Tuesday, August 22, 2017
Sprinkling in Silence 22 (Percikan dalam Kesunyian 22) : Inclined Food Stall on the Riverside 3 (Warung Doyong Pinggir Kali 3)
8/22/2017 09:51:00 PM
Kisah Sunyi
INCLINED FOOD STALL ON THE RIVERSIDE
WARUNG
DOYONG PINGGIR KALI
Written and Arranged By Ikhsan,
M.Pd.
Ditulis
di tepi kali Brantas Karang Pilang Jln Mastrip, Selasa, 5 Juli 2011
SERI
3
“OOOaaa…,
aaaa….” teriakan tangisan si kecil berusia kelas dua sekolah dasar terdengar
khas dari celah gubuk reyot pinggir kali.
Kesunyian pagi menjelang
kuncup-kuncup putri malu bermekaran di sekitar rumah dan pekuburan itu sontak
terpecah oleh suara histerisnya.
Aku yang seorang awak
rendahan cuma bisa mendengar lengkingan seorang bocah sambil menyusuri tebing
kali yang di atasnya mengular jalan-jalan kota pahlawan. Di sini memang
beberapa dekade silam menjadi penanda gebyar ditabuh-tabuhkan gong kebesaran Maha
Pahlawan di bumi nusantara.
Di sini pula para Maha Pahlawan
menenggelamkan ruas-ruas bambu runcing untuk dikirim ke pusat perjuangan. Dengan
menggunakan derasnya kali Brantas Jalan Mastrip Karangpilang Surabaya kegigihan
mereka begitu deras mengalirkan darah-darah perjuangan. Pusaran arusnya telah
menandai tingkat kesulitan menggapai cita-cita pejuangan. Mungkin kali ini
pendar-pendar perjuangan pak Pehih terpancar bebas di antara gumpalan asap
kendaran bermotor dalam raungan mesin-mesin canggih.
Tak terhentikan sama
sekali keadaan ini. Si kecil yang harus memperjuangkan kebebasan berpikir, kebebasan
menjalani kehidupan yang sudah beberapa tahun di tinggal pergi ibunya menjadi
TKW di Hong Kong. Sementara pak Pehih hanya sekedar menunggu orderan dari para
kuli bangunan. Terkadang sepi, terkadang ramai, bahkan terkadang pak Pehih
hanya nongkrong menyendiri memandangi kali Brantas Karangpilang di saat
istrinya harus bergulat dengan piring-piring Hong Kong.
“Nasi kuniiiiinnnnng….,
nasi kuniiiiiiiing…., “ teriak penjual nasi kuning yang membawa beberapa
bungkus nasi di boncengan belakang sepeda pancal butut.
“Nasi kuning…., aku
beli…aku beli!!!” teriak si kecil anak pak Pehih.
Penjual itu menghentikan
sepedanya dan menoleh ke arah si kecil. Kemudian ia balik menghampirinya.
Sementara aku dari kejauhan masih memperhatikannya sesekali menyenandungkan
syair-syair kemasyhuran cinta dan beberapa lafal bangun yang mengokohkan
kehidupan.
Aku harus memutar
kembali jalan ini. Pinggir kali karangpilang telah menobatkan diriku sang
penyair muda dalam obrolan bangun tua dan gubuk reyot pak Pehih.
“Pak Pehih…, santun pagi,
Pak..” sapaku.
“Oh ya ya…, jalan-jalan
toh…,” jawabnya sambil mengenakan celana pendek kusam lawas, tanpa secuil baju
yang melekat di tubuhnya. Yahh…, cuma celana pendek kusam lawas .
Beberapa bongkahan batu
di pinggir kali karang pilang mastrip kebraon ini kududuki sejenak sambil
memandangi beberapa sepeda motor yang saling mengejar.
“Ayah…, aku berangkat…”
pamit si kecil.
“Ya Nak , Hati-hati di
jalan. Rajin-rajinlah belajar di sekolah.” sahut pak Pehih sambil mengecup pipi
si kecilnya.
“Kapan istrimu sambang
ke Jawa pak Pehih? Rupanya Dia sudah kerasan di Hong Kong.” tanyaku.
“Tahun depan mau sambang
ke Jawa.” jawabnya.
“Kemana kamu Lencir?”
tanyanya.
“Biasa pak Pehih…,
Jalan-jalan kan? Mumpung masih pagi, aku nikmati segarnya pagi. Dingin pagi
membuat tubuh ini hidup kembali. Ayo jalan-jalan.” pintaku.
Belum jauh langkahku
dari hadapan gubuk reyot. “Bruok… bruok…, bruok…” suara rebahan benda lempengan
separuh tenggelam ke sungai.
“Wfuihhh… busyettt…”
bikin terkaget-kaget aja.
Dinding reyot yang
beberapa lembar seng disandarkan ke gubuk reyot telah rebah. Mereka semua
berantakan terkapar ke dasar kali pinggir karang pilang.
Kulihat dari kejauhan pak
Pehih cuma sendirian mendirikan dinding rebahan tadi. Ia bangun lagi.
Lembar-lembar seng yang bolong sana sini disandarkan kembali ke dinding
reyotnya. Tak jauh darinya berhadap-hadapan cangkir gelas piring kopi ote-ote
dan para pramunikmatnya. Mereka cuek. Tak peduli dengan apa yang terjadi pada
pak Pehih. Wonk mereka cuma butuh kepuasan perut belaka di pinggir kali. Saya
tahu tahu isi mie, ote-ote, tempe menjes, pisang goring, telo goreng telah
dipasok oleh mbah Emah. Keberadaan mbah Emah sendiri tiada yang tahu kabarnya.
Walau beliau udah menapaki masa pikun tapi kegemarannya memasok makanan yang
setiap pagi disantap oleh pramunikmat pinggir kali telah berhasil melepaskan
diri dari jeratan kepikunannya. Bahkan sang dokter spesialis pikun pun mendiagnosa
mbah Emah tidak pikun sama sekali. Ia terbebas dari penyakit yang selama ini
ditakuti para pejabat tinggi. Malahan aku sendiri melihatnya mbah Emah pandai
menghitung-hitung lembaran fulus dan memperkirakan berapa banyak makanan yang
harus disajikan kepada setiap pelanggannya. Usia di atas tujuh puluh tahun
baginya jauh lebih segar dan mudah dari pada usia tujuh belas tahun. Ingatan
dan tenaganya masih enerjik. Si Bondet yang lihai mengobarkan keperkasaan pun belum
ada apa-apanya bila dibandingkan hal ikhwal kebugaran mbah Emah. Si Bondet
bertekut lutut merasa kalah sakti dengan pengobatan alternative mbah Emah. Ia
sanggup melepaskan kepikunannya dengan memasok ote-ote, telo goreng, pisang
goreng, tahu isi.
“Wah…, jalan-jalan terus
kang Lencir nih..” celetuk penghuni warung doyong pinggir kali.
“Ya. Benar mbak. Mencari
kebebasan cinta. Meraih kemerdekaan angan. Semua gembira menyambut datangnya
pagi. Aku pun demikian, Mbak.” sahutku.
“Byuorrrr… byuorrrr…”
air bekas cucian piring diguyurkan ke kali Brantas Karang pilang. Nggak ada
bedanya dengan lainnya. Ia suka cemplung-cemplung di pinggir kali tiap pagi.
Penghuni warung doyong
mengatur-ngatur piring dan gelas yang barus dibilas.
“Kang Lencir nggak
sarapan telo goreng ta… Ini makanan andalanmu. Pisang goreng masih
kedul-kedul.” panggil kang Bodroh.
Ia sebentar lagi
angkat-angkat batu di jalan seberang.
Kang Bodroh lebih menyukai mencicipi semua makanan goreng di sini. Pagi
ini bukan nasi pecel atau nasi kuning yang disantap justru ote-ote, tahu isi,
telo goreng, pisang goreng, dan Tahu menjes yang dilahapnya.
“Aku masih ngantuk…
Semalam nggak tidur. Ndak tahulah.. tiba-tiba nggak bisa tidur.” ungkap kang
Bodroh.
“Tiba-tiba ranting pohon
besar di kuburan itu sempal, patah. Lha wonk nggak ada apa-apa tiba-tiba
rantingnya patah. Bukankah tadi malam sesungguhnya malam jumat legi. Dulu waktu
hujan deras disertai angin puting beliung ranting-ranting pohon tua ini nggak
patah sama sekali bahkan di sekitarnya pohon-pohon muda-muda tumbang sampai ada
yang berjatuhan. Yang lebih mengenaskan, bunga-bunga layu sebelum berkembang.
Kenapa tadi malam harus terjadi. Perasaan mengalami kekacauan, pikiran tak
tenang. ” terawang dan pikir kang Bodroh.
“Ya benarlah. Itulah
yang bikin perasaan was-was. Beberapa tahun lalu juga demikian lalu kuingat
wabah menjalar.”
“Ahh.., smoga nggak ada
apa-apa.” jawab lelaki tua di sampingnya.
(bersambung, nantikan seri 4)
Nantikan
seri berikutnya………….
S E L E S A I
TERIMA KASIH
=============================
Beberapa
Istilah:
Sambang
= berkunjung ke suatu tempat setelah lama tidak berjumpa dengannya.
Orderan
= pesanan.
Cemplung-cemplung
= buang air besar di kali.
TKW
= Tenaga Kerja Wanita
Sempal
= patah tak beraturan.
=============================
WARUNG DOYONG PINGGIR KALI
(Seri 3)
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil dari kumpulan KISAH
SUNYI.
WARUNG DOYONG PINGGIR KALI (seri
3)
Diambil dari kisah
kehidupan rakyat desa
Lokasi Peristiwa : Tepi
sungai brantas antara Jalan Mastrip Kebraon Karangpilang Surabaya dan jalan
Raya Sepanjang, Selasa 5 Juli 2011.
Ditulis di Surabaya, 5
Juli 2011.
Dipublikasikan
pertama kali di blog http://ikhsanfalihi.blogspot.co.id
Dipublikasikan
pertama kali pada hari Selasa 22 Agustus 2017.
Penulis cerpen ini lulusan
S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan
lulusan S2 (Magister) Pendidikan
Matematika tahun 2006
Penulis masih aktif sebagai
dosen matematika.
Penulis masih aktif menjadi
instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis masih aktif menyusun
syair.
Friday, August 4, 2017
Sprinkling in Silence 21 (Percikan dalam Kesunyian 21) : Dew Drop of Pantura (Tetes Embun Pantura)
8/04/2017 12:41:00 AM
Kisah Sunyi
DEW DROP OF PANTURA
Created by khsan,
S.Pd., M.Pd.
TETES EMBUN PANTURA
Karya Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Sial tak dapat ditolak,
untung tak dapat direguk. Begitulah rona kehidupan mbak Yisna. Belum genap 20
tahun ia mengecap manisnya kehidupan lewat recehan yang setiap hari numpang pada
kedua telapak tangannya.
Wajah ceria bersinergi
sopan ramah masih menghias perilakunya. Duduknya beringsut mendekat ke samping
kiriku. Di Kursi panjang Bus Pantura di paling belakang menjadi tambah mantep
tutur kisahnya. Sementara para penumpang lainnya asing terlena dalam
touchscreen handphonenya. Sang Bus tak peduli lagi dengan urusan setiap pribadi
penumpang. Sang Bus istiqomah merangkak cepat menuju ibukota Negara. Aku di
dalamnya lebih tersihir oleh pesona kisah mbak Yisna. Entah apa maksudnya
wanita paruh tua yang masih berwajah
muda ini. Ia lebih khusyuk dengan pemaparan bayang-bayang semu masa lalu.
“Mas Tramph…., kerjanya apa?” tanyanya.
“Wah…., cuma cari orderan
di tepi kota pantura mbak Yisna.” jawabku.
“Ah…, masak iya…. Nggak
percaya mas. Kelihatannya seperti wartawan mas langkahnya dan gaya bicaranya.” ujarnya
seakan tak percaya.
“Mungkin saja kebetulan
mirip wartawan. Cuma sang order. Siapa tahu ada yang mau booking aku.” Itulah jawabku.
“Mbak yisna udah dapat
berapa receh pagi ini?”
“Cuma dapet seratus ribu rupiah
mas.” sahutnya.
“Sebulan dapet berapa mbak
Yisna…?” tanyaku.
“Sejuta lebih mas Tramph.” jawabnya.
“Buohhhh…, Jiahhh….., Cuma
sejuta. Padahal temenku yang sarjana kerja tiap hari di kantornya cuma dapet di
bawah sejuta. Beruntung sekali kau. Hanya modal ecek-ecek dan suara pas-pasan
udah mampu meraup keuntungan sejuta lebih.” Gumam batinku.
“Lhouw…, kenapa terbengong mas Tramph.” tanyanya.
“Ahhh…, hahh…, iya ya mbak,
ndak apa-apa mbak Yisna. Hanya sedikit teringat besarnya uang mbak Yisna.”
tersentak diriku dari lamunan. Pikiran melayang teringat kang Johnady yang
sarjana kerja di kantor cuma dapat gaji kurang dari sejuta tiap bulan. Dulu
kuliahnya di kota metropolitan dengan biaya selangit dan peras otak untuk
meraih gelar sarjana dari universitas ternama, kini beliau cuma dapat gaji di
bawah sejuta. Malu ah aku mengungkapkannya, lebih baik aku kubur dalam-dalam
rahasianya, jangan sampai ketahuan mbak Yisna. Karena aku tahu mbak Yisna hanyalah
seorang janda lulusan SD Dusun Ndhesit mampu meraih recehan lebih dari sejuta
tiap bulan. Hanya bekal ecek-ecek tutup botol yang dilobangi lalu dirakit ke
kayu sedemikian hingga tampak seni rupanya tetes embun pantura telah
menyegarkan napas kehidupannya yang sekian lama kering akan kasih sayang pria pujaan.
Sang Bus semakin merangkak
cepat. Kali ini lebih cepat dari semua yang ada di jalan. Tak terasa
pembicaraan kami lebih dari 30 menit.
“Udah berapa tahun
menggeluti dunia tarik suara di dalam bus?” tanyaku.
“Udah belasan tahun mas Tramph.”
“Mengapa harus begini hidup
ini mbak Yisna? Gemerlap kota dan sepoi taman Bunga di ibukota Negara telah
melambaikan sebagian tubuhnya pada kita, hanya kita yang tak sanggup berkata
buatnya. Burung-burung yang bahagia asyik di pucuk rimbun taman istana berkicau
menyanyi lagu kemerdekaan. Tak perlu beban. Ia sudah bisa makan. Tak perlu
sedu-sedan kesakitan. Cukup hanya melambaikan sebagian tubuhnya makanan sudah
teraihnya. Sementara mbak Yisna harus berdesakan di sini lalu menarik urat-urat
lehernya dengan nada memelas kepada setiap wajah-wajah di kru Bus.”kataku dengan
sedikit melemah dan penasaran.
Mbak Yisna mulai membuka jejak
rekam kehidupannya.
“Apalah artinya sebuah
kehidupan. Aku memiliki mimpi kehidupan di lembah-lembah kebahagiaan, namun
bukit tandus kering yang menoreh sepi, lebih sunyi dari yang sunyi.
Dulu aku tinggal di dusun
terpencil, yang masih jauh tertinggal dengan kemajuan kabupaten. Keadaanku
carut-marut. Maksud hati ingin meraih esok yang lebih baik. Kuputuskan pergi ke
kota Pahlawan, Surabaya. Di sana aku bercita-cita menjadi pahlawan sejati bagi
keluargaku. Bagaimana ekonomi keluargaku bisa bangkit, itu yang menjadi
anganku.
Aku bangun dari keterpurukan.
Aku bangun dari kerendahan.
Aku bangun dari tidur panjang.
Aku bangun dari peradapan.
Biarlah tubuh dilumuri debu dan kotoran jalanan
Asalkan aku sanggup bertahan di kota pahlawan.
Biarlah kaki tanganku diliputi asap dan tanah jalanan
asalkan kebebasan terwujudkan dari belenggu kemiskinan.
Cukuplah tekad dan semangat
berkobar-kobar demi cita-cita mulia.
Hanya berbekal bisa masak
ala kampungan, semangat kerja, dan beberapa lembar baju lusuh aku masuki
jalan-jalan kota yang penuh lampu-lampu hias. Dialah Surabaya, kota pahlawan.
Takjub akan pemandangan
kota pahlawan bercampur kegirangan membuatku optimis tanpa berpikir
macam-macam.
Tiba-tiba dari sebelahku
suara lelaki paruh tua menyapaku. Ia sedikit menyandarkan tubuhnya di kursi
Truk bagian sopir. Ia ramah menawarkan kebaikan. Perasaan siapa yang nggak
bahagia bila kota yang diidam-idamkan telah menjadi kenyataan apalagi sambutan
hangat dan keramahan sang lelaki yang belum pernah kukenal sebelumnya menyentuh
selaput telingaku. Belum lagi panas kering kehidupanku membuatku tak tahan lagi segera berakrab
dengannya.
Barangkali inilah
tetes-tetes embun hidupku yang semestinya kureguk. “urai mbak Yisna.
“Mbak, mau kemana mbak. Ada
yang bisa saya bantu?” tanya sang sopir setengah mesra.
“Ya makasih, Om. Aku nggak
tau tempat kerja di kota Surabaya. Aku pingin cari kerjaan. Tempat kerja mana yang
membutuhkan tenaga kerja wanita?” jawab mbak yisna.
“Wah… kalau itu sih
gampang… gampang…, gampang… Serahkan aja padaku. Segala urusan dan kebutuhanmu
dijamin terpenuhi lagi menyenangkan. Segalanya dijamin beres. Jangan pusing
mikirin kerjaan. Itu sih gampang. Hidup jangan dibuat susah. Hidup ini gampang
mbak.” jawab sang sopir truk dengan penuh keyakinan.
“Kebetulan sekali Om.
Sungguh menyenangkan. Aku nggak susah-susah mencari kerjaan.”sahut mbak Yisna
dengan gembira.
“Ayo, sekarang kita naik
truk ini berdua bersama ke tempat tujuan agar mbak segera kerja dan
menghasilkan uang.”pinta sang sopir sambil mengayun-ayunkan tangan sesekali
matanya berkedip-kedip.
Mereka pun asyik ngobrol di
truk sambil memperkenalkan dirinya masing-masing. Canda mesra pun mulai terasa
seolah mereka sepasang sejoli yang benar-benar berjodoh. Mbak Yisna bertambah
bahagia menatap masa depan. Kehidupan yang telah lama menghimpitnya bagai
sembilu direlung kalbu tercampakkan seketika oleh tawaran menggiurkan sang
sopir truk.
“Kita kemana mas?“ tanya
mbak Yisna
“Biasalah ke jantung kota
pahlawan. Aku ini menjadi pahlawan hidupmu walau tidak sepenuhnya. Kita satukan
langkah dan tujuan. Biasa di rumah makan.”
Seruit klakson kendaraan
mewah di jantung kota pahlawan bersahut-sahutan menyapa kehadiran mbak Yisna.
Truk yang sudah lapuk dimakan usia malam itu mulai mendekat ke sebuah rumah
lalu menurunkan mbak Yisna. Mereka berjalan mendekati pintu rumah berornamen
modern. Mbak Yisna dipertemukan seorang juragan depot SAMARASANYA.
“Malem boss….”sapa sang
sopir kepada pemilik depot itu.
“Ada orderan? Jelas ada
boss. Lumayan ini. Bisa diajak kerjasama. Aku serahkan ini ke boss. Tapi jangan
lupa uang lelah dan bensin truk ini boss.” ujar sang sopir.
“Beres dahhh…., jangan
kuatir. Semua akan dibayarkan sesuai keinginan dan harapan. Apa bisa masak
juga?” tanya sang boss.
“Wuih, kalau itu dijamin
tidak mengecewakan. Boleh dicoba bosss” jawab sang sopir.
“Siapa mbak namanya?” tanya
sang boss kepada mbak Yisna.
“Yisna, boss” jawabnya.
“Silahkan istirahat ke
kamar peristirahatan dan ganti baju.”
“Permisi, saya pamit dulu
boss.” pinta sang sopir undur diri setelah menyerahkan mbak Yisna sembari
mencium-cium lembaran uang seribuan lalu dikibas-kibaskan ke langit.
Malam-malam dilalui mbak
Yisna di jantung kota pahlawan. Mata tak juga terpejamkan, pikiran mulai
teringat antara dusun kampungan dan kota pahlawan. Kegelapan malam sepertinya
sirna oleh kerlap-kerlip lampu kamar dan tujuan.
Keesokan harinya mbak Yisna
dibawa ke luar kota. Ia diantar ke kota Bojonegoro. Mbak Yisna pun kaget karena
pertengahan tahun 80-an Bojonegoro bukanlah kota semewah kota pahlawan. Tapi
apa boleh buat cita-cita menjadi pahlawan sejati bagi keluarganya nggak boleh
buyar. Gairah sedikit pudar, nggak apa-apalah
ia tidak di kota pahlawan. Tak apalah mungkin ini suratan taqdir yang
harus dilalui. Siapa tahu nanti bisa kembali ke kota ini, Kota Pahlawan. Ini
jauh lebih baik dari pada hidup di dusun terpuruk hingga rapuh.
“Silahkan kamu ke dapur.
Cucilah piring-piring sana.” perintah boss.
“Ya, boss. Baik, aku
laksanakan” jawab mbak Yisna.
Mbak Yisna membersihkan
dapur dan menata piring-piring yang berserakan. Mencuci beberapa piring yang
tertumpuk di pojokan.”
Mbak Yisna pun mulai mandi.
Sore itu ia mulai memakai baju yang paling cantik koleksi warung SAMARASANYA.
“Kok baju begitu yang dipakai. Nggak laris nih
warung makan kami. Pakai baju seksi aja ntar pelanggan kami nggak pergi. Pakai
baju seksi ini biar pelanggan bakal betah dan kerasan di warung ini. “
“Baju ini yang kamu pakai.”
dengan nada kesal sang boss menyerahkan baju yang paling seksi dan romantis.
“Nggak apa-apalah, mungkin
ini trend di warung untuk menarik dan memikat para pelanggan. Aku harus
menyenangkan keinginan boss. Yang penting aku dapat gajian awal bulan.” gumam
batin mbak Yisna.
“Semua permintaan belanggan
wajib kau penuhi” perintah wakil boss.” bentak wakil boss sekaligus manager
warung SAMARASANYA.
Seorang lelaki yang agak
tua renta menghabiskan kopi lalu minta susu telur madu jahe di Warung
SAMARASANYA sore itu. Ia menyeruputnya dengan penuh nafsu sambil lirik kiri
lirik kanan. Dalam gelas anggun susu telur madu jahe mulai tinggal
seperempatnya. Mbak Yisna pun menawarkan,” tambah lagi Om?”
“Ya harus tambah lagi.”sahut
lelaki itu. Mbak Yisna menuangkan minuman ke dalam gelas lalu menyodorkan ke
lelaki tua.
“Aku tak butuh ini. Jangan
susu telur madu jahe. Aku udah bosan. Kali ini tubuhmu aja. Ia sambil memegang
jemari mbak Yisna.” pinta lelaki tua dengan penuh nafsu.
“Jangan, Om.. jangan…”
tolak mbak Yisna.
“Siapa kamu berani menolak
keinginanku. Tidak biasa di warung ini keinginanku ditolak. Bertahun-tahun aku
menjadi pelanggan warung ini. Di tempat ini pula aku merasakan syurga dunia.
Berani-beraninya kau tolak kesukaanku. Ini sudah menjadi langgananku, tau….!!!
Warung ini siap menyervis aku setiap aku butuh. Siapa kau?!!!” geram lelaki
yang menjadi pelanggan warung SAMARASANYA.
“Yisna, lakukan…!!! Kenapa
kamu menolak. Lakukan saja. Itu kerjaanmu. Berikan segalanya. Berikan tubuhmu.
Semua pelanggan di sini harus menikmati segala isi seluruh ruangan ini.” bentak
manager.
“Besok aja kembali ke sini.
Aku memenuhi segala permintaanmu. Kali ini tubuhku agak sakit. Aku janji besok
lagi. Maaf tuan…. Besok aku layani sepenuh nafsumu. Jangan kuwatir, segala
maumu tentu aku nurut.” jawab mbak Yisna.
Malam itu semakin gelap. Di
sisi kiri kanan warung hanya hamparan belukar dan di belakang warung terbentang
luas hutan walau di depan warung jalan raya. Mbak Yisna mulai gelisah
memikirkan apa yang harus diperbuat keesokannya. Bukan ini tujuan mbak Yisna,
bukan pula warung kegelapan. Malam-malam kegelapan menjadi panjang. Tubuh yang
layu dan lusuh tak jua mau direbahkan. Mata tak mau terpejamkan.
Denting gerobak yang
membawa potongan bambu terdengar melaju di depan warung SAMARASANYA. Longlongan
anjing malam mulai terdengar pertanda tengah malam tiba.
Manager kelihatan
tergesa-gesa akan keluar warung untuk membeli barang-barang kebutuhan makanan
yang dibutuhkan warung SAMARASANYA keesokan harinya sambil jalan-jalan ke kota Bahagia
Malam.
“Kunci rapat-rapat pintu
ini. Jangan sampai binatang buas masuk warung. Dulu warung ini pernah
diobrak-abrik binatang buas dari hutan. Kamu jangan ke luar rumah. Malam ini
aku harus ke luar.”pesan Manager.
Manager tidak tahu mbah
Yisna adalah janda kampungan yang tinggal di dusun pertengahan hutan. Manager
mengira mbak Yisna takut dengan binatang hutan atau longlongan anjing malam,
padahal mbak Yisna akrab dengan hutan-hutan.
Kesempatan ini tak
disia-siakan mbak Yisna. Ia pun melarikan diri menuju hutan belantara. Ia meninggalkan
warung SAMARASANYA.
Ia lari sekencang-kencangnya.
Ia terobos kegelapan malam hutan pinus dan jati. Tak tahu arah dan tujuan dalam
kegelapan malam. Yang penting tak seorang pun di sekitar warung SAMARASANYA
mengetahui pelariannya. Jauh sudah ia melangkah sampai ke tengah hutan. Tubuh
tergores luka parah. Hanya beberapa kain kumal yang dipeluknya. Ia rasakan
kebebasan jauh lebih mahal dan harus ditebus dengan jiwa raga sekalipun nyawa
taruhannya. Tangis tak terdengar lagi, terasa keringlah sudah air mata. Ia pun
lari hingga belasan kilometer dari warungnya. Namun hutan belantara masih saja
menampakkan wajah-wajah garangnya.
Fajar pun datang. Hanya
kilauan bintang di angkasa yang sesekali menampakkan sinarnya. Kemarau begitu
panjang, kaki tak beralas terasa menginjak batu hutan dan kerasnya tanah hutan.
Tetes-tetes embun fajar
datang membasahi rambut yang padanya sudah bersarang beberapa duri dan daun
kering.
Tiba-tiba hamparan sawah
yang kering kerontang menampakkan bentangannya. Kelap-kelip nun jauh di sana di
pesisir pantura mulai nampak. Mbak Yisna makin mempercepat larinya. Menuju arah
sorot lampu. Sejenak ia mencuci muka dan tubuhnya ke telaga kecil.
Pagi itu tetes-tetes embun
pantura berjatuhan. Langit tampak terang walau bintang berangsur-angsur mulai
meninggalkan kegelapan. Hanya kepergian derita di atas goresan luka menganga di
tubuh Yisna yang meleleh basah oleh beningnya tetesan embun pantura.
Terlalu jauh sudah kali ini
ia melangkah dari warung SAMARASANYA. Tanah yang diinjak sudah mulai berbeda
dari tanah warung ITU. Mbak Yisna mulai memperlambat larinya. Pelan-pelan ia
melintasi pematang kering nan tandus.
Aku rindu
Jalan-jalanmu yang subur
Aku rindu
tetes-tetes embun penyejuk qolbu.
Aku rindu
Terangnya langitmu bersama terbit esok menyambut waktu
Tetes-tetes embun
Halus turun beriringan
melepas kegelapan malam kekeringan
Tetes-tetes embun
Maukah membasuh tubuh
Menyegarkan jiwa-jiwa yang gelisah
Menghilangkan luka dan derita.
Berikan ketenangan walau putaran dunia
Penuh rona derita bersua bahagia.
Esok itu mbak Yisna sampai
di jalan raya Tuban. Ia pun mencari kendaraan yang lewat untuk dinaiki menuju
kota pahlawan.
“Berhenti…., aku numpang
sopir….” Teriak mbak Yisna. Sopir truk yang melaju kencang mendadak
menghentikan truknya.
“Ada apa, Mbak? Pagi-pagi
begini sudah berdiri di tepi hutan ini.” tanya sopir.
“Saya minta tolong, mau
numpang menuju Surabaya.” pinta mbak Yisna.
“Mbak kok terluka tubuhnya.
Kenapa mbak.” tanya Sopir.
“Ya. Saya terluka mencari
kayu di hutan. Terkena duri tajam. Hingga menggores tubuhku. Aku mau ke
Surabaya mencari obatnya. Saya minta tolong sopir antarkan saya ke Surabaya.
Biar saya dapat perawatan ke dokter yang ahlinya. Di dusunku nggak ada dokter
yang bisa menangani lukaku.” pinta mbak Yisna.
Mbak Yisna pun
menyembunyikan apa yang baru saja dialaminya. Ia tidak berani menceritakan apa
yang baru saja dialaminya karena di perjalanan masih terlihat kanan kirinya
hutan. Ia khawatir kejadian yang serupa terulang lagi. Khawatir sang sopir truk
yang baru dikenalnya berbuat jahat padanya kali ini mbak Yisna diam dan
berhati-hati dalam bicara dengannya. Kota pahlawan yang selama ini menjadi
incarannya harus dibayar dengan luka parah di sekujur tubuhnya. Inilah
sesungguhnya pahlawan sejati yang menjadi impian sejak semula. Berlari hingga
hilang perih untuk melepas kemiskinan dan penderitaan haruslah dibayar mbak
Yisna dengan perjuangan dan pengorbanan jiwa raga, bukan ucapan belaka yang
kerap membasahi bibirnya. Cita-cita luhurnya menuntut pembuktian, bukan sekedar
omong kosong belaka. Butuh perjuangan dan pengorbanan segala apa yang ia punya.
S E L E S A I
TERIMA
KASIH
=============================
Beberapa Istilah:
Pantura
= Pantai Utara Jawa.
Ecek-ecek
= alat music yang terbuat dari logam tutup-tutup botol. Semua tutup tersebut
dilempengkan lalu ditancapkan ke gagang yang berupa kayu. Untuk membunyikannya
gagang tersebut dipukulkan pelan-pelan ke telapak tangan atau ke paha sambil
menyanyikan lagu-lagu kesayangannya.
Touch
screen = layar sentuh.
=============================
TETES EMBUN PANTURA
Karya
Ikhsan, S.Pd., M.Pd.
Diambil
dari kumpulan KISAH SUNYI.
TETES EMBUN PANTURA
Diambil dari kisah kehidupan rakyat desa
Lokasi Peristiwa : Surabaya, Bojonegore, Tuban. 1980.
Ditulis di Gresik
- Surabaya, Jumat 15 Mei 2015.
Dipublikasikan pertama kali pada hari Jumat, 4
Agustus 2017.
Penulis
cerpen ini lulusan S1 (Sarjana) Pendidikan Matematika tahun 2000 dan lulusan S2 (Magister) Pendidikan Matematika tahun 2006
Penulis
masih aktif sebagai dosen matematika di Program Studi Pendidikan Matematika.
Penulis
masih aktif menjadi instruktur matematika di ma'had Tahfidzul Qur’an setingkat
SMP/MTs - SMA/MA.
Penulis
masih aktif menyusun syair.
Daftar semua judul dapat di baca di link sini ( Klik di sini)