EMBUN MENABUR
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Usai subuhan kuambil sepeda santai,
sepeda yang berwarna orange baru kubeli beberapa bulan yang lalu. Kukayuh
sepeda ke jalan yang terlentang di antara rel sepur dan jalan tol Pagesangan.
Kususuri jalan itu, masih gelap fajar itu. Ku kayuh
sekencang-kencangnya pada bujuran jalan. Di sebelahnya tepat antara tol dan
jalan berjajar lampu kuning dan putih-putih menyinari jalan walau beberapa
rimbun daun menghalangi pancaran sinarnya.
Kesejukan pagi makin mantap dengan hiasan titik-titik embun yang
menebal di pucuk rimbunan. Jalan aspal tampak basah. Basah-basah itu menebarkan
dingin pagi sampai meresap ke kulit. Ujung-ujung rambutku basah oleh tabur-tabur
embun. Kiranya alam menyegarkan tubuhku lewat tabur-tabur embun sejuk. Serasa
dingin sedingin salju hingga merasuk ke qalbu. Barang kali ini yang dicari oleh
setiap pejalan kaki saat tiap kali fajar shadiq hadir hingga datang terangnya
bumi. Bagi mereka-mereka mungkin ini bisa mengobati qalbi ruh hati yang sekian
lama mati
Pada jalan ini praktis kendaraan
lalu lalang tak terlihat, tampak lengang. aku pun memutar sepedaku ke rute
jalan Pagesangan Asri. Sepanjang jalan ini berderet perumahan megah yang tampak
sunyi, tidak ada satu pun pintu yang terbuka. Kuputar terus roda sepeda sampai
di depan rumah jauh di sana. Nah, sunyi lagi kan.
Nggak apalah sunyi sepi masih hadir di sekitar sini. Sepedaku
bisa leluasa oleng kiri oleng kanan. Sekarang aku harus menyeberangi rel sepur.
kutengok kiri kanan. tidak ada sepur lewat yaa aku harus menyeberang.
Di jalan sebelah tenggara lapangan
pagesangan kuhentikan sebentar putaran roda sepeda. kuhirup udara segar dari
hamparan rumput di lapangan Pagesangan. Puaslah menghirup kesegaran pagi. Aku
harus melajukan sepeda lagi. Sepanjang jalan melingkari lapangan kali ini masih
sepi.
Asyiiiiiik………, hijau-hijau daun tampak teduh dan hidup sehidup
pagi itu. Di pojok barat daya lapangan terdapat jalan yang kalau diteruskan
setiap pejalan kaki bisa membobol jalan setapak dengan menyeberangi rel sepur,
bahkan beberapa sepeda pancal bisa melintasinya kalau diangkat. Coba boleh
dicoba. Kucoba. kucoba lagi mengangkat sepeda, Aaahhhhhhhh…. aku bisa. Aku bisa
membobol jalan setapak walau di kiri kanan melebar sungai. puaslah batin
menyusuri jalan ini dengan kesejukan pagi.
Cukup lama di tempat sini, kuputar lagi roda sepeda menuju ujung
jalan Perumahan Simowau Indah sebelah barat daya.
Di sini sembilan anak bersepeda
santai. mereka bergerombol memandang hamparan luas di tepinya membujur rel
sepur. Mereka sorak sorai, di antaranya bersuara lantang,”Hhei, Hhei,…. ayo
putar ke sana…!!!”
“Kamu itu jangan kencang-kencanglah. aku kecipratan lumpur loh. Yang
belakang kecipratan semua!!!”
Seorang dari mereka yang roda belakangnya mencipratkan lumpur menimpali,
“Lhouwh…., aku loh pelan-pelan…..”
“Pelan-pelan apanya, wonk ini loh pipiku ada lumpurnya kecipratn
dari rodamu belakang..”
“Hhaaaaahhh…., Cuma dikit gitu aja, ngomel-ngomel. Ke situlah
mencebur ke sawah. Tuh…, banyak air sawah…, pipimu usap sana pakai air sawah…”
balas temannya.
Seorang menyahut, “Hhaaaahhh…, ya nggak mau dhong…..?”
Anak yang paling besar yang tidak menggubris gerutu temannya mengajak
semua temannya, “Ayo.., ayo… ,putar-putar sana…”
Aku berdiri di sampingnya. “Ini kok ramai-ramai, ada apa ini?”
“Sepedaan, Om….” jawab mereka kompak kecuali seorang anak di
paling belakang.
“Kamu dari mana semua, kok bisa janjian bareng-bareng? Pagi-pagi
begini sudah mengumpul di sini.” tanyaku.
Seorang anak laki-laki yang paling gendhut di deretan paling
belakang diam saja. ia memperhatikan teman-temannya yang ramai ngobrol-ngobrol
sembari memandang hamparan sawah, di tepinya membujur sungai kecil dan rel
sepur.
Si anak laki-laki gendhut tadi kutarik tangannya. Tnngannya
mengikuti tarikanku, lalu kukatakan padanya,”Kamu gendhut cakep kok diam aja,
gak banyak kata. emangnya kenapa?”
“Semua pada bicara loh, masih kamu yang diam saja dari tadi.”
tanyaku pada anak gendhut yang belum kukenal.
“Ya, Mas. aku diam nungguin teman?” jawabnya tenang dan tegas.
“Loh kamu dari mana?” tanyaku.
“Aku dari Sepanjang Asri blok D, Mas” jawabnya.
“Waah…., kamu dekat sama pak Dhuweh yang gendhut itu ya. Beliau
juga gendhut kayak kamu. Benar kan?” tanyaku.
“He he he ….., ya Mas. Aku tetangganya pak Dhuweh tapi agak jauh
rumahku darinya.” jawabnya dengan senyuman. Sepedaku agak mepet sepedanya
berhadap-hadapan dan tangan kanannya kupegang. Terlalu lama dia kuajak ngobrol.
Aduuuh….., Si gendhut, anak yang masih usia kelas 5 SD ini,
ditinggal teman-temannya. Ia tidak berani komentar cuma memandang temannya yang
udah pada ramai memancal sepeda hingga jauh meninggalkan gendhut.
“Lhoh…, kamu sudah ditinggal teman-temanmu. Gimana ini?”
celetukku.
“Ya, Mas. Aku ditinggal teman.” pungkasnya.
“Ya. sudah sana cepetan kencang-kencangkan sepeda pancalmu.”
perintahku.
Anak kecil gendhut itu bergegas meninggalkanku. Ia mengayuh
sepeda pancal yang harganya sekitar satu setengah jutaan. Postur tubuhnya
serasi dengan sepeda pancalnya.
Kupandangi terus anak gendhut itu. Ia melajukan sepedanya dengan
kecepatan tinggi hingga bisa menyatu dengan temannya kembali. ia berbagi
keceriaan bersama temannya di antara keramaian sepeda pancal. Bahagialah mereka
bersama sepeda kesayangan yang menembus dingin pagi.
Aku pun memutar roda sepeda belok ke
pertigaan. Masih ada blok-blok perumahan yang belum kulintasi.
Wah… aku harus menuju ke kampong Pagesangan lagi lewat Simowau
Indah Blog B.
Pagi itu masih belum begitu terang, lampu-lampu jalan udah
dimatikan, sementara sang raja siang masih tertidur di kasur bumi..
Keliling-keliling dulu lah. Blok demi blok kukelilingi bersama
hirupan sejuk embun.
Sampai di perbatasan Pagesangan, di tepi kali mondar-mandir
seorang lelaki tua agak besar tubuhnya berkaos hitam dan bercelana pendek
hitam. Beliau mondar-mandir di tengah jalan untuk senam ringan sambil jalan
cepat.
Dari belakangnya ku sapa dan ku bermohon diri, “Permisi, ayo
balapan pak…!”
Beliau menoleh.
“Lhoh, Mas…., dari mana?” tanya beliau.
“Heahhhh…., apa kabar, Mas Fairi?” sapaku.
“Kok pagi-pagi gini jalan-jalan di luar. Biasanya nggak pernah
ke sini.” tanyaku lagi sambil menjabat tangannya.
“Ya. menyempatkan diri, Mas.” sahutnya.
“Lama. nggak jumpa. ngapain aja selama ini. rasanya kita
merindukan perjumpaan.” ungkapku.
“Hahhh…., itu benar, Mas.” jawabnya kalem dengan menghela napas.
“Ayo, kita
ngobrol-ngobrol sebentar Mas Fairi.” pintaku.
“Hiya, Ayolah.” pintaku.
“Mas Fairi, kulihat
rumahmu rapi. Depan rumahmu bersih, tidak ada gombal mukiyo pating slampir. Tidak
ada onggokan kayu pating slengkrah seperti tetanggamu. Bahkan di depan rumahmu
kulihat halaman luas yang bisa dipakai untuk jemuran, tapi bertahun-tahun aku
tak pernah menemui jemuran baju depan rumahmu. Tidak ada ranjang sepatu atau
sandal di depan rumah atau di terasnya. Tidak ada sandal berantakan depan pintu
masuk ruang tamumu. Beranda rumahmu, halaman rumahmu, pagarmu benar-benar
bersih rapi. Ada apa Mas Fairi? Apa ada filosofinya?” tanyaku.
Mas Fairi pun menjelaskan bahwa kehidupan orang tuanya dulu itu
bersih rapi, melarang keluarganya mencantolkan baju jemuran di depan rumah,
bahkan keset dari kain atau sejenisnya tidak boleh tergeletak, apalagi menaruh
pakaian basah untuk dijemur dipagar rumah.
“Gak pantes mas menaruh
pakaian di depan rumah. nggak enak disaksikan mata walau jemurannya dibeli
dengan harga mahal. jemuran kuletakkan di belakang rumah saja mas biar tidak
mengganggu pemandangan depan rumah. Dulu orang tuaku rajin bersih-bersih rumah,
merapikan barang-barang, tidak pernah meletakkan barang sisa bangunan semisal
kayu atau kerikil, bahkan tidak pernah mencantolkan baju yang dijemur ke pagar.
Itu yang kutiru, Mas. Malah aku masih tergolong malas dibanding ayahku, Mas.
Ayahku dulu sangat rajin bersih-bersih dan menjaga kerapian rumah.” penjelasan
Mas Fairi panjang lebar.
“Ada satu lagi Mas Fairi yang kutanyakan padamu.” pintaku.
“Apa itu, Mas?” tanya mas Fairi.
“Pengalamanmu selama ini berumah tangga dan menjadi pimpinan
suatu lembaga. Apa pendapatmu tentang tabiat wanita di rumah tangga dan di
kantoran?” tanyaku.
“Karakter wanita itu bengkong
kaku. Ya nggladrah gak karu-karuan. Kaku
maksudnya kalau diluruskan ya pedhot,
kalau bengkongnya dibiarkan ya bengkong terus. ” jawab Mas Fairi singkat.
“Apa maksudnya nggladrah?”
sahutku?
“Nggladrah maksudnya mengumbar selera menuruti hawa nafsunya dan
mengikuti perasaannya.” jawabnya.
Beliau menjelaskan panjang lebar tentang ungkapan nggladrah gak
karu-karuan dan bengkong kaku pada tabiat wanita. Aku pun penasaran dengan pikiran
dan pengalamannya,”Bagaimana caranya supaya tidak bengkong dan kaku, Mas
Fairi?” tanyaku.
“Lakukan pelan-pelan, Mas. Luruskan pelan-pelan, Mas. Jangan
keras-keras kalau meluruskan bengkongnya karena di situ tersimpan kekakuan. ya
supaya tidak patah semuanya. Harus pelan-pelan dan sabar saat meluruskan
bengkong kaku. Coba lihat saja, Mas, semua permasalahan di dunia sebagian besar
dipicu oleh wanita yang menuruti hawa nafsunya untuk memuaskan glamor
perasaannya. ” urai Mas Fairi.
Kami pun asyik dalam obrolan ringan. Hampir sejam obrolan kami
berlalu.
“Mas, aku harus pamit dulu karena istriku mau ngantor ke kantor
staff Pascasarjana. Jam 6 pagi harus berangkat.” pinta Mas Fairi.
“Aduuuuh….., nggak terasa Mas obrolan kita udah hampir sejam.
lain waktu disambung lagi ya.” kataku.
“Terima kasih, Mas. Selamat berpisah untuk berjumpa di suatu
masa ya.” harapan Mas Fairi. Kami pun berpisah di simpang jalan tiga perbatasan
Pagesangan. Masing-masing dari kami memilih beberapa jalan yang terbentang di
hadapan.
SELESAI
TERIMA KASIH
======================
Beberapa Istilah:
Sepur : kereta aapi.
Gombal mukiyo : bekas pakaian atau serbet yang mengotori tempat,
menjengkelkan, dan tidak berguna sama sekali.
Pating slampir : kain atau baju yang barau dipakai diletakkan
pada jemuran kayu memanjang atau besi memanjang : kain atau baju yang dijemur, tapi
sudah kering, hingga kerint kerontang tidak secepatnya diambil oleh pemiliknya.,
Pating slengkrah : keadaan benda yang berantakan di lantai.
Bengkong : benar-benar bengkok.
Pedhot : putus, patah.
Qalbu : qalbi : qalb : jiwa.
======================
EMBUN MENABUR
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH
SUNYI.
EMBUN MENABUR
Diambil dari kisah
nyata kehidupan rakyat.
Lokasi Kejadian di
: Pagesangan (Surabaya), Simowau Indah (Sidoarjo), dan Sepanjang Asri
(Sidoarjo).
Tanggal peristiwa : Selasa, 7 Juni 2016
Ditulis di: Surabaya, pukul 08.00-09.00 WIB, Selasa, 7 Juni 2016
Dipublikasikan pada
hari Selasa, 7 Juni 2016 Pukul 20:43 WIB
Penulis cerpen ini lulusan S1
(Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika
tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai
dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi
instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun
syair.