القصة القصيرة :
الشاعر على شاطئ النهر
POET ON THE RIVERSIDE
PUJANGGA PINGGIR KALI
Karya Ikhsan,
S.Pd., M.Pd.
SECOND REVISION (REVISI KEDUA)
Tahun
berganti, musim pun berganti. gerimis kian menjadi-jadi seolah menurunkan
percikan kata-kata bagi seluruh umat manusia. Tidak hanya itu yang kepanasan seketika
menjadi dingin dibuatnya, bahkan tumbuhan yang sekian bulan hanya mengerutkan
bibir-bibir daunnya ketika ditimpa angin lalu kini mulai membukakan lembaran-lembaran
kehidupannya. Ia buka lebar-lebar menadahkan rezki yang mengguyur dari langit. Yang
pasti, bagi siapa saja yang peduli mengambil maknanya.
Manusia
yang konyol pun larut dalam euphoria gerimis datang menjelang. Manusia yang
pintar bersyair ikut menuliskan kata puitisnya. Demikian juga manusia yang tak
konyol dan tak pandai bersyair juga ketiban
dinginnya gerimis di awal januari hingga menjadi pujangga dadakan yang puas
menlukiskan titik-titik air yang berjatuhan dari langit. Pendek kata, Januari
kali ini bukanlah Januari-Januari terdahulu atau sebelumnya, bahkan bukanlah
Januar-Januar sebagaimana biasanya.
Di
sisi lain manusia yang tempatnya berlangganan banjir hanya bisa mengernyitkan
dahi, tampak kerisauan yang mendalam jangan-jangan gerimis datang membawa
banjir yang memasuki ruang tamu. Padahal semua orang tahu ruang tamunya hanya
bisa dimasuki oleh kolega yang parlente dan berduit serta konglomerat. Yang melarat tak perlu singgah ke ruang tamunya.
Paling-paling puas memandang kemewahan rumahnya dari balik pagar pinggir jalan.
Puaslah sampah-sampah dan kotoran selokan yang menjadi tamu istimewa yang kerap
membasahi dan menyegarkan kaki kursi dan meja yang sudah dibeli dengan ratusan
juta rupiah dari luar negeri. Simbol kejayaannya terukir di ukiran meja hias
dan lampu gantung kerlap-kerlip temaram dan remang-remang mesra.
Ahh
….. apa peduliku dengan semua itu. Bukankah itu semua fenomena alam yang menjadi
bagian kehidupan dan memang harus dirasakan dan dialaminya agar menjadi
pelajaran berharga bagi kehidupan setiap manusia. Buat apa takut dan risau.
Sebaiknya jalani saja, alami saja, agar semuanya menjadi berkah.
Aku terbias
oleh perasaan betapa dinginnnya gerimis di awal Januari 2017. Gundukan kering
tanah yang mongering kini berakhir bersama percikan air dari langit. Ia
bersamaku menerima kadar kehidupan yang baru dan segar. Pada sisi lain
kehidupan, kucoba merasakan apa yang kuterima dari Januari 2017. Apakah sama
dengan yang diterima oleh para pejabat teras dan konglomerat ketika menapaki
tahun berganti seiring musim beralih Tidak juga, justru pikiranku tersentak,
dikagetkan oleh dering ponsel tulalit tulilat telolet tholet tholet…..
Mataku
terbelalak menjadi tertegun kalbu saat-saat folder ponsel terbuka. Kini yang
kudapat hanyalah untaian kata yang dimirip-miripkan karya sastra fenomental. Kubaca
tulisan itu dengan harap-harap bahagia
“Ketika virus kata-kata kau tabor, maka imajinasiku
jelas tanpa kabur. Bakat yang lama terkubur mulai tumbuh bersemi subur..
Berteman dengan penjual minyak wangi tentulah akan mencium aroma kesturi suatu konsekuensi.
Dekat berdiri….
Seorang pujangga telah memberi inspirasi kata-kata
dari penyair pemula seberang kali yang masih perlu belajar dan menimba. (Dari Pujangga
Tua, Pujangga Pinggir Kali)“
Ada
senyum, rupanya seorang Pujangga Pinggir Kali sedang mengisi ruang folder awal
januari. Biarlah Januari ini menjadi ruang tersendiri baginya. Lalu kututup
folder ponsel hingga beberapa waktu.
Tulalit
tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel terdengar keras di perjalanan.
Ku pinggirkan sepeda, berhenti sejenak lalu kubaca pesan itu.
“Rojen dan
Barkoh membawaku ke desa Kedung Pengkol dengan motor corot thronthong throntong
nggreng ngeeeeeng dan segelas es serta kerupuk dari rombong reyot mbak inem
sampkng pos ronda jati tua berdebu. (Sepenggal cerita penawar rindu membara)”
Ya
ampuuuun…, Pujangga Pinggir Kali telah mengambil isi cerpen yang pernah
kuterbitkan di Blogger beberapa bulan sebelum untain kata-kata tersebut dikirim
padaku. Tepatnya cerpen berjudul BARA CINTA (LOVE COALS OF LOVE). Sang Pujangga
Pinggir Kali telah memiliki insting yang kuat kalau cerpen yang bertitel BARA
CINTA sempat dibaca teman facebook dari barat dan dari jazirah arab. Biarlah
mereka nikmati cerpen yang sengaja kuberikan Cuma-Cuma. Kututup lagi folder
ponsel. kulanjutkan pekerjaaanku.
Tulalit
tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel memanggil-manggil.
Kuambil
ponsel dari saku celana lalu kubuka foldernya.
“Dalam keramaian kutemukan kesunyian.
Dalam gemerlapnya sinar kutemukan kegelapan.
Dalam kesunyian kutemukan cahaya.”
Sejenak
kurenungkan makna tulisan yang ia buat. Kembali kututup folder ponsel, ah
pekerjaanku masih menumpuk harus diselesaikan secepatnya dengan sebaik-baiknya.
Kubiarkan berlalu begitu saja kata-kata Pujangga Pinggir Kali’. Keesokan
harinya, Tulalit tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel
memanggil-manggil.
“Masih kucari bagaimana kutemukan formula hitung
berapa maksimum luasnya cinta.
Ada kebimbangan di dada…..
kugunakan differensial…., integral…., atau Sn deret
tak hingga
Semakin kudiam dalam sepi malam dan pagi.
Baru kutahu….., Betapa luasnya cintaku padamu….
tanpa ragu, tanpa perlu kuukur lagi itu.
Cintaku padamu seluas samudera biru jawabku…(Dari
Pujangga Pinggir Kali 2017).”
Kali
ini aku termangu usai membaca fatwa keluasan dan kedalaman cinta Pujangga
Pinggir Kali. Aku makin tersenyum, melihat Pujangga yang baru saja menemukan
berkah rintik-rintik gerimis.
Tulalit
tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel
Kubuka
folder ponsel, lalu kubaca
“Masa kecilku berlari menjauh sudah.
Seribu kenangan indah di sungai dan sawah…
di bawah langit biru tinggi megah…..
Masih kuingat kemarin masih muda
sekarang menua lemah……….
hanya waktu yang bisu menjawab lelah……….
terus berjuang atau pasrah mengalah…
mengawal bocah-bocah menggapai cita-cita
demi masa depan bangsa yang cerah
masa depan di tangan kita yang tetap harus berdiri
gagah….
(Dari Pujangga Pinggir Kali untuk sang Raja Penyair
Masa Kini)”
Kurenungkan
untaian kata Pujangga Pinggir Kali hanya beberapa menit. Tengah malam tulisan
ini masuk ke folder ponsel menjelang bobok. Tak terasa kantuk pergi menjauh. Ketakutan
kantuk akan beban sarat moral yang terkandung dalam kata pujangga kali ini tak
bisa didiamkan. Aku merenungi. Sang pujangga sadar bahwa adanya diriku dalam kesunyian
di antara percikan gerimis hanyalah penggemblengan anak bangsa dengan beragam
cobaan dan kesulitan. Tiada pilihan lain selain berjuang dan mengabdi dengan
lentera berenergi seadanya walau sulit dan sunyi silih berganti.
Tulalit
tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel
Kubuka
folder ponsel.
“Orang-orang rela mengantre panjang, mengular
berjubel lebih dari satu jam hanya untuk membeli dan mendapatkan dua porsi
makanan ayam goreng siap saji yang hanya habis disantap sekitar tujuh menit….di
mall Malioboro kota Djogdja. Yang sudah terjebak antre tidak bisa balik. Mau
tak mau harus sabar sampai gilirannya, sudah terlanjur sampai titik darah
penghabisan.
Kalau gini jadi ingat dua sejoli yang sudah
terlanjur bersanding duduk di pelaminan dengan penuh keterpaksaan…… Demikianlah
sepenggal larik-larik kata yang kurangkai untukmu wahai temanku sang Raja Penyair.
Kutunggu-dan terus kutunggu kalimat bersayap indah dalam syairmu.sekedar
menghilangkan dahaga kata yang indah. (Dari sang Pujangga Pinggir Kali).”
Hmmmm…..,
kali ini sang Pujangga Tua hanya ingin menunjukkan posisinya yang lagi asyik
bergebyar-gebyar di mall Malioboro. Ia sengaja menghabiskan hari-harinya hanya
dengan kesenangan bersama konglomerat dan pejabat kaya, tak peduli si miskin di
belahan bumi lain, pun tak peduli esok lagi ada kehidupan panjang menanti. Ya
tuhaaaaaan….., ulah sang Pujangga Pinggir Kali bikin aku jadi kepincut. Sihir-sihir
kesenangan dan gemerlapan kemewahan dunia ia pertontonkan di saat dunia makin
menua di ambang senja. Apa boleh buat aku hanya disuguhi cerita-cerita
senangnya saja, sementara kehadiranku dalam kesenangannya tak dibutuhkan.
Biarlah……………, pada sebuah hidupku semua akan bahagia dan mempesona pada
waktunya (Everything will be nice and happy in due course…).
Tulalit
tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel. Kembali kubuka folder ponsel
yang sedang terhubung kuat dengan internet.
“Apakah ada bedanya…?
Memburu bayang-bayang semu dengan duduk diam
membisu pikiran jauh melayang menyusuri batas-batas langit…?
Sama-sama kosoooonnnng………!!!
Tinggal bagaimana kita menyikapi. (Dari Pujangga
Pinggir Kali)”
Saya
pun tak berpikir akan hal ini. Kugeletakkan ponsel begitu saja ke bantal
pembaringan. Yang kutahu hanya percikan gerimis yang mendingin dan membanjiri
ruang-ruang kehidupan para hartawan, pejabat teras, dan konglomerat. Aku tak
kuasa apa-apa. Batas-batas langit tak mampu dijangkau lagi oleh pemilik dhuit,
langit beserta seluruh penghuni mencurahkan gerimis ke bumi. Pikiran manusia
tak sanggup menyusuri batas-batas langit. Kini di bawah langit telah terhijab
gumpalan awan yang tak sanggup ditembus sekalipun pesawat terbang atau sinyal
suatu radar membubung nun tinggi jauh. Butuh waktu dan doa untuk memecahkan
persoalannnya. Bukan saatnya menyusuri batas-batas langit. Tidakkah kau sadari akibat kerusakan bumi kini batas-batas langit memercikkan
air mata yang menyiram ke bumi, lalu penduduk bumi mengira ini berkah
berjatuhan dari langit, dan dalam waktu bersamaan mereka tenggelam separuh
raga, separuh nyawa, atau bahkan keseluruhan jiwa raga, padahal sebenarnya itu
hanyalah murka manusia terhadap harta, tahta, dan wanita.
Dering
ponsel tak berselang lama, keayunkan tangan kearah bantal, ponsel kejepit di
bawah bantal. Haaaesss…., susah amat kemana ponsel tuh, pakai sembunyi segala.
“Ketika dunia membawa jiwa
Ketika semua menjadi terlena karenanya.
saat itulah sebenarnya kita menjadi tersandera.
mengejar harta, tahta, atau wanita.
kita tukar bahgaia hakiki dengan yang semu menggoda
jiwa. Logika matematika dimensi ke-n perlu dikaji kembali tentang suatu masa
dimana kita belum ada dan setelah kita tiada…., tinggal dimana pilihan kita.(Dari
Pujangga Pinggir Kali)”
Tulalit
tulilat telolet tholet tholet…….., dering ponsel
Sejenak
kuhientikan pekerjaanku, aku teringat pabila masa diperhitungkan sebagai pertimbangan
akan seberapa besar tumpukan harta yang didapat atau berapa banyak anak yang
dimiliki atau bahkan berapa kecantikan yang sudah dirampas hingga menjadi milik
pribadi, maka tiada bedanya antara ada dan tiada. Keberadaan manusia yang
sehakikatnya adanya sama saja dengan ketiadaannya. Kehadirannya haruslah
diperhisabkan sebagai hadirnya kehidupan sekarang dan akan datang, agar manusia
tahu akan hakikat perbedaan antara antara ada dan tiada.
Dering
ponsel menyusul dengan cepat.
“Ketika rindu menerpa….
Ketika cinta menggoda….
ketika hati bicara…
ketika dua manusia terpanah asmara, dunia menjadi
penuh mesra.
Dunia menjadi milik mereka berdua…
Teringat cinta sepasang muda-mudi …(Dari Pujangga
Pinggir Kali)”
Sambil
meresapi rangkaian kata-kata pujangga pinggir kali, aku terus mempercepat
kencangnya sepedaku agar tidak terlambat mengajar.
Keesokan
harinya ponsel itu bordering kesekian kali
“Seraut wajah bersinar….
tersungging senyuman manis penuh manja…
kau tawarkan sejuta harapan dan asa…
bagi diriku yang baru mengenal tentang apa artinya
cinta
Kau hunjamkan panah asmara ke dalam dada…
kau pancarkan sinaran mata…..
jantungku mendadak berhenti seketika…
pada pujangga tua yang telah dimakan usia
sebuah penantian panjang menghapus duka….
(Dari Pujangga Pinggir Kali 2017)”
Senyumku
juga lepas, ha ha ha haaaaa….., sang Pujangga Pinggir Kali mengerti apa yang
sudah kutuliskan di Blogger Ikhsan Falihi I Love You, Aku ajarkan cinta kepada sesama, Pada pikiran,
ucapan, perasaan, dan tindakan haruslah cinta kasih tersemai agar tumbuh bersemi. Ketahuilah
wahai semua kawan, “Mencintai tidak harus memiliki." Ketahuilah olehmu wahai manusia, “Bercinta
bukanlah berlandaskan nafsu birahi semata. Karena cinta adalah sesosok makhluk
yang bersih putih nan suci adanya. Ia dibangun oleh sang MahaKuasa sejak lahir hingga ajal tiba.
Kini mulai sekarang ajarkan cinta pada sesama. Senyumlah bersama cinta…...”
Folder
kututup, ponsel kugeletakkan begitu saja.
Beberapa
hari kemudian untaian kata Pujangga Pinggir Kali nongol kembali.
“Bayanganmu kini hadir kembali…
setelah sribu tahun kumenanti…
senyummu masih seperti yang dulu…
masih kusimpan di dalam kalbu yang lama membeku.
jangan pernah kau pergi lagi dariku.
karena aku lemah dan akan mati tanpamu….
jangan pernah lagi tinggalkan aku…
betapa aku rindu dan sayang padamu“
Aku mengerti
Pujangga Pinggir Kali benar-benar mulai berlatih menjadi Pujangga Cinta, Ia
mulai asyik menjadi pujangga dadakan yang berusaha keras menyejajarkan dirinya
pada tahta kemasyhuran pujangga masa silam. Bait-baitnya mulai mengalir seperti
gemercik air pinggir kali yang kandas bebatuan terjal. Saya tak mau tahu
tulisannnya hasil menjiplak, hasil menyadur, hasil imajinasinya sendiri, atau
bahkan hasil bertapa diri. Di akhir tulisan yang dikirimkan ke saya hingga
masuk ke inbox adalah
“Bisikan daun jati di tengah senja.
Mengajak hati untuk berkata-kata
Ada kenangan manis masa lalu yang tertulis indah.
Bagai kata puitis dari para pujangga…
Masa lalu memang telah pergi jauh
namun gambara itu masih tetap utuh
dalam simpul-simpul ingatan yang tak akan pernah
musnah dan luluh
tetap terjaga sampai kita menjadi tua dan rapuh.
(Demikian Bisikan Daun Jati 2017).”
Walah….,
walah…, walaaahhh…, sang Pujangga
Pinggir Kali rupanya mendapatkan bisikan dari daun jati. Ia meleburkan pikiran
bersama ayunan daun jati ketika gerimis berjatuhan ke bumi, maklum daun jati
tak sanggup menampung apa yang gerimis runtuhkan. Namun apalah daya daun jati
hanya bisa membolak-balikkan lembarannya bagai telapak tangan manusia dalam
tarian kegembiraan menyambut datangnya musim tanam padi dan musim panen padi.
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa
Istilah:
Ketiban
= kejatuhan.
Dhuit
= dhuwit = nuqud = fulus = uang.
Haaaesss….
= ungkapan membentak dengan nada kesal.
Walah….,
walah…, walaaahhh…, = ungkapan untuk
menggambarkan keadaan perasaan yang tersentuh oleh ucapan atau kejadian yang
berbeda dari biasanya.
=============================
PUJANGGA
PINGGIR KALI
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH SUNYI.
PUJANGGA
PINGGIR KALI
Kisah yang tercipta dari
kehidupan nyata rakyat Surabaya.
Kejadian di : -
Ditulis di Surabaya, Senin
2 Januari 2017
Dipublikasikan pada hari Rabu, 25
Januari 2017
Penulis cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan
Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai dosen
matematika di perguruan tinggi swasta.
Penulis masih aktif menjadi instruktur
matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun syair.