Monday, November 16, 2015
Sprinkling in Silence 12 (Percikan dalam Kesunyian 12) : Kendhangan on the Riverside of Pagesangan (Kendhangan di Tepi Kali Pagesangan)
11/16/2015 03:37:00 PM
KENDHANGAN DI TEPI KALI PAGESANGAN
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Tanggal peristiwa: Minggu 24 Mei
2015
Lokasi Peristiwa: Pertigaan Jalan Pagesangan tepi Sungai Pembatas Simowau (Kelurahan Sepanjang, Sidoarjo) dan Pagesangan (Kelurahan Pagesangan, Surabaya), di pojok
lapangan Pagesangan tepi Rel Kereta Api)
Tanggal publikasi: Senin, 16 November 2015.
Hari ini tidak seperti biasanya, panasnya luar biasa. Aku lewati jalan lain menuju kamarku. Kulewat
pertigaan ini sambil mencari minuman buah segar. Segarnya buah degan (kelapa
muda) sudah terbayang kuat.
Kulihat orang tua, remaja, dan
anak-anak berkerumun di pertigaan jalan tepi
kali pagesangan, pertigaan batas Kota Pagesangan (Surabaya) dan Kota Simowau
(Sidoarjo).
Bahkan di antara mereka banyak anak kecil
setengah merangkak setengah jalan dan bayi mungil. Digendongnya bayi mungil
oleh bundanya, kasihnya menyatu dalam ketentraman batin. Dipeluknya erat kuat
dalam kesucian kasih bundanya.
Kulihat jam di pesawat kecil teleponku, hmmm....,
sudah jam 15.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (sekitar kota Pagesangan).
Terkesima dengan kereumunan
orang, kudekatilah.
“Ingin tahu, kan.” Siapa yang nggak ingin tahu,
wonk tumpah ruah mulai bayi hingga lelaki tua juga di sana.”
Makin mendekati mereka makin terdengar
ramainya suara musik. Derum mobil
dan sepeda motor yang lewat di jalan lain yang tidak jauh darinya hilang oleh
ramai riuh rendah kendhang, gong tua
kuno, dan lainnya.
Tidak salah dugaanku.
Kini aku yakin bahwa mereka semua
menyaksikan musik yang dari kejauhan mendayu-dayu.
“Sungguh menarik ini!!!”
Kendang kempul mereka mainkan.
Mereka tabuh sekencang-kencangnya.
Aku terpesona dengan penampilan
si penyanyi.
Tiga orang njoget-njoget, dan
seorang menyanyikan lagu campur
sarian.
Lagu-lagu jawa mereka alunkan, si
penjoget makin lihai menunjukkan kehebatannya di depan penonton.
Jalan yang semula fungsinya untuk
jalan raya sebagai penghubung Simowau (termasuk
wilayah Sepanjang, Sidoarjo) dan Pagesangan (termasuk wilayah Surabaya) sekaligus pembatas kedua kota
besar benar-benar tertutup oleh tumplek blek luberan penonton
dadakan.
Ternyata ini kendhangan dadakan.
“Mas,
ini pesta apa mas?” tanyaku pada remaja di samping kiriku.
“Pengamen dadakan, Mas!” jawab mereka.
“Ahhh pengamen dadakan, tapi kok
banyak ya krunya. Banyak juga ya peralatannya, pakai gerobak juga. Kok tidak dari pintu ke pintu, biasanya dari rumah ke
rumah. Ini malah di tengah jalan raya.“ pikirku.
Tidak seperti biasanya. Sungguh
menarik, hiburan dadakan yang menarik tapi terasa badanku capek aku harus
pulang dulu untuk meletakkan tasku yang berisi buku-buku setelah dari pagi
sampai jam 12 siang mengajar privat anak SD
sampai SMA di perumahan TNI Marinir Karangpilang.
Aku harus meletakkan buku-bukuku dan
tasku, lalu aku lihat lagi hiburan dadakan ini.
Kutinggalkan kendhangan dadakan ini untuk sejenak.
Bergegas kutinggalkan keramaian ini untuk
kembali lagi. Sesampai di kamar aku kuletakkan tasku.
“Bughh…!!!!!”
tas berisi buku membentur lantai.
Cepat-cepat aku balik menuju ke
tempat hiburan di tengah jalan tadi.
Hampir dekat dengan pertigaan
yang ramai kendhangan tadinya.
“Lhoh, kok sepi. Kemana mereka semua?”
“Kok gak ada suaranya, kok gak
kedengaran musiknya,” gumam batin.
Tapi orang sudah mulai berkurang
di tempat tadi.
Kudekati tempat tadi, Ternyata
semua pemain, penyanyi, penabuh kendhang,
dan pemimpinnya sudah bubar. Mereka
memasukkan peralatan musik ke gerobak.
Gerobak itu didorong oleh tiga
orang dan ditarik oleh seorang. Di belakang gerobak beriringan
berjalan anak-anak kecil seusia anak di bawah
usia lima tahun dan seusia anak Taman Kanak-Kanak.
Aku kecewa. Kecewa benar tidak bisa
menyaksikan atraksi mereka hingga tuntas.
Untuk menghilangkan rasa ingin
tahu lebih jauh, aku coba mengalihkan perasaan ini menuju toko
es degan.
Kulihat toko es degan, banyak kelapa muda dan degan
berlimpahan di sana.
Aku pesan satu kelapa muda.
“Mas, Degan satu buatku ya!”
Cepat-cepat penjual itu mengambil degannya
tanpa ba bi bu. Dipilihkan degan yang gendhut perutnya buatku.
“Prak
prok prak prok…!!!” pemilik
toko membelahnya.
Airnya dimasukkan ke kantong plastik. Isinya dikerok-kerok, dimasukkan disatukan ke kantong plastik tersebut.
Harganya memang tidak mahal,
Cuma sembilan ribu rupiah. Kubayar lalu kubawa degan sekantong plastik. Kuharap sekantong
plastik degan membius ingatanku tentang tetabuhan yang sudah meninggalkan
diriku.
Plastik putih bening berisi degan di tangan kiri.
Sementara tanganku sebelah kanan memegang
setir.
Kali ini tempat yang tadi riuh
rendah suara kendhang dengan lagu jawa dan
tarian jaran kepang sudah tidak ada lagi, hanya
kesunyian di pertigaan ini yang terletak di tepi sungai, sungai kecil pembatas kelurahan Pagesangan (Surabaya) dan
kelurahan Sepanjang (Sidoarjo).
Sampai di dalam kamar aku buka kantong
plastik dan kuletakkan di baskom. Kutambahkan
gula.
Tidak kuberi bongkahan es. Memang, aku gak suka degan dengan gumpalan es. Pinginnya air degan yang hangat-hangat mesra aja dengan gula putih yang
kumasukkan ke dalamnya.
“Sruupp…,sruuuuuup…..,
srupuuut....”
kuminum degan.
“Enak, lho, rasanya.”
“Eeah..., segarrrr....,”
“Aduh...., kok teringat kembali
tabuh-tabuhan tadi ya.”
Ingatanku belum pulih. Masih
membekas iringan musik kendhang,
gong, lagu dan tariannnya.
Kiranya degan bisa melenyapkan segala
ingatan justru malah membangkitkan keingintahuan orang-orang yang sorak-sorai
di antara tetabuhan tadi.
Padahal degan sudah habis separuh, tinggal
separuh.
Kutinggalkan degan dalam baskom di pojok kamar sendirian.
Bergegaslah ku mencari kemana rombongan
penyanyi dadakan.
Kususuri kampung Pagesangan tak kutemukan, Kususuri perumahan Pagesangan Asri, tiada kujumpa pula. Kususuri
gang-gang simowau tak kudapatkan adanya. Kucoba
kulintasi perumahan Sepanjang Asri, hmmm........,
tidak kulihat jua. Capek
juga ya....
Di perempatan Sepanjang Asri
kutemukan dua anak laki-laki usia di bawah lima tahun bermain
kartu. Dilempar-lemparkan kartu itu ke
atas. Berjatuhanlah kartu itu.
Sebagian terbang lalu jatuh saling menjauh. Sebagian jatuh di
depannya.
“Mainan, apaan tuh, rek?”
tanyaku.
“Main kartu, Mas!” jawab mereka
berdua.
“Gimana
cara mainnya?” tanyaku.
“Begini
lho, Mas.” jawabnya.
Sambil menata kartunya dengan sungguh-sungguh dan senang mereka
menjelaskan cara mainnya padaku.
Kemudian dilemparlah kartunya
bergambar Naruto. Bila gambar Naruta yang tampak, tentu itu yang
menang. Yang kalah pun dapat hadiah cubitan pipinya.
“Aku
coba mainkan. Sini kartunya.”
Kutarik kartu dari genggaman sepuluh
jarinya, sementara temannya memandangnya.
Kulemparkan beberapa kartu ke
udara bebas.
Kini kartu itu beterbangan bagaikan sayap burung kemalaman. Tiba-tiba kartu yang
jatuh dan nampak gambar Naruto adalah
kartuku. “Heeee......, Aku menang....., Aku menang......!!!”
“Ayo sini, kucubit pipimu berdua. Sini...,
mendekatlah......!!!” Mereka serahkan kedua pipi mulusnya.
Kucubit pipi-pipi dua anak laki-laki itu sebagai pertanda mereka menanggung
kekalahannya.
Asyik juga.
“Sekarang aku, Mas. Gantian yang main. Biar
aku bisa nyubit pipimu.” sambil merengek mereka minta kartunya. Kuserahkan
kartunya. Dilemparkan ke udara setinggi-tingginya. Kali ini sial kartu mereka
dihempas angin kencang. Angin kencang tiba-tiba begitu datang. Gambar Naruto
pun nggak kelihatan (nggak muncul). Mereka tak tahu bahwa penyebabnya adalah hembusan
angin makin kencang. Kali ini kedua anak kecil tidak bisa mencubit pipiku.
Tak puas dengan itu. Aku tanyai mereka, jangan-jangan mereka tahu
keberadaan pemain campur sarian tadi.
Aku pura-pura sok tahu padahal
aku gak tahu dan sengaja untuk mendapatkan
berita darinya.
“Kamu
tidak melihat kendhangan dan jogetan di sana ta?” tanyaku.
“Dimana, Mas?
Wonk gak ada gitu, loh...!!!” jawab mereka seraya membolak-balik kartunya dan menghitungnya.
“Di sana loh dekat lapangan
pagesangan” jariku menunjuk ke arah lapangan.
“Di
lapangan Pagesangan tidak ada apa-apa, sepi mamprih kok, Mas! Aku
baru saja dari sana” jawab
mereka serempak.
Rasanya aku benar-benar
kehilangan informasi keberadaan kendhangan dan gong.
Cepat-cepat kutinggalkan dua anak
kecil ini. Pencarianku gagal untuk mendapatkan
informasi dari si kecil ini.
“Mas, kemana, Mas? Mau kemana lagi, Mas?
Mau kemana lagi, Mas? Ayo main lagi, Mas!!! Mas..., main lagi, Mas!!!” teriak
mereka memelas. Tak perlu kugubris. Aku belum puas melihat iringan musik
kendhang, gong, dan lainnya pada sebuah gerobak kumal kuno.
Ku coba menyusuri blok-blok perumahan Simowau
indah.
Di perempatan jalan masuk Simowau
indah.
Nah, ini mereka semua. Kru pemain kendhang,
gong, penjoget, dan penarinya berhenti di tempat ini.
Kutemukan rombongan kendhangan dadakan.
Kendhang mulai ditata, gong
didekatkan kendhang, para penjoget siap-siap menari dan berjoget. Para penyanyi
lagu jawa atau campur sarian sudah siap.
Sesaat kemudian ditabuhlah
peralatan musiknya.
“Oooh...,Meriah
sekali.”
“Sungguh meriah.”
Banyak orang menyaksikannya.
Anak kecil yang semula kulihat di
tempat sebelumnya kini tampak uyel-uyelan di sini juga.
Keberadaan mereka menyatu dalam kesyahduan
gong tua kuno.
Tiga orang penari, diantaranya seorang berseragam celana dan baju
biru dan bajunya berselempang kuning.
Orang kedua berseragam celana dan
baju biru dengan selempang merah jambu.
Orang ketiga berseragam biru
dengan berselempang warna orange dan kuning.
Seorang yang berseragam celana
dan baju biru dengan selempang merah jambu lihai menari-nari dan jogat-joget.
Ia menampilkan joget dengan
sesekali menampilkan gerakan kalajengking. Gayanya
tampak jadul, sungguh menggambarkan mereka semua dari daerah terpencil.
Gerakan itu diikuti gerakan monyet.
Secepat itu pula gerakan berubah
menjadi gerakan ular.
Kulihat mereka mahir memainkan
gerakan itu. Perpindahan gerakan sangat luwes. Gerakan
demi gerakan ia lalui tanpa kekakuan.
Lagu demi lagu dinyanyikan dengan
iringan tarian dan jogetan oleh tiga
orang tadi.
Pada gerakan rancak, kendhangan dimainkan dengan kecepatan
sedang dan rancak. Sesaat
itu pula seorang ibu tua di depanku berkaos hitam penduduk kampung Pagesangan sini asyik menonton dan mengikuti gerakannya
dengan sesekali memegang pipi si bayi dalam gendongan ibunya.
Seorang ibu tua berkaos merah
dengan bayi berbaju putih dalam dekapannya tak mau menoleh sedikitpun walau
bayinya digoda oleh ibu
tua. Ia ingin puas menyaksikan jogetan iringan campur sarian ala kampungan, ala Djawa Tempoe Doeloe.
Pada saat kendhang berbunyi “Dhunk” dan gong berbunyi “Dhunk” bebarengan itu pula ibu tua di depanku berkaos hitam kelam
mencium pipi bayi laki-laki.
Saat bunyi “Dhunk” dua kali si ibu tadi pun serempak menciumi pipi bayi sebanyak dua
kali.
Kulihat dhang-dhunk dhank-dhunk bunyi
berulang-ulang sang wanita tadi menciumi bayi berulang-ulang pula. Ia
menyerempakkan ciuman dengan tabuhan Gong Tua Kuno.
Berulang kali ibu tua itu menikmati ciuman pipi bayi
yang bukan anaknya. Tak hanya itu pula ibu tua tadi
menyerempakkan hentakan kaki dan tangannya saat mencium pipi bayi dan bunyi
Gong tua kuno yang ditabuh lelaki usia di atas 70 tahunan. Kulihat
sang bundanya memeluk erat bayinya sambil menggoyang-nggoyangkan
tubuhnya, sementara bayinya mulai menggerak-gerakkan tangannya.
Ternyata ciuman dan nada “Dhunk” selalu bersamaan dengan hentakan kaki dan gerakan tangan mesra si ibu tua berpakaian hitam. Seolah ibu tua tadi memberitahuku bahwa sore
ini harus melampiaskan ciuman pipi bayi laki-laki bersama kendhangan di tepi
kali. Terkesan memerintahku harus mencium pipi bayinya seperti dulu aku mencium bayi
laki-laki dalam dekapanku di tepi kali.
Ia sungguh berharap aku
menciuminya dan menebarkan ciumku
pada setiap anak bayi laki-laki bukan hanya bayi laki-laki berkaos kuning
bercelana pendek biru tepi kali Karangpilang Jalan
Mastrip Kebraon Surabaya saja,
namun untuk semua bayi laki-laki termasuk bayi laki-laki yang ia ciumi.
Ahhh……., aku jadi tersenyum dan sungguh teringat bayi laki-laki yang
pernah dalam dekapanku rapat-rapat dengan ciuman bergantian mulai ciuman
kakeknya teriring ciumku. Sayangnya tidak ada iringan musik yang menghiasi kemesraan ciuman
kami pada bayi laki-laki halus mulus lembut putih
suci seputih
jenggot kakeknya, selembut kasih kakeknya. Aku ingat
itu. Kulakukan itu karena hasrat mencium bayi laki-laki Karangpilang itu serasa seperti perintah langit,
dan memang tidak pernah selama hidupku mencium bayi laki atau perempuan, ini kali pertama dalam hidupku.
Itulah ciumku pertama kali buat bayi laki-laki
yang terlahir dari jazirah lembah subur nan teduh dalam
pancaran bening sungai Karang Pilang
Jalan Mastrip Kebraon Karangpilang Surabaya.
Kucoba lupakan semua itu. Rasanya
aku harus mengikuti tembang-tembang jawa yang mengalun.
Amboi…., sore itu sudah jam
empat.
Tapi kendhangan di tepi kali Pagesangan
berlangsung marak.
Kali ini tembang mulai dirubah
dengan tembang melankolis. Irama
kesedihan mulai mengalir.
Bayi laki-laki dan bundanya berhenti bergoyang, ibu tua yang semula asyik menyamakan gerakan tangan
kakinya dan pipinya untuk diciumkan ke pipi bayi bersama bunyi Gong Tua Kuno
kini tak bisa lagi menyerempakkannya.
Suasana di sekitarku tampak hening walau
kendhang dan gong tua kuno bergetar sepuas-puasnya.
Lirik-lirik lagu jawa dilafalkan, dinyanyikan dengan penuh pilu.
Aku menyimak dengan cermat.
Terdengar lafal kesyahduan:
“Padhange mbulan ora iso madhangi atiku.
Padhange
mbulan sanggup madhangi ndonya, nanging ora iso madhangi petenge atiku.
Nadyan
padhang mbulan, atiku isik
peteng dhedhet.
Nadyan wis suwe aku nembangi, atiku isik susah peteng
jumbret.
Suwene mrana-mrene aku nggoleki, mung siji panyuwunku
enggal rawuh pepingine ati.”
Sungguh menyentuh perasaan
tembang itu.
Teriring lafal-lafal syair tersebut yang
dinyanyikan oleh penyanyi lelaki tua, kini lelaki lain berseragam biru berselempang
kuning dari belakang menuju pertengahan alas
terpal duduk bersimpuh di tengah terpal
lalu berselonjor. Ia diam, termangu, menerawang
dengan segala kelemahannya bagai mengharap kekuatan penguasa
alam semesta. Datang seorang lelaki tua
membawa kain batik ditutupkan kepalanya.
Pemimpin kendhang dan gong tua kuno membawa tumpukan bata. Diletakkan tumpukan bata pada kepalanya.
Tak lama, kendhang ditabuh kencang dengan
irama cepat. Dikelilingi penari lain berikut atraksi sepontan
main, lompat,
dan lari kejar-mengejar iringan musik
dengan gerakan dan nyanyiannya.
Kulihat atraksi ini sudah
dimainkan.
Aku makin larut dengan kendhang
dan gong tua kuno yang
bertalu-talu, namun perlahan mengiringi
syair-syair kesedihan tersebut.
Usai lagu itu dimainkan.
Ganti tabuhan rancak lagi dan
makin lama makin cepat.
Dua laki-laki yang njoget
berputar-putar sejak tadi kini bagai gasing
mengelilingi lelaki diam membisu dalam balutan sehelai
kafan.
Pemimpinnya mengambil jeplakan, Jeplakan yang berbentuk ular
dengan tubuh berbulu seperti bulu ulat dan ekor jeplakan memanjang ujungnya
meruncing persis ekor kecil.
Kemudian…..
“Tharrr....!!!” bunyi jeplakan mengagetkan
seluruh penonton. Lelaki yang berselonjor diam tunduk pasrah seperti dieksekusi
oleh pembesar raja karena dosanya yang tak terampunkan. Ia lepaskan dunia ini
dalam himpitan beban di kepalanya dalam balutan sehelai kain batik kafan.
Berikutnya pemimpin mendekatnya. Linggis dipegang kencang. Dipukulkan linggis itu
sekuat-kuatnya ke tumpukan bata merah pada kepala lelaki.
“Aaaa….…….!!!!” beberapa ibu di ujung
selatan menjerit.
“Jangannnnnn........!!!” teriak seorang
bunda di ujung sana sambil histeris menutup mukanya seraya menunduk ke bawah.
“Pyorrrrr..........!!!”
puing-puing kehancuran tumpukan
bata di kepalanya melesat ke para penonton,
sebagian puing-puing tampak berdebu beterbangan kian kesana kemari terbawa
angin kencang.
Saat itu pula, kendhang
dan gong ditabuh sekencang-kencangnya dengan tempo
cepat sebagai penghabisan tabuhan kendhangan di tepi kali Pagesangan.
Kuingat rancaknya tabuhan ini pada penghujung irama kesedihan mirip
musik india pengiring lagu india berjudul
Mera Dhil Yee Pukare Aaja. Lagu yang mengiringi film India Naagin 1954.
SELESAI
TERIMA
KASIH
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)