjang jalan melingkari lapangan kali ini masih sepi.
Asyiiiiiik………, hijau-hijau daun tampak teduh dan hidup sehidup pagi itu. Di pojok barat daya lapangan terdapat jalan yang kalau diteruskan setiap pejalan kaki bisa membobol jalan setapak dengan menyeberangi rel sepur, bahkan beberapa sepeda pancal bisa melintasinya kalau diangkat. Coba boleh dicoba. Kucoba. kucoba lagi mengangkat sepeda, Aaahhhhhhhh…. aku bisa. Aku bisa membobol jalan setapak walau di kiri kanan melebar sungai. puaslah batin menyusuri jalan ini dengan kesejukan pagi.
Cukup lama di tempat sini, kuputar lagi roda sepeda menuju ujung jalan Perumahan Simowau Indah sebelah barat daya.
Di sini sembilan anak bersepeda santai. mereka bergerombol memandang hamparan luas di tepinya membujur rel sepur. Mereka sorak sorai, di antaranya bersuara lantang,”Hhei, Hhei,…. ayo putar ke sana…!!!”
“Kamu itu jangan kencang-kencanglah. aku kecipratan lumpur loh. Yang belakang kecipratan semua!!!”
Seorang dari mereka yang roda belakangnya mencipratkan lumpur menimpali, “Lhouwh…., aku loh pelan-pelan…..”
“Pelan-pelan apanya, wonk ini loh pipiku ada lumpurnya kecipratn dari rodamu belakang..”
“Hhaaaaahhh…., Cuma dikit gitu aja, ngomel-ngomel. Ke situlah mencebur ke sawah. Tuh…, banyak air sawah…, pipimu usap sana pakai air sawah…” balas temannya.
Seorang menyahut, “Hhaaaahhh…, ya nggak mau dhong…..?”
Anak yang paling besar yang tidak menggubris gerutu temannya mengajak semua temannya, “Ayo.., ayo… ,putar-putar sana…”
Aku berdiri di sampingnya. “Ini kok ramai-ramai, ada apa ini?”
“Sepedaan, Om….” jawab mereka kompak kecuali seorang anak di paling belakang.
“Kamu dari mana semua, kok bisa janjian bareng-bareng? Pagi-pagi begini sudah mengumpul di sini.” tanyaku.
Seorang anak laki-laki yang paling gendhut di deretan paling belakang diam saja. ia memperhatikan teman-temannya yang ramai ngobrol-ngobrol sembari memandang hamparan sawah, di tepinya membujur sungai kecil dan rel sepur.
Si anak laki-laki gendhut tadi kutarik tangannya. Tnngannya mengikuti tarikanku, lalu kukatakan padanya,”Kamu gendhut cakep kok diam aja, gak banyak kata. emangnya kenapa?”
“Semua pada bicara loh, masih kamu yang diam saja dari tadi.” tanyaku pada anak gendhut yang belum kukenal.
“Ya, Mas. aku diam nungguin teman?” jawabnya tenang dan tegas.
“Loh kamu dari mana?” tanyaku.
“Aku dari Sepanjang Asri blok D, Mas” jawabnya.
“Waah…., kamu dekat sama pak Dhuweh yang gendhut itu ya. Beliau juga gendhut kayak kamu. Benar kan?” tanyaku.
“He he he ….., ya Mas. Aku tetangganya pak Dhuweh tapi agak jauh rumahku darinya.” jawabnya dengan senyuman. Sepedaku agak mepet sepedanya berhadap-hadapan dan tangan kanannya kupegang. Terlalu lama dia kuajak ngobrol.
Aduuuh….., Si gendhut, anak yang masih usia kelas 5 SD ini, ditinggal teman-temannya. Ia tidak berani komentar cuma memandang temannya yang udah pada ramai memancal sepeda hingga jauh meninggalkan gendhut.
“Lhoh…, kamu sudah ditinggal teman-temanmu. Gimana ini?” celetukku.
“Ya, Mas. Aku ditinggal teman.” pungkasnya.
“Ya. sudah sana cepetan kencang-kencangkan sepeda pancalmu.” perintahku.
Anak kecil gendhut itu bergegas meninggalkanku. Ia mengayuh sepeda pancal yang harganya sekitar satu setengah jutaan. Postur tubuhnya serasi dengan sepeda pancalnya.
Kupandangi terus anak gendhut itu. Ia melajukan sepedanya dengan kecepatan tinggi hingga bisa menyatu dengan temannya kembali. ia berbagi keceriaan bersama temannya di antara keramaian sepeda pancal. Bahagialah mereka bersama sepeda kesayangan yang menembus dingin pagi.
Aku pun memutar roda sepeda belok ke pertigaan. Masih ada blok-blok perumahan yang belum kulintasi.
Wah… aku harus menuju ke kampong Pagesangan lagi lewat Simowau Indah Blog B.
Pagi itu masih belum begitu terang, lampu-lampu jalan udah dimatikan, sementara sang raja siang masih tertidur di kasur bumi..
Keliling-keliling dulu lah. Blok demi blok kukelilingi bersama hirupan sejuk embun.
Sampai di perbatasan Pagesangan, di tepi kali mondar-mandir seorang lelaki tua agak besar tubuhnya berkaos hitam dan bercelana pendek hitam. Beliau mondar-mandir di tengah jalan untuk senam ringan sambil jalan cepat.
Dari belakangnya ku sapa dan ku bermohon diri, “Permisi, ayo balapan pak…!”
Beliau menoleh.
“Lhoh, Mas…., dari mana?” tanya beliau.
“Heahhhh…., apa kabar, Mas Fairi?” sapaku.
“Kok pagi-pagi gini jalan-jalan di luar. Biasanya nggak pernah ke sini.” tanyaku lagi sambil menjabat tangannya.
“Ya. menyempatkan diri, Mas.” sahutnya.
“Lama. nggak jumpa. ngapain aja selama ini. rasanya kita merindukan perjumpaan.” ungkapku.
“Hahhh…., itu benar, Mas.” jawabnya kalem dengan menghela napas.
 “Ayo, kita ngobrol-ngobrol sebentar Mas Fairi.” pintaku.
“Hiya, Ayolah.” pintaku.
 “Mas Fairi, kulihat rumahmu rapi. Depan rumahmu bersih, tidak ada gombal mukiyo pating slampir. Tidak ada onggokan kayu pating slengkrah seperti tetanggamu. Bahkan di depan rumahmu kulihat halaman luas yang bisa dipakai untuk jemuran, tapi bertahun-tahun aku tak pernah menemui jemuran baju depan rumahmu. Tidak ada ranjang sepatu atau sandal di depan rumah atau di terasnya. Tidak ada sandal berantakan depan pintu masuk ruang tamumu. Beranda rumahmu, halaman rumahmu, pagarmu benar-benar bersih rapi. Ada apa Mas Fairi? Apa ada filosofinya?” tanyaku.
Mas Fairi pun menjelaskan bahwa kehidupan orang tuanya dulu itu bersih rapi, melarang keluarganya mencantolkan baju jemuran di depan rumah, bahkan keset dari kain atau sejenisnya tidak boleh tergeletak, apalagi menaruh pakaian basah untuk dijemur dipagar rumah.
 “Gak pantes mas menaruh pakaian di depan rumah. nggak enak disaksikan mata walau jemurannya dibeli dengan harga mahal. jemuran kuletakkan di belakang rumah saja mas biar tidak mengganggu pemandangan depan rumah. Dulu orang tuaku rajin bersih-bersih rumah, merapikan barang-barang, tidak pernah meletakkan barang sisa bangunan semisal kayu atau kerikil, bahkan tidak pernah mencantolkan baju yang dijemur ke pagar. Itu yang kutiru, Mas. Malah aku masih tergolong malas dibanding ayahku, Mas. Ayahku dulu sangat rajin bersih-bersih dan menjaga kerapian rumah.” penjelasan Mas Fairi panjang lebar.
“Ada satu lagi Mas Fairi yang kutanyakan padamu.” pintaku.
“Apa itu, Mas?” tanya mas Fairi.
“Pengalamanmu selama ini berumah tangga dan menjadi pimpinan suatu lembaga. Apa pendapatmu tentang tabiat wanita di rumah tangga dan di kantoran?” tanyaku.
“Karakter wanita itu bengkong kaku. Ya nggladrah gak karu-karuan. Kaku maksudnya kalau diluruskan ya pedhot, kalau bengkongnya dibiarkan ya bengkong terus. ” jawab Mas Fairi singkat.
“Apa maksudnya nggladrah?” sahutku?
“Nggladrah maksudnya mengumbar selera menuruti hawa nafsunya dan mengikuti perasaannya.” jawabnya.
Beliau menjelaskan panjang lebar tentang ungkapan nggladrah gak karu-karuan dan bengkong kaku pada tabiat wanita. Aku pun penasaran dengan pikiran dan pengalamannya,”Bagaimana caranya supaya tidak bengkong dan kaku, Mas Fairi?” tanyaku.
“Lakukan pelan-pelan, Mas. Luruskan pelan-pelan, Mas. Jangan keras-keras kalau meluruskan bengkongnya karena di situ tersimpan kekakuan. ya supaya tidak patah semuanya. Harus pelan-pelan dan sabar saat meluruskan bengkong kaku. Coba lihat saja, Mas, semua permasalahan di dunia sebagian besar dipicu oleh wanita yang menuruti hawa nafsunya untuk memuaskan glamor perasaannya. ” urai Mas Fairi.
Kami pun asyik dalam obrolan ringan. Hampir sejam obrolan kami berlalu.
“Mas, aku harus pamit dulu karena istriku mau ngantor ke kantor staff Pascasarjana. Jam 6 pagi harus berangkat.” pinta Mas Fairi.
“Aduuuuh….., nggak terasa Mas obrolan kita udah hampir sejam. lain waktu disambung lagi ya.” kataku.
“Terima kasih, Mas. Selamat berpisah untuk berjumpa di suatu masa ya.” harapan Mas Fairi. Kami pun berpisah di simpang jalan tiga perbatasan Pagesangan. Masing-masing dari kami memilih beberapa jalan yang terbentang di hadapan.
SELESAI
TERIMA KASIH
======================
Beberapa Istilah:
Sepur : kereta aapi.
Gombal mukiyo : bekas pakaian atau serbet yang mengotori tempat, menjengkelkan, dan tidak berguna sama sekali.
Pating slampir : kain atau baju yang barau dipakai diletakkan pada jemuran kayu memanjang atau besi memanjang : kain atau baju yang dijemur, tapi sudah kering, hingga kerint kerontang tidak secepatnya diambil oleh pemiliknya.,
Pating slengkrah : keadaan benda yang berantakan di lantai.
Bengkong : benar-benar bengkok.
Pedhot : putus, patah.
Qalbu : qalbi : qalb : jiwa.
======================
EMBUN MENABUR
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.

EMBUN MENABUR
Diambil dari kisah nyata kehidupan rakyat.
Lokasi Kejadian di : Pagesangan (Surabaya), Simowau Indah (Sidoarjo), dan Sepanjang Asri (Sidoarjo).
Tanggal peristiwa : Selasa, 7 Juni 2016
Ditulis di: Surabaya, pukul 08.00-09.00 WIB, Selasa, 7 Juni 2016
Dipublikasikan pada hari Selasa, 7 Juni 2016 Pukul 20:43 WIB
Dipublikasikan pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dibagikan ke email ikhsanfalihi@gmail.com dan facebook https://www.facebook.com/ikhsan.falihi
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.

Penulis masih aktif menyusun syair.


All the titles can be read in this link (Click on here)
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)